POST DATE | 02 Agustus 2017
Berhentilah sejenak dari semua pikiran mengurus pekerjaan sehari-hari. Lalu, perhatikan dengan cermat kondisi fasilitas publik yang ada. Misalnya saja, saat melihat jembatan penyeberangan, pasti ada rasa keprihatinan melihat kondisinya yang sudah tidak terawat, kotor, rusak, dan sebagainya. Kini, jembatan penyeberangan, bukan lagi jadi tempat nyaman menyeberang jalan. Pada siang hari, berjubel kaki lima dan pengemis, sementara pada malam hari warga was-was dihantui ancaman penjahat.
Sulit untuk memastikan apakah pemerintah tahu tentang hal ini. Tetapi yang lebih ingin diketahui, apakah ada dana yang dianggarkan untuk biaya perawatan fasilitas publik, bukan hanya biaya pembangunan yang seperti diketahui? Di sisi lain miris juga melihat nasib si telepon umum. Ini karena yang pakai sembarangan atau dari pihak penyedia yang malas merawatnya.
Selanjutnya, lihat juga suasana trotoar telah beralih fungsi sebagai tempat memasang tonggak iklan atau berjualan bagi pedagang kaki lima. Hak pejalan kaki makin terpinggirkan, bahkan tak ada peluang bagi pejalan kaki sekadar berjalan tanpa nyaman dijalurnya sendiri. Pejalan kaki seperti tamu di rumah sendiri?
Zaman sekarang itu sebagian manusia jadi serba-cuek dengan keadaan sekitarnya. Adanya benda publik yang seharus dapat membantu malah tidak dirawat bahkan dirusak.
Memang semakin lama, hak publik makin terpingggirkan. Masyarakat sebagai konstituen bakal makin dieksploitasi. Hak-hak publik untuk dapat perlindungan pemerintah dan politisi makin sulit diakses. Semua kebijakan bakal lebih terasa nuansa balutan ekonomisnya.
Tanggung Jawab Siapa?
Tentu dapat dipahami betapa sulitnya melakukan pengawasan secara rutin terhadap fasilitas umum tersebut. Di samping minimnya personel pengawas, juga terbentur anggaran dan sistem pengawasan. Memahami fasilitas umum sebagai sarana dan prasarana yang didisain untuk digunakan bersama guna mencapai suatu kepentingan atau tujuan tertentu, maka tanggung jawab untuk memastikan fasilitas itu bisa berfungsi tidak semata ada di bahu aparat. Anggota masyarakat juga memiliki kewajiban untuk ikut menjaga dan merawat fasilitas umum karena pada hakekatnya, fasilitas umum adalah milik bersama.
Tetapi, kepemilikan bersama justru seringkali menjadi titik lemah dalam masyarakat banyak. Tanggungjawab yang tersebar (diffuse responsibility) di kalangan warga yang begitu majemuk di Jakarta membuat banyak fasilitas umum di lingkungan kita berumur pendek. Ironisnya, pada saat yang sama warga terus menuntut agar negara senantiasa menyediakan fasilitas umum. Alhasil, kelompok yang menjadi bangsa dan hanya bisa membangun atau menyediakan fasilitas umum, tetapi gagal untuk merawat. Berapa besar pemborosan atau penghamburan uang rakyat untuk perilaku seperti itu?
Keberadaan telepon umum koin adalah cerita sejarah tentang nasib buruk fasilitas umum di banyak kota. Sulit menemukan telepon umum masih dalam kondisi baik di seantero kota. Terlebih yang berada di pinggir jalan. Semakin terbuka diakses publik, semakin menyedihkan kondisinya. Kehadiran telepon selular seolah membolehkan siapapun untuk mengabaikan nasib telepon umum koin.
Kemudian, halte, jembatan penyeberangan orang, bis kota, kereta api, rambu lalu lintas, lampu taman/jalan, dan sebagainya adalah fasilitas umum yang kerap menjadi obyek ketidakpedulian warga. Publik baru merasa kehilangan ketika kepentingan tak lagi terpenuhi. Terhadap kondisi yang memprihatinkan, kepedulian warga juga minim. Bahkan mengangkat telepon untuk melapor kepada aparat yang berwenang melakukan pemeliharaan, kita juga enggan. Padahal pada kesempatan lain, begitu enteng kita membuang-buang pulsa telepon untuk bermain SMS (pesan pendek), facebook, dan berbagai jejaring sosial lain yang padahal dapat digunakan untuk meningkatkan kepedulian publik pada nasib fasilitas umum.
Masalahnya, memang kepemilikan bersama justru seringkali menjadi titik lemah dalam masyarakat. Tanggung jawab yang tersebar (defuse responsibility) di kalangan warga yang begitu majemuk, membuat banyak fasilitas umum di lingkungan kita berumur pendek. Ironisnya, pada saat yang sama warga terus menuntut agar negara senantiasa menyediakan fasilitas umum, tetapi gagal untuk merawat. Berapa besar pemborosan atau penghamburan uang rakyat untuk perilaku seperti itu?
Jalan keluar untuk itu, perlu ada upaya mengajak siapa saja untuk berpartisipasi membuat rasa malu melihat kerusakan yang sudah terjadi dilokasi sebagai reaksi atas buruknya kesadaran pemeliharaan fasilitas umum di Medan, serta membuat mata menjadi lebih jeli melihat detail Medan.
Mudah-mudahan pengelola fasilitas publik Medan sadar bahwa aspek keamanan dan kenyamanan harus menjadi prioritas utama dalam menjalankan usaha. Perawatan dan pemeliharaan harus rutin dilakukan. Jika memang sudah aus dan saatnya diganti, ya... harus diganti supaya tidak hasil pembangunan yang jatuh sia-sia lagi.
Masalahnya tingkat kesadaran warga kota untuk memelihara fasilitas umum di Medan sangatlah kurang. Atau, memang jangan-jangan kita telah begitu terbiasa hidup atau familiar dalam kesemrawutan. Akhirnya tidak merasa ternyata ‘kecacatan’ kota bukan lagi menjadi bagian dari tanggung jawab kita sebagai warga?
=========
Sumber : Analisa, 29-11-2011