POST DATE | 28 Juli 2017
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Namun demikian, sejauh ini UU Perlindungan Konsumen (UU Nomor 8 Tahun 1999) tersebut belum sepenuhnya ditegakkan. Konsumen sebagai objek UU Perlindungan Konsumen masih sering dirugikan oleh para pelaku usaha nakal.
Sebenarnya dengan adanya UU Perlindungan Konsumen secara normatif konsumen berhak untuk mendapatkan keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa.
Dengan kata lain, sejatinya setiap produk barang dan atau jasa tidak boleh membahayakan jika di konsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani maupun rohani. Faktanya masih banyak dugaan pelanggaran UU Perlindungan konsumen yang terjadi di Indonesia. Banyak kasus terungkap yang merugikan konsumen, walau diduga masih lebih banyak yang belum terungkap. Misalnya masih ditemukannya makanan produk impor dari China yang tidak ada pengamanan pangannya.
Kasus terkini adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), memerintahkan agar PT Kalbe Farma Tbk menarik produk anestesi atau obat bius bermasalah, Buvanest Spinal, dan obat penghentian perdarahan, Asam traneksamat, dari peredaran untuk mencegah korban yang lebih besar.
BPOM juga melakukan investigasi lebih lanjut kasus penggunaan obat anestesi produksi PT Kalbe Farma di salah satu rumah sakit di Tangerang, yang diduga mengakibatkan dua pasien meninggal dunia. Dua pasien dikabarkan meninggal dunia setelah pemberian obat anastesi Buvanest Spinal itu. Dugaan sementara adalah obat anestesi kemungkinan tertukar isinya. Obat diduga bukan berisi Bupivacaine 5mg/mL untuk pembiusan, melainkan asam traneksamat (tranexamic acid) yang bekerja untuk mengurangi pendarahan.
Banyak Kasus
Jauh sebelum kasus itu terjadi masih ada berbagai kasus ”penyalahgunaan” produk dalam bentuk tanpa pemasangan label halal dan tidak memasang batas akhir masa aktif (daluwarsa). Misalnya, adalah kasus Sprite tahun 1996, kasus Sosis Aroma tahun 1997, kasus sapi glonggongan (1999), kasus ayam import (1999-2002), kasus Celeng cap Sop (2000-2002), kasus Ajinomoto (2001), kasus hati import (2001-2002), kasus ayam tiren (2003), kasus formalin, boraks dan lain-lain. Kasus serupa terus terjadi dan telah mengisi lembaran media.
Selain itu, masih ada beberapa kasus pernah pula dilaporkan tentang perbuatan curang dan tidak bertangggung jawab sejumlah orang yang memproduksi makanan dari bahan-bahan yang tidak layak. Kemudian dipasarkan di pasar tradisional, hingga dikonsumsi oleh anak-anak sekolah.
Masih ada pelaku usaha yang tega, misalnya menjual nugget dari bahan ayam tiren (bangkai ayam) yang diolah dengan terigu kadaluwarsa, dicampur formalin atau benzoat. Makanan yang tidak memenuhi standar kesehatan ini, dijual bebas di pasar tradisional dengan harga jauh lebih murah dibandingkan dengan nugget olahan pabrik. Dengan harga yang relatif murah, maka sudah jelas sasarannya adalah masyarakat kelas menengah ke bawah.
Dari rentetan kasus itu, jarang ada tindakan hukum dari pihak yang berwajib, sekalipun jelas terbukti ada pelanggaran hukum. Padahal keberadaan produk bermasalah ini sangat mengkhawatirkan karena tidak ada jaminan bagi pemenuhan hak-hak konsumen. Tidak ada jaminan kualitas produk, seperti menyangkut keamanan, kenyamanan, jaminan purna-jual ataupun ganti rugi kepada konsumen.
Kalau dikaji secara hukum, sikap tidak bertanggungjawab dari sebagian produsen tersebut, adalah kejahatan di bidang hukum, sosial dan ekonomi. Masalah seperti itu akhir-akhir ini banyak dilakukan, baik produk dalam negeri maupun produk luar negeri.
Selain rutin melakukan pengawasan dan pembinaan, pemerintah harus bernyali melakukan advokasi atau menertibkan terhadap berbagai praktik bisnis yang cenderung mengabaikan hak-hak konsumen. Di lain pihak, pemerintah perlu bertindak tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga kepentingan dan hak konsumen terjamin.
Bagi importir, distributor dan pengecer yang masih membandel menjual produk tersebut dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku yaitu UU No. 18 Tahun 2012 tentang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Pangan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,- (dua milyar rupiah).
Selain ancaman pidana di atas, terhadap pelaku usaha dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa (Pasal 63 UUPK): perampasan barang tertentu; pengumuman keputusan hakim; pembayaran ganti rugi; perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau dan pencabutan izin usaha.
Sikap Kritis
Memang di Indonesia, kelahiran Undang-undang sebagai payung hukum sangat penting, tetapi lebih penting lagi adalah penerapan aturan tersebut dalam hidup bermasyarakat. Karena berapa banyak produk hukum yang dilahirkan dan nasibnya hanya sekadar menjadi sekumpulan peraturan hukum yang tercampakkan.
Agar tidak terulang lagi kejadian-kejadian yang merugikan bagi konsumen, maka konsumen harus merekonstruksi paradigma dan perilaku konsumsi dengan cara, seperti: kritis terhadap iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk. Teliti sebelum membeli (baca keterangan label yang ada). Biasakan belanja sesuai rencana.
Memilih barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi aspek keamanan, keselamatan, kenyamanan dan kesehatan. Jangan lupa membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Senantiasa memperhatikan label, keterangan barang dan masa kadaluarsa
Rekonstruks perlindungan konsumen harus dilaksanakan secara bersama, baik pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat. Gugatan pemberdayaan konsumen perlu dikembangkan untuk melindungi kepentingan konsumen secara integratif, menyeluruh, dan dapat diterapkan secara efektif di dalam masyarakat. Tanpa rekonstruksi perlindungan konsumen, posisi konsumen tidak beranjak dari sekadar pasar yang didikte kekuatan modal dan jaringan pelaku usaha.
========
Sumber: http://www.medanbisnisdaily.com