post.png
PUTUSAN_HAKIM.jpg

Menghormati Putusan Hakim

POST DATE | 16 Februari 2023

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis hakim untuk para terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Ferdy Sambo divonis hukuman mati dan Putri Candrawathi dihukum 20 tahun penjara Adapun Ricky Rizal divonis 13 tahun penjara dan Kuat Ma’ruf 15 tahun penjara (https://nasional.tempo.co/read/1691379/4-vonis-hakim-lebih-tinggi-ketimbang-tuntutan-dalam-kasus-ferdy-sambo-cs).

Publik terbelah merespons vonis hakim tersebut. Bagi IPW (Indonesia Police Watch) Ferdy Sambo Tak Layak Dihukum Mati (vide https://nasional.kompas.com/read/2023/02/13/17505241/ipw-ferdy-sambo-tak-layak-dihukum-mati). Sebaliknya bagi Mahfud MD soal Vonis Mati Ferdy Sambo: Sudah Tepat (vide https://news.detik.com/berita/d-6567275/mahfud-md-soal-vonis-mati-ferdy-sambo-sudah-tepat).

Sangat perlu dipahami sesungguhnya tidak ada putusan hakim di pengadilan manapun termasuk dakam kasus putusan Ferdy Sambo, cs, yang dapat memuaskan semua pihak. Pasti terjadi pro dan kontra. Ada yang suka dan yang tidak suka. Ada yang merasa puas dan ada yang tidak merasa puas terhadap putusan. 

Respons suka-tidak suka, senang-tidak senang, tersebut tentu harus dihormati. Setiap orang punya cara pandang dalam menilai putusan hakim dan termasuk punya hak untuk berpendapat di ruang terbuka atas putusan hakim tersebut.

Cara menghormati putusan hakim adalah dengan melihat secara jernih substansi dan pertimbangan hukum putusan. Begitupun bagi pihak yang berkeberatan dengan putusan tersebut, masih terdapat langkah hukum yang disediakan hukum acara pidana. Seperti upaya hukum banding, kasasi, hingga Peninjauan Kembali/PK.

Upaya hukum mesti ditempuh pihak terdakwa maupun terpidana dalam rangka memperoleh keadilan. Jika ada yang keberatan atas putusan tersebut, hendaknya melakukan upaya sesuai mekanisme dan aturan yang berlaku.

Selain itu, jika hendak menggunakan haknya di publik, maka beropinilah secara wajar dan objektif, berhenti untuk memengaruhi keputusan majelis hakim. Karena itu, setiap insan tetap berusaha untuk tidak menjadi peradilan kedua selain ruang sidang dan majelis hakimnya.

Memang putusan hakim seperti suratan takdir yang menentukan hidup matinya seseorang. Karena itu, selain sebutan "Yang Mulia", hakim disebut pula sebagai "wakil Tuhan" di muka bumi. Sebutan tersebut menyiratkan kedudukan hakim yang terhormat dibandingkan profesi atau jabatan lain. Mengapa sebutan tersebut bisa muncul?

Sebutan “wakil Tuhan” sesungguhnya tidak pernah muncul dalam peraturan resmi mana pun. Tetapi secara filosofis sebutan ini tidak lepas dari landasan hukum seperti tertera pada Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal tersebut bermakna bahwa setiap putusan hakim wajib mencantumkan irah-irah “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Melalui penyebutan irah-irah tersebut, hakim tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, diri sendiri, atau pencari keadilan. Lebih dari itu, hakim bertanggung jawab kepada Tuhan. Di meja peradilan, hakim memiliki kekuasaan tertinggi. Siapa pun yang memiliki perkara harus tunduk pada putusan hakim.

Itu sebabnya hakim seolah-olah menjadi wakil Tuhan dalam memutuskan kebenaran dan keadilan. Kedudukan tersebut membuat hakim berhak mendapatkan gelar Yang Mulia atau officium noble (https://nasional.tempo.co/read/1671429/mengapa-hakim-disebut-sebagai-wakil-tuhan).

Tiada pilihan lain, putusan hakim harus lahir dari senyawa penalaran hukum yang kokoh, ketajaman nurani, dan kejernihan akal budi. Sudikno Mertokusumo (2006) pernah mengatakan putusan hakim harus dianggap benar (Res Judicata Pro Veritate Habetur). Asas hukum tersebut menuntut putusan hakim didasarkan pada fakta dan ratio decidendi yang didukung oleh suatu alat bukti yang kuat.

Dalam hukum pidana dikenal asas “in criminalibus probationes debent esse luce clarions” yang meniscayakan bukti-bukti itu harus lebih terang daripada cahaya. Hal ini bertujuan agar putusan hakim tidak menjelma sebagai kejahatan yang diformalkan. Putusan meniscayakan lahir dari pribadi-pribadi hakim yang sudah selesai dengan dirinya, yang tidak teperdaya oleh silaunya kenikmatan dunia.

Akuntabilitas Putusan Hakim

Bagi Achmad Fauzi (2022) begitu fundamentalnya dampak dari putusan hakim sehingga hukum secara ketat mengingatkan hakim dalam sebuah adagium: “lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Adagium tersebut penting direnungkan karena dunia peradilan memiliki pengalaman traumatik ketika pedang hukum melukai orang tak bersalah.

Putusan berkualitas mencerminkan kepiawaian dan kemampuan Hakim di dalam memutus perkara. Otoritas memutus perkara ada pada Hakim sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang dijamin kemerdekaannya oleh konstitusi Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman antara "Putusan" dan "Hakim" merupakan dua hal yang tak terpisahkan, karena putusan pengadilan adalah produk Hakim maka putusan berkualitas mencerminkan Hakim yang berkualitas.

Banyak teori tentang bagaimana mewujudkan putusan Hakim yang berkualitas, namun bagi pencari keadilan yang mendambakan keadilan hukum terhadap perkaranya pada Hakim, putusan Hakim yang berkualitas baginya tidak lain hanyalah putusan yang dapat mewujudkan keadilan atau putusan yang mencerminkan rasa keadilan yang dapat  dilaksanakan dan dapat diterima atau memuaskan pencari keadilan.

Kemerdekaan kekuasaan kehakiman berada di tangan Hakim. Sebagai penyelenggara negara di bidang yudikatif, Hakim adalah Penerap, Penegak, dan Penemu hukum. Pada waktu memutus perkara, selaku Penegak hukum Hakim dalam proses peradilan menerapkan hukum demi ketertiban masyarakat dan kepastian hukum.

Jika hukum dalam undang-undang yang akan diterapkan (ditegakkan) tidak ditemui, Hakim mencari (menemukan) atau menciptakan hukum, dan memberikan solusi hukum dalam sengketa atau perkara yang ditanganinya.

Menurut Farid Wajdi (2019) hakim ketika membuat putusan tentu tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada pimpinan atau atasan saja, melainkan harus mampu dipertanggungjawabkan kepada masyarakat umum, agama, dan tentu saja kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Hakim sebagai aktor utama di lembaga peradilan harus mampu membuat keputusan pengadilan yang seadil-adilnya. Semua putusan hakim bakal dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.

Menurut Wahyudi Kurniawan (2017), kalimat itu adalah pedoman utama bagi hakim dalam mengambil setiap tindakan keputusan atau perbuatan menjatuhkan putusan senantiasa dilandasi niatan menegakkan keadilan (QS. Al-Ma’idah, 5: 5-8).

Untuk menguji hal tersebut ST. Zubaidah (2017) mengatakan paling tidak ada 4 (empat) parameter dasar pertanyaan (the four way test), yaitu: sudah benarkah putusan tersebut?, sudah jujurkah dalam mengambil putusan tersebut?, sudah adilkah putusan tersebut?, dan bermanfaatkah putusan tersebut?

Tidak hanya itu, Bismar Siregar (2015) mengatakan sesungguhnya sumpah para hakim bahwa keadilan yang diucapkan mengatasnamakan Tuhan kecuali menjadikan ia wakil Tuhan, juga sekaligus ia bertindak dan berbuat dan bersumpah atas nama Tuhan.”

Sulistyowati Irianto, dkk (2017) mengatakan, akuntabilitas putusan hakim itu bukan sekadar slogan kosong. Tidak hanya sekadar pelengkap putusan hakim belaka. Hakim harus menghayati prinsip transendensi yang melekat atas profesinya.

Jabatan hakim itu sunyi (silent corps). Bekerja dalam keheningan. Jauh dari kebisingan diskursus dan popularitas. Dalam kesunyian hakim berkontemplasi mencurahkan pijar pemikiran, demi melahirkan sebuah putusan yang progresif. Para hakim dalam mengeluarkan pendapat adalah melalui putusan dan penetapan yang dikeluarkannya (Een rechter spreekt met zijn vonnissen en beschikkingen).

Terakhir mengutip Paulus E. Lotulung (2011) hukum dibuat tidak semata untuk ditegakkan. Putusan Hakim tidak dijatuhkan hanya di ruang hampa melainkan untuk memberikan keadilan. Penegakan hukum di samping untuk mewujudkan perlindungan hukum juga harus dapat mewujudkan keadilan.

Karena itu, dalam penegakannya sensitivitas Hakim terhadap rasa keadilan bersifat niscaya, sehingga harus dipergunakan agar dapat menjembatani antara kepastian hukum dan rasa keadilan.

=============

Sumber: Analisa, Jumat, 17 Februari 2023, hlm. 12



Tag: , , , , , , ,

Post Terkait

Komentar