POST DATE | 27 Oktober 2021
Oleh: Andryan
Judul: Pengawasan Hakim dan Penegakan Kode Etik di Komisi Yudisial
Penulis: Farid Wajdi, Imran dan Muhammad Ilham Hasanuddin
Penerbit: Sinar Grafika, Maret 2020
Tebal: xxiv + 410 halaman
Perubahan konstitusi dalam periode 1999-2002, telah banyak mengubah struktur tetatanegaraan Indonesia. Salah satu hal yang menarik untuk memberantas dan mencegah kemerosotan lembaga peradilan, yakni lahirnya Komisi Yudisial sebagai lembaga negara baru, dan pembentukannya berdasarkan UUD 1945. Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, menyebutkan
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Selanjutnya Pasal 40 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan apa yang harus dilakukan Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan hakim, (1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Istilah ‘menjaga dan ‘menegakkan’ kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam wewenang Komisi Yudisial sebagaimana disebut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mengandung makna preventif dan represif.
‘Menjaga’ berarti Komisi Yudisial melakukan serangkaian kegiatan yang dapat menjaga hakim agar tidak melakukan tindakan yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. ‘Menegakkan’ bermakna Komisi Yudisial melakukan tindakan represif terhadap hakim yang telah melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Tindakan itu dapat berbentuk pemberian sanksi.
Adapun tugas Komisi Yudisial dalam konteks melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim adalah Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran KEPPH. Komisi Yudisial dapat meminta keterangan atau data kepada Badan Peradilan dan/atau Hakim.
Dari penjelasan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Mahkamah Agung adalah menjalankan fungsi pengawasan internal, sedangkan Komisi Yudisial menjalankan fungsi pengawasan eksternal.
Oleh karena yang diawasi adalah sama-sama hakim di badan peradilan, maka pasti ada irisan kewenangan (yang disebut sebagai tumpang tindih kewenangan). Kedua lembaga sama-sama berwenang mengawasi hakim.
Tentu saja ada bedanya. Komisi Yudisial hanya berwenang mengenai dugaan pelanggaran KEPPH dan hanya berwenang terhadap hakim. Sebaliknya, Mahkamah Agung bukan hanya berwenang memeriksa dugaan pelanggaran KEPPH tetapi juga teknis yudisial, administrasi dan keuangan; dan Mahkamah Agung berwenang mengawasi aparat pengadilan selain hakim.
Buku yang berjudul "Pengawasan Hakim dan Penegakan Kode Etik di Komisi Yudisial", ini setidaknya memuat 8 (Delapan) Bab yang membahas mengenai pengawasan hakim dan penegakan kode etik. Pada Bab I, mengulas mengenai Negara Hukum, Komisi Yudisial dan Dinamika Kewenangan. Sebagai lembaga negara yang lahir dari rahim reformasi, pembentukan KY sebagai bagian dari tuntutan sejarah bangsa setelah sekian lama menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah tekanan kekuasaan rezim Orde Baru.
Ketidakadilan sosial-ekonomi-politik-hukum yang berlangsung kurang lebih 32 tahunan telah membangkitkan kesadaran masif masyarakat untuk melakukan perlawanan kepada rezim Orde Baru. Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan negara menuntut adanya kontrak sosial baru untuk mengatur hubungan warga negara dengan negara dalam sistem negara hukum yang demokratis melalui perubahan konstitusi. (hlm. 7)
Pada Bab 2, memuat mengenai Penegakan Etika Hakim dan Pelaksanaan Kewenangan Komisi Yudisial. Pengawasan yang dilakukan oleh KY merupakan mekanisme normal, positif dan konstitusional dalam negaran hukum yang demokratif agar kekuasaan kehakiman tidak menyimpang atau disalahgunakan. Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh para hakim merupakan tanda urgensi dibutuhkannya kontrol bukan saja dari internal lembaga pengadilan tetapi juga dari luar pengadilan.
Menurut Jimly Asshiddiqie, dibentuknya Komisi Yudisial adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim.
Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat dan perilaku hakim. Dalam Proses pengawasan tersebut, tindakan yang bersifat menjaga (preventif dan menindak (represif) merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan satu sama lain. (hlm. 62)
Bab 3, membahas mengenai Antara Teknis Yudisial dan Pelanggaran Perilaku. Seperti diperkirankan pada saat awal pembentukannya, penafsiran pengawasan dan pemantauan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial telah memicu konflik antara kedua lembaga. Pengawasan perilaku hakim merupakan topik yang menjado objek perdebatan semenjak didirikannya KY hingga kini.
Perdebatan tersebut terutama dilatarbelakangai oleh perbedaan penafsiran terhadap kewenangan pengawasan perilaku yang dimiliki oleh KY. MA berpandangan bahwa pengawasan teknis putusan bukan merupakan kewenangan KY dalam rangka menjaga independensi peradilan dari tekanan eksternal. KY meyakini sebagaimana juga publik bahwa kecenderungan pelanggaran perilaku yang dilakukan oleh seorang hakim dapat dilihat melalui putusan pengadilan. (hlm. 98)
Dalam pembahasan berikutnya, penulis buku yang juga sebagai Anggota Komisi Yudisial ini, mengulas Pemantauan dan Pengawasan Perilaku Hakim (Bab 4), Mekanisme Penaganan Laporan Masyarakat (Bab 5), Metode Pembuktian Pelanggaran Kode Etik (Bab 6), Sanksi Pelanggaran Kode Etik (Bab 7), Majelis Kehormatan Hakim (Bab 8).
Secara umum, di tengah keterbatasan literasi yang mengulas pengawasan hakim dan penegakan kode etik oleh Komisi Yudisial, buku ini menjadi salah satu referensi penting dan juga menambah khazanah keilmuan hukum pada umumnya dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman pada khususnya.
*Andryan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara