POST DATE | 16 Juli 2017
Sejak November 2014 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi memberlakuan sistem pembayaran rekening secara online. Sistem pembayaran melalui perbankan dan jasa pos (Payment Point Online Bank/PPOB) sekaligus menghentikan penagihan rekening air secara door to door (rumah ke rumah).
Masalahnya adalah proses pengalihan sistem tagihan ini terkesan dilakukan secara mendadak. Padahal, mestinya didahului dengan sosialisasi dan sebaiknya sudah dilaksanakan setidaknya 6 (enam) bulan sebelum sistem online dilaksanakan. Jadi, ada masa jeda waktu atau masa transisi peralihan dari sistem pembayaran dari manual (door to door) ke online.
Kondisi riel ini menunjukkan pengalihan pola pembayaran manual ke sistem online dilakukan minim persiapan, terburu-buru. Ironisnya, dari semua proses itu tetap pelanggan yang dirugikan. Sebenarnya mengenai penggunaan layanan online, PDAM Tirtanadi harusnya telah mampu memberi kemudahan bagi pelanggannya. Pelanggan bisa melakukan pelayanan pemasangan baru secara online, status permohonan diketahui dari online, tagihan perbulan berbasis web melalui online, pengaduan/komplain pelayanan dapat dilakukan secara online, sehingga bisa diakses dengan teknologi informasi di manapun pelanggan berada.
Pelayanan online adalah suatu keniscayaan. Oleh sebab itu, pelayanan sistem online payment point diharapkan mampu memberikan kepuasan dan manfaat kepada pelanggan, karena kepuasan pelanggan merupakan salah satu tujuan yang mesti dicapai perusahaan.
Didik Setyo Pranggono (2012) dengan mengutip Szajna dan Scammell (1993) mengatakan keputusan atas investasi sistem informasi menjadi perhatian terhadap faktor penentu pengembangan sistem informasi menjadi suatu hal yang sangat penting, pengembangan sistem informasi sangat tergantung pada kesesuaian harapan antara sistem analis, pemakai (user), sponsor dan pelanggan (customer).
Didik Setyo Pranggono (2012) dengan meminjam Bodnar dan Hopwood (1995) berpendapat pengembangan sistem informasi memerlukan suatu perencanaan dan implementasi yang hati-hati. Sikap hati-hati diperlukan untuk menghindari adanya penolakan terhadap sistem yang dikembangkan. Karena perubahan sistem manual ke sistem komputerisasi tidak hanya menyangkut perubahan teknologi tetapi juga perubahan perilaku dan organisasional
Cacat Hukum
Peralihan sistem penagihan langsung pembayaran rekening ke sistem online sebenarnya kebijakan yang sangat baik, tapi pada prosesnya banyak menimbulkan masalah. Selain soal minimnya sosialisasi, kesiapan pihak ketiga (bank, kantor pos), ketidakjelasan peruntukan biaya hubungan langganan, dasar hukum perjanjian kerjasama yang melanggar norma hukum (cacat hukum), masalah lain adalah menyangkut kepuasan pelanggan.
Sistem pembayaran melalui perbankan dan jasa pos atau PPOB yang diterapkan PDAM Tirtanadi ini secara normatif adalah cacat hukum. Cacat hukum karena perjanjian atau kerjasama itu melanggar ketentuan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2009, Pasal 16 huruf h: “melakukan pinjaman, mengikatkan diri dalam perjanjian, dan melakukan kerjasama dengan pihak lain dengan persetujuan gubernur atas pertimbangan Dewan Pengawas dengan menjaminkan asset PDAM.”
Selain itu berkaitan dengan kewenangan melakukan perjanjian sesuai SK Gubernur Sumatera Utara Nomor 539/060/K/Tahun 2009 Tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja PDAM Tirtanadi juncto Nomor 148/Kpts/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perusahaan Daerah Air Minum Tirtanadi Provsu, Pasal 6 Wewenang Direktur Utama (ayat 3 dan 4) dinyatakan: “menandatangani perjanjian kerjasama, neraca dan rincian laba rugi perusahaan, dan menandatangani ikatan hukum dengan pihak lain”
Secara hukum dapat dimaknai bahwa proses perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga (PDAM Tirtanadi dengan pihak perbankan/pos) dan penerapan pembayaran via bank atau jasa pos (transaksi online) dimaksudkan mesti mendapat persetujuan gubernur sebagai pemegang saham/pemilik perusahaan. Sekaligus mesti mendapat pertimbangan dari Dewan Pengawas.
Dari proses yang ada mulai perjanjian kerjasama dan proses pembayaran dilaksanakan gubernur belum pernah mengeluarkan persetujuan dan dewan pengawas PDAM Tirtanadi pada saat perjanjian kerjasama ditandatangani, sedang dalam keadaan kosong (tidak ada). Oleh karena itu, dinyatakan bahwa perjanjian atau kerjasama itu tentu secara prosedur formal telah cacat.
Merujuk Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2009, Pasal 16 huruf h. Jadi, setiap kerjasama dengan menjaminkan asset PDAM harus mendapat persetujuan gubernur dan sebelumnya telah ada pertimbangan dewan pengawas. Perlu dipahami bahwa pendapatan dari rekening tagihan yang dibayar pelanggan adalah “asset perusahaan”. Persetujuan gubernur dan pertimbangan dewan pengawas adalah bersifat mutlak, tidak boleh disimpangi dalam keadaan apapun!
Fakta lain yang dikesampingkan adalah yang memiliki kewenangan menandatangani perjanjian kerjasama dan ikatan hukum dengan pihak lain adalah Direktur Utama. Fakta menunjukkan perjanjian kerjasama dan ikatan hukum itu tidak diwakili Direktur Utama, melainkan pihak lain di luar Direktur Utama. Secara hukum Direktur Utama tidak pernah diberhentikan atau dinonaktifkan (baik bersifat tetap ataupun sementara).
Pemberhentian atau penonaktifan adalah kewenangan kepala daerah sebagaimana ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2007 juncto Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2009, bahwa secara formal hak dan kedudukan Ir. Azzam Rizal, M. Eng adalah sebagai Direktur Utama (saat perjanjian/kerjasama dimaksud ditandatangani).
Terkait status yang bersangkutan berada dalam tahanan adalah tidak menghapuskan hak hukum dan kedudukannya. Dengan kata lain, kewenangan yang ada pada Direktur Utama sebagaimana maksud Pasal 6 Keputusan Direksi Perusahaan Derah Air Minum Nomor: 148/Kpts/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perusahaan Daerah Air Minum Tirtanadi ProvSu adalah masih melekat pada diri Direktur Utama (dalam hal ini Ir. Azzam Rizal, M. Eng).
Perlu ditambahkan posisi Surat Gubernur Sumatera Utara Nomor: 539/6502 perihal Pelaksanaan Tugas Direksi PDAM Tirtanadi, tertanggal 17 Juli 2013, pada intinya menerangkan: “untuk menjaga anggaran pendapatan biaya dan investasi PDAM Tirtanadi 2013 dapat berjalan sesuai dengan jadwal yang ditentukan, dan penyelenggaraan pelayanan air bersih kepada masyarakat tidak terganggu diminta kepada saudara untuk melaksanakan tugas Direksi secara kolektif sesuai bidang tugas masing-masing”. Substansi surat (bukan keputusan!) Gubernur Sumatera Utara menyatakan tugas dilaksanakan secara kolektif sebagai “pelimpahan pelaksanaan” tugas bukan “pelimpahan kewenangan’. Tidak terdapat adanya “pelimpahan kewenangan-kewenangan Direktur Utama lain” dan selebihnya termasuk kewenangan untuk mengambil keputusan: “menandatangani perjanjian kerjasama, neraca dan rincian laba rugi perusahaan, dan menandatangani ikatan hukum dengan pihak lain” (vide Pasal 6 Wewenang Direktur Utama (ayat 3 dan 4) Keputusan Direksi Perusahaan Derah Air Minum Nomor: 148/Kpts/2008).
Selain itu, jika merujuk pada ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2007 tanggal 18 Januari 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum, direksi berkewajiban untuk tetap berkoordinasi dan berkonsultasi dengan Direktur Utama.
Karena itu, baik segi prosedur maupun substansi perjanjian sistem pembayaran itu bertentangan dengan hukum sehingga masuk dalam kualifikasi illegal/cacat hukum. Jadi, perjanjian kerjasama dan segala turunannya dinyatakan tidak sah.
Pihak terkait seperti lembaga perbankan perlu meninjau ulang soal perjanjian itu, karena secara prosedur formal tidak ada persetujuan gubernur dan pihak yang menandatangani (subjek hukum) tidak memiliki kompetensi hukum (di luar Direktur Utama). Niat baik harus melalui proses dan tahapan yang benar. Tidak ada legalisasi niat baik dilakukan dengan cara yang tidak benar. Perusahaan yang baik dan sehat (good corporate governance) harus taat asas dan patuh hukum. Perusahaan publik harus dikelola berdasarkan ketentuan hukum.
Prinsip negara hukum adalah suatu negara yang menerapkan prinsip legalitas, yaitu segala tindakan negara melalui, berdasarkan dan sesuai dengan hukum. Norma hukum mempunyai kedudukan tertinggi supaya pelaksanaan kekuasaan negara tidak menyimpang dari undang undang, norma hukum, dengan demikian kekuasaan akan tunduk pada hukum, bukan sebaliknya!. ***
========
Sumber: http://harian.analisadaily.com