post.png
parking.jpg

Menggagas Asuransi Parkir

POST DATE | 03 Agustus 2017

Ada terobosan berani dan menarik yang dilakukan Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya, Provinsi DKI Jakarta. Sebab perusahaan ini telah memberlakukan asuransi parkir mobil dan sepeda motor. Asuransi kendaraan bermotor yang parkir di bawah pengelolaan PD Pasar Jaya memperoleh jaminan asuransi parkir dengan membayar premi Rp500 (mobil) dan Rp300 (sepeda motor) untuk satu kali parkir.

Besarnya penggantian klaim sesuai dengan jenis kendaraan. Untuk mobil, bila kehilangan total pemilik mendapat penggantian maksimal Rp100 juta, kehilangan sebagian maksimal Rp5 juta. Risiko yang harus ditanggung pemilik kendaraan maksimal Rp1 juta. Kerusakan akibat huru-hara maksimal Rp3 juta, dan kecelakaan yang dialami konsumen di lokasi perparkiran maksimal Rp2 juta.

Selanjutnya, untuk sepeda motor, bila kehilangan total, pemilik mendapat penggantian maksimal Rp10 juta. Kehilangan sebagian maksimal Rp2 juta, risiko yang harus ditanggung pemilik maksimal Rp250 ribu. Kerusakan huru-hara maksimal Rp1 juta, dan kecelakaan konsumen di lokasi perparkiran maksimal Rp2 juta.

Terdapat lima syarat untuk mengurus prosedur klaim. Pertama, pemilik kendaraan melapor kepada petugas perparkiran. Kedua, mengisi formulir klaim yang tersedia di pos parkir. Ketiga, membuat laporan berita acara kehilangan. Keempat, membuat laporan polisi di pos polisi terdekat, dan kelima, menyerahkan fotokopi dokumen seperti KTP, SIM, dan STNK (Media Indonesia, 11 Agustus 2008, h. 4).

Memberlakukan asuransi parkir bagi kendaran bermotor adalah gagasan parkir pro-konsumen. Karena selama ini, sungguh dilematis posisi hukum jasa perparkiran saat ini. Apalagi jika ditinjau dari upaya perlindungan bagi konsumen jasa parkir. Fakta dan data yang ada selama ini, konsumen jasa parkir nampaknya tidak pernah bisa lepas dari praktik perjanjian sepihak yang terpaksa diterima konsumen. Konsumen meski jelas mengalami kerugian, seperti body mobil tergores, velg roda hilang, kaca spion dicongkel, hingga yang paling sial sekalipun, misalnya kendaraan hilang.

Pada kasus seperti itu konsumen selalu berada pada pihak yang paling dirugikan. Soalnya pihak pengelola parkir lepas tanggung jawab atas segala kerugian itu. Lebih ironis lagi, umumnya para korban kelalaian pengelola parkir seperti kendaraannya rusak/hilang, selalu enggan meneruskan kasusnya ke jalur hukum (pengadilan). Alasannya adalah gugatan hukum itu akan kandas dan sia-sia, sebab hakim biasanya cenderung tunduk pada klausula baku yang dicantumkan pengelola parkir pada karcis parkirnya.

Akhirnya kerugian konsumen jasa parkir terus berulang dan tidak pernah berubah nasibnya. Sebaliknya pihak pengelola parkir melenggang bebas tanpa ada sedikit pun tanggungjawabnya. Bahkan terkesan bahwa pengelola parkir dengan berlindung dibalik klausula baku itu tak tersentuh oleh hukum.

Fakta hukum di masyarakat memang sangat beralasan. Yakni, keengganan konsumen jasa parkir menyelesaikan masalahnya melalui jalur hukum (pengadilan) memang cukup beralasan. Karena proses pertama yang dilakukan manakala terjadi kerusakan/kehilangan kendaraan sudah dihadapkan pada adanya klausula pengalihan tanggungjawab dari pengelola perparkiran.

Sebagaimana lazimnya, pihak pengelola menolak memberi ganti kerugian dengan alasan dalam karcis parkir sudah disebutkan dengan jelas dan tegas bahwa atas segala kerusakan/kehilangan menjadi tanggungjawab konsumen jasa parkir sendiri, dan bukan tanggungjawab pengelola parkir.

Argumen pengelola perparkiran itu didasarkan pada klausula yang selalu termuat dalam karcis yang menyebut; atas hilangnya kendaraan dan atau barang-barang yang berada di dalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama berada di kawasan parkir, masih merupakan tanggungjawab konsumen jasa parkir sendiri.

Menurut  Pasal 1 angka 10 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) klausula baku adalah; “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.

Konsep itu sudah tidak sesuai lagi, sebab sudah tidak selaras dengan nafas hukum yang terus berkembang.  Dalam hal ini, klausula baku erat kaitannya dengan UUPK. UUPK secara tegas dan detil mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha, serta hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha. Khusus mengenai klausula baku ini UUPK melarang dengan tegas pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang tujuannya merugikan konsumen (vide Pasal 18 UUPK).

Bahkan ayat (3) Pasal 18 UUPK tersebut menegaskan; “setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum”. Idealnya, meski pengelola parkir mencantumkan klausula baku pada karcisnya sesungguhnya itu hanya perjanjian sepihak yang seolah-olah terpaksa diterima konsumen jasa parkir.

Karenanya, jika pihak pengelola parkir telah melalukan pelanggaran hukum dengan kelalaian dan perlakuan yang tidak memadai terhadap konsumen jasa parkir, pengelola parkir tetap berwajiban memberi ganti kerugian pada konsumen (vide Pasal 19 UUPK). Dengan demikian terdapat keseimbangan hak dan kewajiban pengelola parkir dan konsumen jasa parkir (vide Pasal 4, 5, 6 dan 7 UUPK).

Asuransi Parkir

Konstruksi hukum yang digunakan pengelola parkir selama ini selalu menerapkan konsep ‘sewa lahan’ atau hanya menyediakan lahan parkir semata dan bukan penitipan barang. Risikonya bagi konsumen, jika menggunakan konsep sewa lahan, pengelola parkir terlepas dari tuntutan ganti rugi yang dilakukan konsumen. Meskipun misalnya, kendaraan konsumen hilang.

Ada hal tidak mengenakkan untuk konsumen jasa parkir dalam konsep sewa lahan, pengelola parkir hanya berkewajiban untuk menyediakan lahan saja. Di dalam soal keamanan dan keselamatan saat parkir, bukan menjadi tanggung jawab pengelola parkir, tanggung jawab untuk menjaga kendaraan yang  dititipkan tetap berada di pundak konsumen jasa parkir sendiri.

Keadaannya akan berbeda manakala pengelola parkir menggunakan konstruksi hukum ‘penitipan barang’. Pengelola parkir, selain harus menyediakan lahan parkir, juga harus pula menjaga keamanan dan keselamatan kendaraan konsumen  selama parkir.

Termasuk pun ikut bertanggung jawab dalam hal terjadi atas hilangnya kendaraan dan atau barang-barang yang berada di dalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama berada di kawasan parkir. Konstruksi hukum titip barang pada pelayanan jasa parkir merupakan corak yang sesuai dengan misi dan mandat perlindungan konsumen.

Cuma sayangnya, andai konstruksi hukum titip barang, murni diterapkan pada pelayanan jasa parkir, ketidak-adilan justru beralih bagi pengelola parkir. Sebab tidak logis, kalau pengelola parkir harus mengganti ratusan juta rupiah, sementara uang yang dibayarkan untuk retribusi parkir oleh konsumen, misalnya tak lebih dari Rp1.000. Sebaliknya sangat tidak adil pula, jika kendaraan konsumen rusak atau hilang, dan konsumen sudah memenuhi kewajibannya, tetapi hanya dapat ‘cek kosong’ saat menuntutnya haknya.

Lalu, agar keadilan itu ada bagaimana corak pelayanan parkir yang pro konsumen perparkiran dan sebaliknya tidak merugikan pengelola perparkiran? Jawaban terhadap hal itu, yakni;

Pertama, pelayanan jasa parkir harus mengakomodasi konstruksi hukum titip barang, dan bukan sewa lahan semata. Oleh karena secara nyata apabila terjadi ‘sesuatu’ kerugian selalu berada di pihak konsumen jasa parkir. Secara logis, selain menyediakan lahan pengelola parkir juga ikut menjaga keamanan dan keselamatan kendaraan konsumen selama parkir. Bahkan jika terjadi kerusakan atau kehilangan atas kendaraan yang dititip itu, pengelola parkir ikut serta bertanggungjawab untuk memberi ganti kerugian pada konsumennya.

Kedua, penggunaan konsep jasa asuransi parkir. Adanya jasa asuransi parkir akan meringankan dan sangat membantu pengelola parkir dan konsumen jasa parkir manakala terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada kendaraan yang di parkir.

Namun perlu diingatkan, bentuk jasa asuransi tersebut tidak bersifat all risk, tetapi cukup hanya total lost only. Artinya, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, misalkan kehilangan, maka dalam asuransi parkir ini, kerugian yang ditanggung oleh pengelola parkir, hanya berupa kehilangan kendaraan saja dan bukan semua dengan segala isi yang ada di dalam kendaraan itu.

Selanjutnya, adanya asuransi jasa parkir jelas akan menambah beban biaya, walau bagi konsumen jasa parkir, demi kepastian hukum, tentu tidak terlalu memberatkan. Sekadar bandingan PD Pasar Jaya, Provinsi DKI Jakarta membuat asuransi kendaraan bermotor memperoleh jaminan asuransi parkir dengan membayar premi Rp500 (mobil) dan Rp300 (sepeda motor) untuk satu kali parkir.

Tentu nominal premi sebesar itu, tidak bakal memberatkan bagi konsumen parkir. Apalagi hal itu bertujuan meningkatkan pelayanan, misalnya memberi kenyamanan, keamanan dan ketertiban pemilik kendaraan. Kalau begitu, siapa takut pakai asuransi parkir?

 

========

Sumber: Analisa, 18 September 2008



Tag: , ,

Post Terkait

Komentar