post.png
iklan-sesat.jpg

Menjual Iklan Kompetitif

POST DATE | 04 Agustus 2017

Mungkin sebagai pemirsa televisi (tv), masih ingat dengan tayangan iklan pasti gigi yang dibuat berseri pada eposide ketiga, tatkala seorang gadis meninggalkan altar gereja persis saat akan menerima pemberkatan perkawinan, si gadis lari meninggalkan pasangan yang berada di sampingnya.

Padahal prosesi perkawinan telah dimulai untuk menerima sakramen perkawinan dari calon suaminya. Tetapi sangat mengejutkan si gadis impian itu, menjatuhkan pilihannya pada pemuda yang pernah berpapasan dengannya (pada episode kedua). Apa pasal? Ternyata tak lebih dari karena kilau senyum sang pemuda yang menampakkan gigi nan putih. Hadirin di gereja terrtawa terbahak-bahak menyaksikan kekonyolan.

Ya, memang sampai saat ini iklan masih dipercaya sebagai alat ampuh menarik calon pembeli. Tidak mengherankan produk barang dan atau jasa orang merogoh kantong untuk membiayai ongkos iklan yang terhitung tidak murah. Nyaris semua jurus (cara) ditempuh orang untuk mengiklankan ‘dagangan’nya walau harus membayar mahal pada produksi maupun distribusinya.

Iklan merupakan upaya sepihak dari pelaku usaha untuk menggambarkan produk barang dan/atau jasa secara visual atau audio dengan titik fokus penonjolan pada kelebihan produk itu.

Iklan diperlukan sebagai upaya untuk memikat pembaca, pendengar dan pemerhati iklan secara aktif dan pasif, muaranya tentu saja agar konsumen mau menjatuhkan pilihannya pada apa yang diiklankan. Iklan dapat menciptakan, mempertahankan atau memperbesar pangsa pasar produk tertentu. Logika sederhananya, memasang iklan berarti ada upaya pelaku usaha untuk mendikte pasar!.

Menyesatkan

Terkait dengan iklan disinyalir masih banyaknya bergentayangan iklan yang menyesatkan atau mengelabui. Bahkan hampir pada semua lini, baik iklan produk kosmetika, jamu, obat tradisionil dan obat-obatan termasuk minuman kesehatan (food suplement) terindikasi banyak yang berlebih-lebihan dan mengada-ada.

Akibatnya, informasi yang disampaikan tidak akurat lagi dan bahkan cenderung menyesatkan. Frekuensi persaingan bisnis yang begitu tinggi di antara pelaku usaha, telah memanipulasi konsumen dan menghadirkan persaingan tidak sehat. Akhirnya dari iklan tadi muncul pemberian keterangan atau informasi yang tidak benar (fraudulent misrepresentation).

Fenomena pemberian keterangan atau informasi yang tidak benar (fraudulent misrepresentation) dalam praktik periklanan di Indonesia tergolong sudah menggejala. Akan tetapi untuk mengukurnya terkesan gampang-gampang susah.

Disebut gampang, karena dampak suatu iklan akan mudah dan serta merta terasa. Letak susahnya itu berada pada perangkat aturan (code of conduct) tentang periklanan belum lengkap.

Peranan aturan tentang periklanan di Indonesia hanya ada dalam bentuk kode etik, yaitu Tata Krama dan Tata Periklananan. Kode etik periklanan ini memuat sejumlah aturan tentang beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam beriklan. Misalnya, larangan pemanfaatan tenaga profesional seperti dokter, ahli farmasi, tenaga paramadic berikut atribut profesinya dalam mengiklankan obat-obatan dan alat-alat kesehatan.

Konsekuensi logis tata aturan periklanan yang tak lebih dari sekadar ‘kode etik’ itu, mengakibatkan pelbagai pelanggaran atasnya tidak mudah dinilai di mata ketentuan hukum. Sebab ‘kode etik’ periklanan yang ada itu ternyata berada di kawasan ‘abu-abu’. Momentum yang demikian dimanfaatkan pula dengan baik oleh perancang iklan, dan mereka bermain cantik di tengahnya.

Jadi, kalau ada ketentuan hukum yang mengatur masalah kata-kata atau kalimat, maka mereka melakukan aksi siasat dengan berlakon pada tampilan visual dan bahasa gambar. Lantas setelah itu, muncullah beragam kemungkinan tafsir yang berbeda atas iklan yang bersangkutan. Ujung-ujungnya ‘tangan hukum’ dan ‘jerat peraturan’ dan ‘jerat peraturan’ sulit menetapkan suatu iklan melanggar etik atau tidak.

Kreatif-Kompetitif

Yang namanya kode etik dalam bentuk ‘tata krama’ sesungguhnya mengandung kelemahan dalam penegakkan dan pengawasannya. Tata krama itu memang bersifat pengaturan diri sendiri (selfregulation), berorientasi instrospektif, akibatnya tidak efektif dan jadi ‘pajangan’ atau dokumentasi’ mati belaka. Karena itu menurut Zaim Saidi (2003: 43), agar instrumen tatakrama dapat efektif manakala terpenuhi dua syarat yakni:

Pertama, pelakunya memiliki integritas moral dan etika sehingga menganut prinsip ‘kebajikan diri’ hingga menerapkan manfaat tenaga profesional seperti dokter, ahli farmasi, tenaga pramadic berikut atribut profesionya dalam mengiklankan obat-obatan dan alat-alat kesehatan.

Kedua, pelakunya juga menyakini bahwa prinsip etika dan moral sepatutnya diberlakukan secara universal termasuk pada dirinya sendiri. Lebih dari itu para pelaku melampaui ruang lingkup pemahaman jangka pendek, dan berdimensi eskatalogis, bahwa pertanggungjawaban moralnya sebagai sesama manusia akan dibawanya sampai ke akhirat.

Dalam hal ini (Republika, 13 Juni 2002, h. 15) Ketua Umum Indonesia Pharmaceutical Watch (IphW), Drs. Amir Hamzah Pane, Apt, MM mensyaratkan minimal tiga kunci pokok yang harus diaati dalam menata produsen pengiklan.

Pertama, objektif. Artinya harus memberikan informasi yang sesuai dengan kenyataan dan tidak boleh menyimpang dari sifat kemanfaatan dan keamanannya.

Kedua, lengkap. Tidak boleh hanya mencantumkan khasiatnya saja, tetapi informasi mengenai hal-hal yang harus diperhatikan. Misalnya, adanya kontraindikasi, efek samping, pantang dan lain-lain.

Ketiga, tidak menyesatkan. Informasi yang diberikan harus jujur, akurat, bertanggungjawab, tidak boleh memanfaatkan masyarakat, serta tidak boleh menimbulkan persepsi yang mengakibatkan penggunaannya yang berlebihan, atau tidak berdasarkan kebutuhan.

Selain itu, jika dikaitkan dengan asas-asas umum periklanan yang terdiri atas; iklan harus jujur, bertanggungjawab dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan merendahkan martabat negara, agama, susila, adat, budaya, suku dan golongan serta iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan tata krama dan tata cara beriklan.

Misalnya, iklan harus jujur, tidak boleh menyesatkan, seperti memberikan keterangan tidak benar, mengelabui, dan memberikan janji berlebihan. Sedangkan dalam tanggungjawab, iklan tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan merugikan masyarat.

Pengiklan bertanggungjawab atas benarnya informasi tentang produk yang disampaikan kepada perusahaan iklan. Perusahaan periklanan bertanggungjawab atas ketepatan unsur persuasi yang disampaikannya dalam (pesan) iklan (vide Pasal 17 UUPK). Sedangkan media periklanan bertanggungjawab untuk kesepadanan iklan yang disiarkan dengan nilai-nilai sosial budaya dari masyarakat yang menjadi sasaran siarannya (vide Pasal 20 UUPK).

Selanjutnya, dari sudut persaingan usaha juga dilarang menggunakan kata-kata “ter”, “paling”, “nomor satu”, “satu-satunya” dan atau yang sejenisnya tanpa menjelaskan dalam hal apa keunggulan tersebut. Secara keseluruhan diharapkan produk iklan yang dihasilkan penuh muatan kreativitas yang menjunjung asas-asas umum kode etik periklanan.

Kreativitas iklan yang kompetitif itu, tidak lain kreativitas yang berorientasi konsumerisme. Tidak menjajakan nilai-nilai konsumtif dan hednistik. Meninggalkan dan menanggalkan iklan yang mengelabui dan membodohi masyarakat. Jauh dari iklan yang mengecoh atau memberi janji kosong, tidak menyembunyikan sesuatu, tidak mengeksploitasi anak-anak dan wanita, tidak mengeksploitasi kaum profesional, menghomati dan menghargai nilai-nilai tradisi yang hidup di masyarakat dan lain sebagainya.

 

========

Sumber: Analisa, 07 Juni 2003



Tag: , ,

Post Terkait

Komentar