post.png
makanan-hasil-rekayasa-genetis-.jpg

Menggugat Pangan Rekayasa Genetika

POST DATE | 08 Agustus 2017

 Keberadaan pangan transgenik, hingga kini masih menjadi bahan perdebatan yang sangat alot, tidak hanya di Indonesia, tapi seluruh dunia, terutama menyangkut keamanannya bagi konsumen maupun bagi lingkungan hidup secara umum. Di Indonesia soal pangan transgenik belakangan menimbulkan kekhawatiran yang mendalam, mengingat pangan transgenik (rekayasa genetika) masuk ke Indonesia bagai ada dan tiada (tidak terdeteksi), tetapi frekuensinya meningkat terus.

Bahkan menurut seorang peneliti transgenik Fakultas Kehutanan USU, Edy Batara, “80 persen produk kecap dikonsumsi masyarakat Indonesia merupakan hasil tanaman (transgenik) karena Negara ini masih mengimpor bahan baku kedelai dari luar negeri” sungguh sangat fantastis!.

Yang sangat disesalkan dalam kasus transgenik, pemerintah membiarkan konsumen dalam keadaan tidak mengerti apapun tentang pangan transgenik itu. Mungkin konsumen dianggap tidak cukup layak untuk mendapat informasi karena dikhawatirkan “salah paham”.

Jadilah konsumen tidak tahu makanannya, mengandung rekayasa genetika atau bukan, aman atau tidak. Yang jelas produk impor transgenik dipastikan masuk ke Indonesia tanpa kontrol sama sekali, tanpa sertifikat uji keamanan. Alasannya sangat klise, bahwa hal tersebut tidak dipersyaratkan.

Tugas importir hanya mengimpor, perkara mengandung unsur transgenik atau tidak, itu soal lain dan bukan urusan iportir!. Dampaknya konsumen juga tidak bisa memilih, padahal (mungkin) makanan yang dikonsumsinya bertentangan dengan etika dan agamanya, sebab ada mahluk hidup yang diobok-obok gennya.

Sesungguhnya ditengah ketidak tahuan konsumen (rakyat) itu, pemerintah sejatinya memberi informasi yang berimbang, sebab konsumen perlu mendapat informasi hingga muncul semangat dan solidaritas konsumen dalam menyikapi sesuatu.

Pemerintah tidak perlu menutup-nutupi produk transgenik, sebab idealnya pemerintah bersifat netral dan bertindak bukan hanya untuk kepentingan segelintir orang saja dengan dalih alih teknologi dan kemajuan pertanian.

Makan Pangan Transgenik   

Pangan rekayasa genetika (transgenic) merupakan pangan yang disisipkan gen dari makhluk hidup lainnya. Bedanya dengan persilangan biasa yang terjadi antar makhluk serumpun, rekayasa genetika dapat menawarkan pelbagai kemungkinan, misalnya, bisa manusia disisipkan gen manusia lain, disisipkan gen hewan, gen tumbuhan, bakteri atau bisa tumbuhan disisipkan gen dari manusia, gen sesama tumbuhan, bakteri atau virus dan lain sebagainya.

Tujuannya bisa saja untuk meningkatkan keawetan, daya tahan terhadap serangan penyakit, menambah produktifitas, memperpanjang umur, memperindah penampakan dan lain-lain (Warta Konsumen, 2002: 21). Yang pasti secara ekstrim rekayasa genetika itu berarti digolongkan sebagai upaya manusia “mengobok-obok” kodrat alami satu makhluk hidup.

Perkembangan teknologi dan kemajuan oleh pangan harus disambut dengan antusiasme, sebab akan sangat membantu manusia dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya, apalagi disisi lain konon teknologi harus bebas nilai.  Menggalakkan rekayasa genetika sepanjang membawa manfaat bagi manusia dan kemanusiaan serta tidak melawan kodrat-Nya sah-sah saja dilakukan. Akan tetapi jika menyangkut masalah pangan, ini sangat dekat hubungannya dengan hak hidup seseorang.

Berkaitan dengan rekayasa genetika pertanggungjawabannya atas aspek keamanan dan keselaamatan merupakan prioritas yang tidak dapat diremehkan. Apalagi kemudian jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan pangan dan hak atas informasi yang telah tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Sederatan peraturan itu sejatinga menjadi landasan hukum labeling bagi pemanfaatan produk rekayasa genetika itu. Nyatanya pada produk rekayasa genetika, hak-hak tersebut sama sekali tidak dipenuhi. Keadaan itu tercermin dari produk makanan yang ada, tidak satupun yang mencantumkan  informasi keberadaan rekayasa genetika, hingga konsumen tidak akan tahu proses uji keamanan yang berlaku dan jaminan keamanan yang dapat diperoleh.

Secara normatif semestinya, pengujian kualitatif atas produk rekayasa genetika mendesak dilakukan, agar konsumen yang mengkonsumsi mendapat informasi yang memadai mengenai produk rekayasa genetika.

Setidaknya dengan labeling itu, masyarakat yang masih ragu-ragu menolak atau menerima terhadap keberdaan produk rekayasa genetika dapat kejelasan dan berhak untuk menyatakan mengkonsumsi atau tidak sama sekali.

Sikap Konsumen

Sejauh para peneliti belum mengetahui cara mengukur apakah makanan transgenik merupakan penyebab alergi. Reaksi alergi secara khas terjadi hanya beberapa saat setelah seseorang dibuat peka oleh pemaparan awal terhadap alergan.

Karena gen diambil dari organisme (seperti bakteri, virus, jamur, serangga, tunbuhan atau hewan) yang belum pernah digunakan pada makanan sebelumnya, zat (protein) yang mereka hasilkan tidak diketahui.

Protein merupakan sumber alergi dan rekayasa genetika melibatkan produksi protein, bukan hanya protein dari sumber penyebab alergi yang diketahui seperti: kacang, kerang, telur dan produk susu.

Makanan transgenik dapat saja menimbulkan reaksi alergi pada orang peka karena munculnya zat penyebab alergi yang tak terduga dan tak diketahui dalam makanan. Makanan yang sebelumnya aman bagi manusia dapat menjadi berbahaya jika setelah direkayasa secara genetic. Produksi protein baru dapat saja menjadi salah satu pemicu reaksi alergi.

Potensi bahaya makanan transgenic itu berdasarkan beberapa hasil penelitian terungkap bahwa kentang transgenic yang dimodifikasi untuk membunuh serangga menyebabkan masalah biolgis yang serius pada tikus, diantaranya masalah system kekebalan, pertumbuhan organ yang terhambat, perubahan dalam lapisan usus (peneliti Arpad Pusztai, 1998).

Para peneliti Inggris (1998) juga menunjukkan adanya peningkatan 50% dalam alergi makanan transgenic protein pemicu  reaksi hanya setelah pencernaan. Para korban mengeluhkan sindroma usus perih, masalah pencernaan, keluhan kulit, sindroma kelelahan, sakit kepala dan kelesuan.

Selain itu tahun 1989, sebuah epidemic penyakit baru yang aneh menyerang AS. Para korban menderita nyeri otot yang parah dan tingginya jumlah sel darah putih. Selain itu para korban juga mengalami kelumpuhan masalah syaraf dan jantung kronis kulit bengkak yang menyakitkan dan kulit pecah-pecah, gangguan kekebalan diri, kepekaan terhadap cahaya. Dalam beberapa bulan 5.000 orang dirawat di rumah sakit 37 meninggal dunia dan 1.500 cacat.

Hasil diagnosa pusat pengendalian penyakit AS menemukan bahwa semua korban pernah mengkonsumsi makanan tambahan yang dijual oleh took makanan kesehatan. Dalam kasus ini, empat gen disisipkan ke dalam sebuah bakteri agar bakteri tersebut mampu memproduksi lebih banyak trytophan. Enzim yang dipicu oleh gen mengubah metabolisme bakteri sehingga ia mulai memproduksi lebih banyak trytophan.

Akibatnya bakteri tersebut mulai mengalami reaksi sampingan, yaitu membentuk senyawa baru, serupa dengan trytopan namun mematikan bagi manusia. Walaupun produk ini setidaknya 98,5% murni, sejumlah kecil kontaminan sudah cukup untuk membunuh atau melumpuhkan manusia. Potensi ekses penggunaan produk trasgenik telah mengundang pelbagai respon.

Di Inggris perhimpunan gereja tidak mengizinkan uji coba tanaman hasil rekayasa genetika.Juga sekolah-sekolah dilarang menyediakan makanan hasil rekayasa genetika untuk para siswanya.

Thailand sejak tahun 1999 melarang impor benih hasil rekayasa genetika untuk keperluan komersial. China melarang penanaman komersialk untuk tanaman padi, gandum, jagung dan kedelai hasil rekayasa genetika.

Uni Eropa secara de facto melakukan moratorium terhadap semua persetujuan baru atas produk rekayasa genetika. Jerman melarang jagung transgenik BT Novartis, demikian juga Portugal, dan Luxemburg.

Prancis melarang penggunaan bibit yang resisten berbisida milik agro Evo dan PGS. Arab Saudi melarang dengan tegas produk hewan dan gandum hasil rekayasa genetika.

Nah, belajar dari kondisi objektif  yang ada itu, seyogiyanya konsumen dapat mengambil sikap tegas, agar jangan terjebak pada produk pangan transgenik. Apalagi ternyata produk pangan transgenic keberadaannya tidak ada jaminan keamanan yang diperoleh.

Di sisi lain pelaku usaha jangan demi meraih keuntungan berlimpah dan dengan dalih peningkatan produksi pertanian mengorbankan konsumen tanpa ada perlindungan keamanan dan informasi yang benar, jelas dan jujur.

Akhirnya perlu direnungkan pendapat FG Winarno dengan mengutip Allesin Snow (2002, pakar ekologi bahwa masalah utama yang dihadapi dari pangan transgenik bukan pada manusia konsumennya tetapi pada lingkungan.

"Kita telah membiarkan kucing lepas dari karungnya, sebelum memiliki data yang lengkap dan tampaknya akan sulit memanggil kucing tersebut kembali ke karungnya lagi". Genic telah keluar dari botolnya.

Menurut Dr Snow, gen telah tertembus angin, menyebar ke mana-mana, dalam bentuk benang sari dari suatu populasi tanaman lainnya dan karena alasan itu, ia benar-benar gundah bahwa pangan transgenik telah dikembangkan terlalu cepat, pada lahan subur yang luasnya berjuta-juta acre tanpa sebelumnya mengalami uji yang dianggap cukup terhadap pengaruh jangka panjangnya, khususnya terhadap dampak ekologinya di masa mendatang.

 

=========

Sumber: Agronomic, 10-23 Oktober 2011



Tag: , ,

Post Terkait

Komentar