post.png
PKY_KALBAR.jpg

Optimalisasi Peran Penghubung Komisi Yudisial

POST DATE | 04 Juli 2017

A. Latar Belakang

Secara konstitusional eksistensi Komisi Yudisial ada melalui proses Amandemen Ketiga Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001, yaitu melalui Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[1] Kehadiran Komisi Yudisial dalam UUD Negara RI Tahun 1945 itu tidak terlepas dari adanya upaya untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Urgensi untuk memperkuat kekuasaan kehakiman itu adalah sebagai konsekuensi logis dari dianutnya paham negara hukum (rechstaat) di Indonesia. [2]

Persyaratan mutlak (conditio sine qua non) dalam sebuah negara yang menganut paham negara hukum adalah adanya pengadilan yang mandiri, netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan. Keberadaan pengadilan yang memiliki semua kriteria tersebut yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Sebagai aktor utama lembaga peradilan, posisi, dan peran hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya.[3] Selain itu, ada arus yang tumbuh mengenai keprihatinan mendalam atas kondisi wajah peradilan yang muram dan keadilan di Indonesia yang tak kunjung tegak, sehingga pembentukan Komisi Yudisial dianggap sebagai jawabannya.

Ahsin Thohari[4] mengatakan bahwa konsekuensi perwujudan adanya paham negara hukum pada upaya penguatan kekuasaan kehakiman itu pula terpantul dengan cara menjamin perekrutan hakim agung yang kredibel dan menjaga kontinuitas hakim-hakim agar tetap berpegang teguh pada nilai-nilai moralitasnya sebagai seorang hakim yang harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme.

Derivasi hukum keberadaan Komisi Yudisial adalah dibentuknya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Selanjutnya usaha untuk lebih menguatkan peranan dan fungsi Komisi Yudisial, dilakukan perubahan melalui Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang–Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan pada 9 November 2011. Eksistensi Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2011 seolah menginjeksi bahkan menandai kebangkitan kembali Komisi Yudisial.  Ada darah segar yang mengalir dari Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang–Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tersebut.

Secara yuridis Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2011 memberikan berbagai tugas dan wewenang baru bagi Komisi Yudisial, antara lain: melakukan seleksi pengangkatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung, melakukan upaya peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim, melakukan langkah-langkah hukum dan langkah lain untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, melakukan penyadapan[5] bekerja sama dengan aparat penegak hukum, dan melakukan pemanggilan paksa terhadap saksi.[6] 

Bahkan dalam perspektif menguatkan peran dan fungsi Komisi Yudisial, disahkannya undang-undang tersebut merupakan konkritisasi dari upaya memperkuat wewenang dan tugas Komisi Yudisial sebagai lembaga negara independen yang menjalankan fungsi checks and balances di bidang kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Selain itu, masih ada energi lain yang menguatkan kewenangan Komisi Yudisial adalah Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.  

Satu di antara perubahan yang signifikan dalam perubahan UU Komisi Yudisial adalah penguatan Komisi Yudisial melalui mengangkat penghubung untuk mengawasi perilaku hakim. Ketentuan itu sesuai dengan bunyi Pasal 3 ayat (2), “Komisi Yudisial dapat mengangkat penghubung di daerah sesuai dengan kebutuhan.” Pasal ini merupakan respons dan solusi terhadap permasalahan pengawasan hakim di daerah-daerah yang masih sulit dijangkau.

Melalui ketentuan pasal ini, Komisi Yudisial dapat mengambil diskresi daerah mana yang mengalami kondisi yang mengkhawatirkan, sehingga dapat dibentuk penghubung di daerah. Memang pasal ini tidak menegaskan bahwa Komisi Yudisial harus ada di setiap daerah, yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Dengan demikian, dapat dipahami pasal ini berguna sebagai sarana untuk merespon daerah-daerah yang perlu pengawasan perilaku hakimnya secara khusus.

B. Eksistensi Penghubung Komisi Yudisial

Pelaksanaan  Undang-Undang No. 22 Tahun 2004  menimbulkan  polemik dikalangan praktisi hukum. Polemik itu  berkaitan dengan wewenangnya yang tumpang tindih dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menganggap bahwa Komisi Yudisial telah melampaui kewenangannya menyangkut pengawasaan Hakim Agung. Proses selanjutnya adalah muncul judicial review mengenai Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial ke Mahkamah Konstitusi. Setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi mengakibatkan lemahnya tugas dan wewenang Komisi Yudisial. Bahkan khusus berkaitan dengan pengawasan hakim tidak memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga mengakibatkan seluruh elemen Komisi Yudisial berupaya untuk memulihkan kewenangan Komisi Yudisial melalui perubahan Undang-Undang Komisi Yudisial.

Upaya memulihkan kewenangan Komisi Yudisial adalah  melalui Undang-Undang No.  18 Tahun  2011  tentang Komisi Yudisial  yang merupakan perubahan atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Perubahan undang-undang tersebut memberikan tugas dan wewenang baru bagi Komisi Yudisial. Perubahan dilakukan dalam upaya penguatan tugas dan wewenang Komisi Yudisial, penambahan kewenangan Komisi Yudisial, pemberian tugas terhadap Komisi Yudisial.

Sebagai konsekuensi perubahan UU Komisi Yudisal, sesuai Pasal 13 Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mempunyai wewenang:

  1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
  2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
  3. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung;
  4. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan KEPPH.[7]

Selanjutnya berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, maka Komisi Yudisial mempunyai tugas: (a) Melakukan pendaftaran calon hakim agung; (b) Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung; (c) Menetapkan calon hakim agung; dan (d) Mengajukan calon hakim agung ke DPR.  

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 menetapkan bahwa: 

  1. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
  2. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;
  3. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran KEPPH;
  4. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran KEPPH;
  5. Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran KEPPH;
  6. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.[8]
  7. Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim;
  8. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran KEPPH oleh Hakim.
  9. Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Selain itu, jika merujuk pada Pasal 24B UUD 1945 setidaknya ada dua kewenangan Komisi Yudisial, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain[9] dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kemudian, Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial memberi beberapa penguatan dari sisi kelembagaan dan kewenangan.

Di antara penguatan lembaga yang diatur ialah mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim. Masalah rendahnya tingkat kesejahteraan hakim di negeri ini memang kerap menjadi motif terjadinya kasus mafia peradilan. Sangat jelas bahwa tindakan tersebut jelas melanggar KEPPH yang menjadi ranah pengawasan eksternal Komisi Yudisial terhadap Mahkamah Agung.

Menurut pandangan Arifin,[10] fungsi pengawasan eksternal terhadap Mahkamah Agung inilah yang sebenarnya menjadikan peran Komisi Yudisial amat strategis dalam mensukseskan agenda reformasi peradilan.[11] Ketika Komisi Yudisial mampu melaksanakan hak dan wewenang ini dengan baik, maka kualitas para hakim yang merupakan “wakil Tuhan”[12] untuk memutus suatu perkara benar-benar terjamin. Sebaliknya, jika Komisi Yudisial tidak kuat dalam mengawal hal tersebut, bukan tak mustahil supremasi hukum di Indonesia tak lagi mengenal dan menerapkan prinsip keadilan. Menilik pada kompetensi wewenang dan tugas pengawasan tersebut diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim sebagai pelaksana utama dari fungsi pengadilan itu berintegritas tinggi, jujur, dan profesional, sehingga memperoleh kepercayaan dari masyarakat dan pencari keadilan.[13]

Konteks urgensi peran pengawasan Komisi Yudisial terhadap profesi hakim menurut pandangan Jawahir Thontowi[14] adalah Pertama, pembentukan Komisi Yudisial adalah amanah konstitusional UUD 1945, yang merupakan hukum tertinggi dalam hirarki sistem peraturan perundang-undangan (constitusion is the supreme law of the land). Kedua, kredibilitas KOMISI YUDISIAL didasarkan bahwa proses penuangannya dalam UUD 1945 hasil perubahan 1999-2002 merupakan kreasi dan inovasi konstitusional. Harapan pembentukan lembaga negara tersebut untuk meletakkan dasar pemerintahan yang baik dan bersih, termasuk penegakan hukum yang terbuka, handal, berkeadilan, dan penuh pertanggungjawaban. Ketiga, melimpahnya laporan masyarakat kepada Komisi Yudisial,[15] fenomena yang hampir sama dialami oleh Mahkamah Konstitusi. Buruknya situasi peradilan di Indonesia, tidak sekadar karena faktor mentalitas aparat peradilan, juga karena sistem peradilan yang mudah diintervensi oleh pemegang kekuasaan.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kehadiran Komisi Yudisial diakui sebagai upaya menciptakan fungsi check and balance dalam sistem pengawasan di peradilan. Kehadiran Komisi Yudisial sangat diharapkan karena masyarakat kehilangan kepercayaan pada institusi peradilan. Peran pengawasan internal yang dilakukan Mahkamah Agung tidak efektif, karena kerap digunakan sebagai upaya melindungi oknum yang berbuat salah atas nama semangat korps.

Hal ini penting ditegaskan sebagai perwujudan fungsi dan tujuan hukum yaitu upaya memajukan ketertiban dan keadilan. Secara prinsip ketentuan Pasal 24 B UUD RI Tahun 1945 menunjukkan bahwa eksistensi kemandirian Komisi Yudisial itu dijamin kuat dan jelas. Kedudukan Komisi Yudisial bersifat mandiri, mempunyai wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dengan kata lain, ketentuan ini menegaskan bahwa kedudukan Komisi Yudisial adalah sebagai lembaga negara yang kedudukannya dijamin secara konstitusional. Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain.[16]

Penguatan Komisi Yudisial lebih signifikan lagi dengan adanya kewenangan untuk mengangkat lembaga  penghubung Komisi Yudisial di daerah. Lembaga penghubung daerah  adalah sesuai amanat Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Berdasarkan  Peraturan Komisi Yudisial Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pembentukan, Susunan dan Tata Kerja Penghubung Komisi Yudisial di daerah, pembentukan Penghubung Komisi Yudisial bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam menyampaikan laporan, meningkatkan efektifitas pemantauan persidangan, dan sosialisasi kelembagaan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Secara konstitusional Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang diberikan tugas konstitusional yang cukup besar, yakni selain mengusulkan pengangkatan hakim agung juga diberikan kewenangan lain dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim (Pasal 24B UUD 1945). Kewenangan lain yang dimaksud yakni salah satunya sebagai pengawas eksternal lembaga peradilan. Jika pada kenyataannya Komisi Yudisial hanya berkedudukan di pusat, sungguh naif rasanya Komisi Yudisial dapat memenuhi tuntutan demikian. Bagaimana mungkin satu lembaga dengan kuantitas sumber daya manusia yang tidak kuat dapat mengawasi sekitar 7.516-an lebih hakim yang tersebar di 842-an pengadilan di Indonesia.

Menurut Refki Saputra[17]  persoalan ini sebetulnya sudah diakomodasi sejak awal dibentuknya Komisi Yudisial melalui kajian yang ada dalam Naskah Akademis RUU Komisi Yudisial. Waktu itu sudah ada pemikiran untuk menjalankan fungsinya secara efektif maka diusulkan pembentukan perwakilan di daerah. Dipimpin oleh seorang Kordinator Perwakilan Daerah, sifatnya hanya membantu tugas-tugas dari Komisi Yudisial, seperti melakukan pemantauan perilaku hakim, meneruskan laporan tersebut ke pusat, pencarian fakta, dan mengklarifikasi laporan masyarakat. Namun demikian, dalam UU terdahulu (UU No. 22 Tahun 2004) pada faktanya tidak termuat klausul tersebut. Mengingat Komisi Yudisial adalah lembaga baru, untuk memenuhi ketersediaan infrastruktur di daerah belum menjadi isu utama di samping persoalan anggaran. Lebih lanjut, Refki menambahkan, bahwa dalam mendukung kerja Komisi Yudisial, maka dibentuk kerjasama berbasis masyarakat dengan elemen-elemen masyarakat sipil (Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi kemasyarakatan) dan perguruan tinggi di daerah sebagai mitra atau jejaring Komisi Yudisial.

Pembentukannya berangkat dari pemikiran bahwa salah satu penyebab maraknya praktik “mafia peradilan” adalah kurangnya partisipasi publik dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim di semua tingkatan peradilan. Harapannya adalah dengan adanya partisipasi yang luas dari publik tentunya dapat mengoptimalkan beban kerja Komisi Yudisial dalam mengcover semua lingkungan peradilan yang ada diseluruh wilayah di Indonesia.[18]

Dalam revisi UU Komisi Yudisial, telah secara ekspilisit mengakomodasi adanya perwakilan Komisi Yudisial di daerah dengan sebutan penghubung. Lebih lengkapnya Pasal 3 Ayat (2) UU No. 18 Tahun 2011 menyebutkan: “Komisi Yudisial dapat mengangkat penghubung di daerah sesuai dengan kebutuhan”. Penjelasannya, lembaga penghubung ini bertugas untuk membantu pelaksanaan tugas Komisi Yudisial. Untuk ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerjanya diatur dalam Peraturan Komisi Yudisial (Pasal 3 ayat 3).

Walaupun bukan hal baru, adanya penegasan dalam ketentuan revisi UU Komisi Yudisial terkait dengan lembaga penghubung ini merupakan suatu kemajuan. Namun demikian, hal ini perlu mendapat kajian yang serius berkenaan dengan model, dan mekanisme institusi penghubung ini ketika dituangkan dalam peraturan teknis. Jangan sampai kebijakan baik ini nantinya menghasilkan kekecewaan publik karena pasti nantinya memakai anggaran negara yang pastinya lebih besar dari sebelumnya.[19]

Sejak tahun 2013, Komisi Yudisial membentuk Penghubung di beberapa daerah, antara lain:

  1.  Penghubung Komisi Yudisial Wilayah Sumatera Utara.
  2.  Penghubung Komisi Yudisial Wilayah Riau.
  3.  Penghubung Komisi Yudisial Wilayah Sumatera Selatan.
  4.  Penghubung Komisi Yudisial Wilayah Jawa Tengah.
  5.  Penghubung Komisi Yudisial Wilayah Jawa Timur.
  6.  Penghubung Komisi Yudisial Wilayah Kalimantan Timur.
  7.  Penghubung Komisi Yudisial Wilayah Kalimantan Barat.
  8.  Penghubung Komisi Yudisial Wilayah Sulawesi Selatan.
  9.  Penghubung Komisi Yudisial Wilayah Sulawesi Utara.
  10. Penghubung Komisi Yudisial Wilayah Nusa Tenggara Barat.
  11. Penghubung Komisi Yudisial Wilayah Nusa Tenggara Timur.
  12. Penghubung Komisi Yudisial Wilayah Maluku.[20]

Pembentukan penghubung Komisi Yudisial bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam menyampaikan laporan, meningkatkan efektifitas pemantauan persidangan, dan sosialisasi kelembagaan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim. Pasal 2 ayat (4) Peraturan Komisi Yudisial Nomor 01  Tahun  2012 Tentang  Pembentukan, Susunan, dan Tata  Kerja Penghubung Komisi Yudisial di Daerah, menetapkan bahwa: Pembentukan Penghubung dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang memperhatikan kebutuhan akan penanganan laporan masyarakat, kompleksitas perkara di pengadilan, ketersediaan sumber daya dan jejaring di daerah, efektifitas dan efisiensi kerja.

Oleh karena itu, pembentukan Penghubung Komisi Yudisial di daerah bertujuan untuk: memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam menyampaikan laporan pengaduan terkait dengan dugaan pelangggaran KEPPH untuk diteruskan ke Komisi Yudisial, meningkatkan efektifitas pemantauan persidangan dan melakukan sosialisasi kelembagaan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim terkait dengan tugas-tugas Penghubung.[21]

C. Optimalisasi Peran Penghubung Komisi Yudisial

 Secara filosofi-yuridis Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 adalah sebagai landasan penguatan wewenang Komisi Yudisial. M. Nasir Djamil[22] mengatakan bahwa sebab utama perubahan UU Komisi Yudisial, adalah sebagai respon sesuai dengan aspirasi masyarakat untuk penguatan terhadap kelembagaan Komisi Yudisial. Beberapa alasan perubahan UU Komisi Yudisial tersebut, antara lain:

  1. Komisi Yudisial merupakan lembaga konstitusional yang langsung disebutkan dalam UUD 1945. Oleh karena itu, Komisi Yudisial harus memiliki kewenangan yang kuat.
  2. Kondisi darurat hukum, karena mafia hukum dan peradilan masih merajalela serta belum mampu dituntaskan dengan baik.
  3. Tuntutan masyarakat yang menginginkan penguatan Komisi Yudisial.
  4. Penguatan Komisi Yudisial yakni dalam hal pengawasan perilaku dan etika hakim, dan tidak masuk dalam ranah putusan hakim.

Eman Suparman seperti dikutip Dwi Fitriyani[23] mengatakan bahwa Undang-Undang No. 18  Tahun 2011 memberikan beberapa penguatan kewenangan Komisi Yudisial dalam melaksanakan tugas, di antaranya Komisi Yudisial dapat mengangkat penghubung dari daerah, kode etik hakim sebagai pedoman Komisi Yudisial, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan kepada hakim.

Setelah Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 terbit, masalah yang menyangkut tentang pengawasaan dapat terselesaikan. Momentum itu terlihat pada Pasal 20 menyangkut tentang pengawasaan serta dihapusnya berbagai pasal-pasal  yaitu: Pasal 21, 23 dan 24. Substansi Pasal 20 Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 berkenaan dengan tugas pengawasaan hakim lebih rinci dijelaskan mengenai tugas pengawasan hakim.[24] Undang-Undang  No.   18   Tahun   2011   menambah 2 (dua) wewenang baru Komisi Yudisial, yaitu:

  1. Menetapkan KEPPH bersama-sama dengan Mahkamah Agung
  2. Menjaga dan  menegakkan  pelaksanaan KEPPH.

Sebenarnya telah ada optimalisasi pengawasan hakim selama ini, yaitu Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung mengeluarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. KEPPH yang merupakan pegangan bagi para hakim seluruh Indonesia serta pedoman bagi Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam melaksanakan fungsi pengawasan internal maupun eksternal. Kode etik dan pedoman perilaku  hakim  ini  juga  merupakan  panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan.

Selain itu, dalam  rangka  menjaga  dan  menegakkan KEPPH, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk  melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran KEPPH. UU Komisi Yudisial baru memberikan penguatan pada kelembagaan Komisi Yudisial tersebut, dapat menjadikan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang lebih berwibawa dalam rangka mendorong reformasi peradilan. Konsep pengawasan pun tidak hanya seperti pemadam kebakaran, yang hadir ketika api sudah menyala, tetapi mulai dari awal semisal rekrutmen.[25] Konsepsi perubahan itu jelas dapat memperkuat dan sejalan dengan fungsi Komisi Yudisial.

Kewenangan Komisi Yudisial untuk melaksanakan fungsi pengawasan adalah sebagai upaya untuk mengatasi berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan. Prosesnya harus dimulai dengan mengawasi perilaku hakim, agar para hakim menunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Oleh itu, apabila fungsi pengawasan oleh Komisi Yudisial itu berjalan efektif tentu dapat mendorong terbangunnya komitmen dan integritas para hakim untuk senantiasa menjalankan wewenang dan tugasnya sebagai pelaksana utama kekuasaan kehakiman sesuai dengan kode etik, code of conduct hakim dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Urgensitas dari Komisi Yudisial berada dalam bingkai upaya mendukung penegakan hukum di Indonesia.

Pengawasan oleh Komisi Yudisial ini pada prinsipnya bertujuan agar hakim agung dan hakim dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sungguh-sungguh didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, kebenaran, dan rasa keadilan masyarakat serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim. Apabila hakim agung dan hakim menjalankan wewenang dan tugasnya dengan baik dan benar, berarti hakim yang bersangkutan telah menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.[26]

Adanya kehormatan dan keluhuran martabat kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan, yang sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun segi etika. Untuk itu, diperlukan suatu institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim, yang dibentuk di luar struktur Mahkamah Agung, yaitu Komisi Yudisial.

Jadi, apabila ada institusi independen semacam Komisi Yudisial ini mampu melakukan proses seleksi dengan lebih baik dan menghasilkan para hakim, pasti kekuasaan kehakiman dapat memenuhi kriteria integritas, independensi dan kapabilitas serta rendahnya politisasi dalam proses pemilihan.[27] 

Melalui institusi pengawas ini aspirasi masyarakat di luar struktur resmi dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan para hakim agung serta dilibatkan pula dalam proses penilaian terhadap etika kerja dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena pelanggaran terhadap etika.

Posisi Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan hakim, perlu memperhatikan apakah putusan yang dibuat telah sesuai dengan kehormatan hakim dan rasa keadilan yang timbul dari masyarakat. Selanjutnya, untuk menjaga dan menegakkan keluhuran martabat hakim Komisi Yudisial harus mengawasi apakah profesi hakim itu telah dijalankan sesuai etika profesi dan memperoleh pengakuan masyarakat, serta mengawasi dan menjaga agar para hakim tetap dalam hakekat kemanusiaannya, berhati nurani, sekaligus memelihara harga dirinya, dengan tidak melakukan perbuatan tercela.

Dengan demikian, profesi hakim dituntut untuk menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Kehormatan adalah kemulian atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh para Hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan.

Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan
pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan yang timbul dari masyarakat. Sebagaimana halnya kehormatan, keluhuran martabat yang merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri yang mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga dan dipertahankan oleh Hakim melalui sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur. Hanya dengan sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur itulah kehormatan dan keluhuran martabat Hakim dapat dijaga dan ditegakkan.

Optimalisasi peran Komisi Yudisial memberi penguatan sangat signifikan terhadap kekuasaan kehakiman sejauh ini. Oleh sebab itu, peran Penghubung Komisi Yudisial Republik Indonesia ini sangat penting untuk ditingkatkan demi terwujudnya kekuasan kehakiman yang berintegritas, independen dan profesional. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai hal yang di antaranya adalah:

Pertama, menjadikan Penghubung Komisi Yudisial tidak lagi sebagai “penghubung” semata, akan tetapi menjadi penghubung dengan atributasi kewenangan “perwakilan”. Memang jika merujuk kepada sejarah UU Nomor 18 Tahun 2011, nomenklatur yang disetujui di Dewan Perwakilan Rakyat adalah Penghubung, bukan pewakilan.[28] Pada konteksi ini tidak perlu mengubah nomenklatur penghubung menjadi perwakilan. Tetapi filosofi untuk mendekatkan sekaligus menguatkan Komisi Yudisial kepada masyarakat perlu delegasi mandat yang lebih besar.

Eksistensi penghubung Komisi Yudisial di daerah adalah bertujuan untuk; (1) memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam menyampaikan laporan pengaduan terkait dengan dugaan pelangggaran KEPPH untuk diteruskan ke Komisi Yudisial, (2) meningkatkan efektifitas pemantauan persidangan dan melakukan sosialisasi kelembagaan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.[29]

Oleh karena itu, fungsi penghubung mesti dioptimalkan sesuai dengan semangat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011. Penghubung Komisi Yudisial, selain mempunyai tugas; melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim; dan menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran KEPPH. Juga diberi delegasi wewenang untuk melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran KEPPH secara tertutup. [30]

Optimalisasi peran penghubung KY tidak akan mengganggu kewenangan Komisi Yudisial, apalagi dengan jejaring. Jika dirawat dengan baik tugas penghubung tidak akan tumpang tindih dengan Komisi Yudisial maupun jejaring dalam menjalankan fungsinya. Menurut Yahdil Abdi Harahap, dengan demikian peran dan eksistensi  Penghubung KY dapat memperluas ruang lingkup pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial.[31] Termasuk juga dapat memperpendek jarak antara masyarakat bahkan dapat lebih mengefisienkan penggunaan anggaran.

Terminologi penghubung semestinya bukan menjadi penghalang dalam rangka memperkuat Komisi Yudisial dengan memberdayakan atau mengoptimalkan peran Penghubung KY. Kerja Komisi Yudisial lebih efektif dan efisien serta maksimal dengan delegasi mandat terbatas kepada Penghubung Komisi Yudisial. Pengalaman hubungan kerja Komisi Yudisial dengan Penghubung Komisi Yudisial menujukkan keberadaan Penghubung Komisi Yudisial dapat menambah energi positif bagi masyarakat dan Komisi Yudisial. Masalah jarak dan lokasi jauh dari jangkauan masyarakat dapat diatasi dengan adanya Penghubung Komisi Yudisial.

Bagi Komisi Yudisial, Penghubung KY sebagai organ lembaga dapat berperan sebagai kepanjangan tangan KY. Tugas-tugas seperti verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran KEPPH, secara berangsur, bertahap dan terukur dapat didelegasikan kepada petugas Penghubung KY. Pola delegasi wewenang terbatas, selain lebih mengefektifkan waktu dan tenaga juga dapat mengefisienkan anggaran Komisi Yudisial secara tepat guna. 

Betapa tidak bisa dipungkiri, laporan terbesar dugaaan pelanggaran hakim nakal justru berasal dari masyarakat. Bahkan, mayoritas hakim yang menjalani sidang etik Majelis Kehormatan Hakim (MKH) justru berasal dari pengadilan negeri atau pengadilan tinggi yang berlokasi di daerah.[32]  

Eksistensi dan optimalisasi penghubung berfungsi sebagai lembaga penopang dan penunjang dengan maksud untuk lebih mengefektifkan fungsi Komisi Yudisial. Jika hanya sebatas kepanjangan tangan dengan tugas terbatas hanya menerima pengaduan dan melakukan sosialisasi, justru penghubung tidak dapat disebut sebatas memperkuat peran Komisi Yudisial. Oleh karena itu, dengan adanya amanat langsung Pasal bunyi Pasal 3 ayat (2) jo Pasal 20 UU Nomor 18 Tahun 2011 perlu ada redefinisi fungsi dan peran penghubung Komisi Yudisial. Tidak diperlukan upaya untuk merubah nomenklatur Penghubung menjadi Perwakilan Komisi Yudisial.

Untuk memperkuat peran Komisi Yudisial cukup memberikan kewenangan lebih kepada Penghubung Komisi Yudisial dalam tugas dan fungsinya. Dalam hal verifikasi, klarifikasi, dan investigasi misalnya, peran Penghubung Komisi Yudisial tidak hanya terbatas pada menerima laporan, akan “tetapi” ikut terlibat melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi. Begitupun peran jejaring di daerah tidak boleh diabaikan. Peran jejaring adalah energi lain yang berfungsi untuk jejak rekam hakim, menerima pengaduan masyarakat, melakukan pemantauan persidangan, dan lain-lain. Dengan demikian, diharapkan peran Komisi Yudisial lebih efektif dan efisien dalam membentuk kekuasaan kehakiman yang independen, profesional dan berintegritas.

Kedua, kekurangan Sumber Daya Manusia atau personalia yang mempunyai kemampuan secara teoritik maupun praktik di bidang pengawasan hakim juga menjadi salah satu kendala yang sering dihadapi para penghubung di daerah yang menyebabkan pemantauan dan pengawasan hakim tidak maksimal. Untuk itu diperlukan penguatan kompetensi dan kualitas serta integritas petugas Penghubung agar mempunyai keterampilan yang mumpuni. Pendidikan dan latihan dimaksudkan agar petugas penghubung lebih mudah mencapai kinerja berdaya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya bagi penguatan Komisi Yudisial.

Ketiga, perlunya kepastian status petugas Penghubung KomisiYudisial. Ketentuan yang dianut dalam relasi petugas Penghubung dengan Komisi Yudisial menurut Pasal 10 ayat (3) Peraturan Komisi Yudisial Nomor 01 Tahun  2012 Tentang  Pembentukan, Susunan, dan Tata  Kerja Penghubung Komisi Yudisial Di Daerah adalah Petugas Penghubung  diangkat  untuk masa jabatan paling lama lima (5) tahun, melalui perpanjangan setiap tahun berdasarkan hasil evaluasi kerja. Status petugas penghubung perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari Pengadaan Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau Pegawai Negeri Sipil.[33]

Keempat, perlunya jalinan dukungan pemerintah daerah di tempat untuk pengadaan kantor penghubung dari asset pemerintah daerah. Kantor gedung perkantoran tidak berpindah-pindah atau bersifat permanen sangat penting, karena kantor yang berpindah-pindah dapat mempengaruhi produktivitas kerja baik secara positif maupun negatif. Dari sudut pandang efektifitas biaya, kantor permanen dapat mengefisienkan biaya. Kondisi penghubung yang tidak memiliki gedung atau kantor secara permanen, berdampak tak dapatnya memasang peralatan dan perangkat secara permanen. Apalagi, sewa gedung amatlah mahal. Diharapkan perlu pendekatan yang lebih intensif agar pemerintah daerah setempat dapat memenuhi permintaan agar Penghubung KY memiliki gedung atau kantor secara permanen.[34]

D. Penutup

Eksistensi Komisi Yudisial dalam sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia, dapat memberikan harapan kepada perbaikan sistem peradilan. Apalagi dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya, Komisi Yudisial memiliki peranan yang signifikan dan strategis untuk mendorong dan memperkuat reformasi peradilan. Komisi Yudisial dapat menjadi “pengawal setia” reformasi peradilan, khususnya dalam mencari dan memperbaiki kualitas dan integritas para hakim. Komisi Yudisial lebih kuat, jika dikaitkan dengan kewenangan Komisi Yudisial dapat mengangkat penghubung di daerah sesuai dengan kebutuhan.

Banyak ekspektasi bahwa Penghubung Komisi Yudisial ke depan dapat semakin total dan maksimal dalam menjalankan perannya. Tidak terlalu penting mengubah nomenklatur penghubung menjadi perwakilan. Jauh lebih penting adalah delegasi wewenang terbatas kepada Penghubung Komisi Yudisial untuk dapat memperkuat peran Komisi Yudisial dengan melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran KEPPH.

Dengan begitu, ranah kekuasaan kehakiman yang selama ini menjadi salah satu jantung masalah endemik bangsa dalam memberikan rasa keadilan bagi masyarakat berputar secara normal dengan adanya kontribusi lembaga Komisi Yudisial, termasuk melalui optimalisasi Penghubung Komisi Yudisial.

 ===========

Catatan kaki

[1] Nasir Djamil menyebut bahwa keberadaan Komisi Yudisial merupakan lembaga baru sebagai “anak kandung reformasi”. Oleh karena itu, secara konsep diharapkan mampu melakukan perubahan-perubahan yang mendasar dalam hal reformasi peradilan (M. Nasir Djamil. Relevansi Perubahan UU Komisi Yudisial Terhadap Reformasi Peradilan di Indonesia, melalui http://kabarnasirdjamil.com/relevansi-perubahan-uu-Komisi Yudisial-terhadap-reformasi-peradilan-di-indonesia, diakses tanggal 11 Mei 2015)

[2] Komisi Yudisal bukanlah penyelenggara Kekuasaan Kehakiman namum memiliki peranan yang sangat penting dalam mewujudkan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan bebas dari campur tangan penguasa dan pokok-pokok kekuasaan lain nya (Lalu Piringadi, 2013. Penerapan (Implementasi) Pemantauan dan Pengawasan Hakim Oleh Komisi Yudisial Melalui Pos Koordinasi Pemantauan Peradilan Nusa Tenggara Barat, dalam Jural Ilmiah, Mataram: Fakultas Hukum Universitas Mataram).

[3] Anonim. Tinjauan Yuridis Terhadap Pengawasan Hakim Oleh Komisi Yudisial (Suatu Kajian Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 Tentang Penguatan Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial), melalui http://revolusioner-ina.blogspot.com/2013/10/tinjauan-yuridis-terhadap-pengawasan.html, diakses tanggal 11 Mei 2015

[4] A. Ahsin Thohari. Desain Konstitusional Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, melalui http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/672-desain-konstitusional-komisi-yudisial-dalam-sistem-ketatanegaraan-indonesia.html, diakses tanggal 10 Mei 2015

[5] Komisi Yudisial dapat melakukan penyadapan jika menemukan indikasi pelanggaran kode etik oleh hakim. Namun begitu, dalam proses pelaksanaannya, kewenangan penyadapan itu tidak berjalan efektif. Walapaun disebutkan Komisi Yudisial punya wewenang meminta penyadapan terhadap hakim melalui aparat penegak hukum, tetapi aparat penegak, seperti kepolisian, justru punya pandangan berbeda, Komisi Yudisial tidak boleh menyadap karena bukan lembaga pro-justisia. Intinya, penyadapan hanya dilakukan oleh aparat penegak hukum. Tindakan merekam pembicaraan hakim hanya dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum. Tetapi, penting untuk dicatat Pasal 20 ayat (4) menetapkan aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial tersebut.

Tanpa ada penyamaan persepsi norma Pasal 20 ayat (3) UU No. 18 Tahun 2011, pelaksanaannya tetap akan menjadi polemik yang tak berkesudahan. Rumusan hukum sudah jelas memberi kewenangan  Komisi Yudisial melakukan penyadapan. Bahkan aparat penegak hukum wajib menindaklanjutinya (Pasal 20 ayat (4) (Farid Wajdi, “Memperkuat Komisi Yudisial”, dalam Republika, 4 Januari 2016).

[6] Bambang Sutiyoso mengatakan bahwa berkaitan dengan kewenangannya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (Bambang Sutiyoso. Penguatan Peran Komisi Yudisial dalam Penegakan Hukum di Indonesia,  dalam Jurnal Hukum No. 2 Vol. 18 April 2011, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia)

[7] Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua KOMISI YUDISIAL No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KOMISI YUDISIAL/IV/2009 tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut:  1. Berperilaku adil, 2. Berperilaku jujur, 3. Berperilaku arif dan bijaksana, 4. bersikap mandiri, 5. berintegritas tinggi, 6. bertanggung jawab, 7. menjunjung tinggi harga diri,  8. berdisiplin tinggi, 9. berperilaku rendah hati, 10. bersikap profesional

[8] Bandingkan dengan tugas melaksanakan pengawasan Komisi Yudisial selanjutnya dijabarkan dalam Pasal 22 UU No. 22 Tahun 2004, yaitu:

  1. menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
  2. meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
  3. melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
  4. memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan
  5. e. membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan

[9] Jika merujuk sejarah sesuai Naskah Akademis Rancangan UU Komisi Yudisial, “kewenangan lain” sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 24B UUD 1945 diterjemahkan menjadi 5 (lima) bentuk tugas, yakni: (1) Pengawasan dan pendisiplinan hakim (termasuk hakim agung); (2) memperjuangkan peningkatan kesejahteraan hakim; (3) merekomendasikan penghargaan, gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan lain kepada hakim; (4) memberikan pelayanan informasi mengenai perilaku hakim yang diperkenalkan atau tidak berdasarkan UU; (5) memberikan masukan dan pertimbangan kepada MA dan lembaga negara lainnya dalam rangka mendukung kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim (Lihat dalam  Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2003, hal. 45).

[10] Nurul Arifin. Peran Komisi Yudisial dalam Mewujudkan Peradilan Bersih, melalui https://kammimadani.wordpress.com/2012/11/17/peran-komisi-yudisial-dalam-mewujudkan-peradilan-bersih/ diakses 11 Mei 2015

[11] Agenda reformasi hukum di bidang kekuasaan kehakiman harus ditujukan pada 5 (lima) hal sebagai berikut:

  1. Menjadikan kekuasaan kehakiman yang independen;
  2. Mengembalikan fungsi yang hakiki dari kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum;
  3. Menjalankan fungsi checks and balances bagi institusi kenegaraan lainnya;
  4. Mendorong dan memfasilitasi serta menegakkan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis guna mewujudkan kedaulatan rakyat;
  5. Melindungi martabat kemanusiaan dalam bentuk yang paling konkrit (Jurnal Konstitusi. Edisi Juni 2010. Refleksi atas Eksistensi Hakim yang Bermanfaat dalam Kekuasaan Kehakiman Indonesia. Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII. hal. 87)

[12] Disebut wakil tuhan, tersebab produknya senantiasa berlabel irah-irah: “Demi Keadilan Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Syarat utama ‘wakil tuhan’ bertahta marwah yang terhormat dan bermartabat luhur dapat ditegakkan, jika kode etiknya telah berdiri tegak. Kode etik adalah bingkai utama bagi hakim ketika menegakkan hukum dan keadilan. Menegakkan kode etik bermakna independensi hakim terjaga dari segala intervensi. Independensi itu tentu harus diimbangi dengan akuntabilitas hakim. Internalisasi kode etik dapat menghindari terjadinya ketidakmandirian hakim, sekaligus menyelaraskan pertanggungjawaban (liability) hakim kepada seluruh rakyat dan Tuhan        (Farid Wajdi, “Menegakkan Kode Etik”, dalam Waspada, 5 Februari 2016).

[13] Lebih lanjut lihat bagian pembukaan Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua Komisi Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.Komisi Yudisial/IV/2009 tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

[14] Jawahir Thontowi. Kedudukan dan Fungsi Komisi Yudisial Republik Indonesia, dalam Jurnal Hukum No. 2 Vol. 18 April 2011, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

[15] Laporan masyarakat yang diterima KomisiYudisial sejak tahun 2005 sampai dengan 2015 adalah lebih kurang sebanyak 12.338 berkas laporan. Dari jumlah tersebut yang dapat ditindaklanjuti adalah 2.145 laporan. Selain itu, masih ada berupa surat tembusan sebanyak  9.673. Namun demikian, setelah dilakukan verifikasi, klarifikasi dan pemeriksaan pelapor, saksi dan terlapor terdapat sebanyak 389 laporan masyarakat yang diusulkan penjatuhan sanksi kepada Mahkamah Agung. Pelaksanaan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) sampai tahun 2015 telah dilakukan sebanyak 44 kali (10 Tahun Komisi Yudisial dan Laporan Tahun Komisi Yudisial 2015).    

Secara normatif menurut Pasal 1 ayat (5) UU No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial yang dimaksud dengan Hakim adalah hakim dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[16] Lebih lanjut lihat Pasal 2 UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

[17] Refki Saputra. 2012. Menakar Arah Pengawasan Wakil Tuhan (Catatan Kritis Terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial).  

[18] Asep Rahmat Fajar, 2007. Urgensi dan Fungsi Pembentukan Jejaring di Daerah Oleh Komisi Yudisial, Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, h. 296.  

[19] Refki Saputra. Op. Cit

[20] Tahapan pembentukan penghubung diawali pada 2013 Komisi Yudisial telah membuka 6 (enam) Kantor Penghubung, antara lain di Medan, Surabaya, Semarang, Makassar, Mataram dan Samarinda. Tahun 2014 Komisi Yudisial membentuk lagi 4 (empat) kantor penghubung yakni: Manado, Kupang, Palembang dan Pekanbaru sehingga total kantor Penghubung Komisi Yudisial berjumlah 10 (sepuluh). Terakhir pada tahun 2015 dibentuk penghubung yaitu Ambon dan Pontianak. Sturuktur Penghubung  terdiri  atas: 1 (satu) orang koordinator;  dan paling  sedikit  3 (tiga) orang  asisten, dan satu di antaranya bertanggung  jawab  terhadap administrasi Penghubung (Pasal 10 Peraturan Komisi Yudisial Nomor 01  Tahun  2012 Tentang  Pembentukan, Susunan, Dan Tata  Kerja Penghubung Komisi Yudisial Di Daerah).

[21] Secara prinsip Penghubung Komisi Yudisial bertugas:

  1. menerima  laporan  masyarakat   terkait   dengan   dugaan pelanggaran  kode etik   dan   pedoman  perilaku  hakim  untuk diteruskan ke Komisi Yudisial;
  2. melaksanakan pemantauan persidangan di wilayah kerjanya;
  3. melakukan sosialisasi tentang kode etik dan  pedoman perilaku hakim, sosialisasi peran   kelembagaan    Komisi  Yudisial, sosialisasi informasi seleksi calon  hakim  agung  dan   hakim, serta sosialisasi lainnya sebagai bagian dari  upaya pencegahan penyimpangan perilaku hakim; dan
  4. melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Komisi Yudisial (vide Pasal 5 Peraturan Komisi Yudisial Nomor 01  Tahun  2012 Tentang  Pembentukan, Susunan, Dan Tata  Kerja Penghubung Komisi Yudisial Di Daerah).

 

[22] M. Nasir Djamil. Op. Cit

[23] Dwi Fitriyanti. 2013. Kajian Yuridis Tentang Tugas Dan Wewenang Komisi Yudisial Berdasarkan Undang-Undang  No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, dalam Jurnal Ilmiah. FH Universitas Mataram.

[24] Perbedaan wewenang Komisi Yudisial terlihat jelas, yaitu dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2004  hanya  berkaitan dengan pengangkatan  Hakim  Agung, sedangkan  Undang-Undang  No.  18 Tahun 2011 tidak hanya Hakim Agung yang diangkat tetapi termasuk Hakim Ad Hoc dan wewenangnya ditambah.  

[25] Namun demikian, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No. 43/PUU-XIII/2015 menyatakan proses seleksi (rekrutmen) hakim pengadilan tingkat pertama merupakan kewenangan tunggal Mahkamah Agung tanpa  harus melibatkan Komisi Yudisial. Sebelum putusan MK tersebut pada perubahan atas paket UU No.  49 Tahun 2009, UU No.  50 Tahun 2009 dan UU  No. 51 Tahun 2009 mengamanatkan agar proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertama dilakukan secara “bersama” oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Putusan tersebut adalah idem ditto dengan putusan No. 005/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa pasal-pasal pengawasan Komisi Yudisial bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Meskipun demikian, harus dipahami menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat mengikat, final and binding, tak dapat dilawan secara hukum (Farid Wajdi, Memperkuat Komisi Yudisial, Op. Cit).

[26] Soekotjo Soeparto. 2009. Peran Komisi Yudisial Dalam Mewujudkan Lembaga Peradilan Yang Bersih dan Berwibawa, melalui http://restoe27.blogspot.com/2009/12/peran-komisi-yudisial-dalam-penegakkan.html, diakses tanggal 11 Mei 2015

[27] Idul Rishan.  2013. Komisi Yudisial: Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan. Yogyakarta: Genta Press.

[28] Ibrahim, Komisi Yudisial Butuh Penghubung, dalam majalah Komisi Yudusial, Edisi Mei-Juni 2013, halaman 14.

[29] Bandingkan sebelumnya dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, disebutkan Penghubung berwenang:

  1. melakukan pencatatan laporan masyarakat;
  2. memeriksa kelengkapan persyaratan laporan masyarakat;
  3.   menerima bukti-bukti  pendukung yang  dapat menguatkan laporan;
  4.    memberikan informasi perkembangan laporan kepada pelapor; dan
  5.   memberikan layanan informasi atau konsultasi berkaitan denganlaporan sebelum dilakukan registrasi (vide Pasal 6 Peraturan Komisi Yudisial Nomor 01  Tahun  2012 Tentang  Pembentukan, Susunan, dan Tata  Kerja Penghubung Komisi Yudisial Di Daerah).

[30] Bandingkan sebelumnya dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam  Pasal   5 huruf  b,  Penghubung berwenang;

  1. Melakukan pemantauan persidangan berdasarkan koordinasi dan/atau perintah dari  Komisi Yudisial;
  2. Menerima permohonan pemantauan persidangan untuk diteruskan kepada Komisi Yudisial;
  3.  Melakukan pendampingan   terhadap   tim  pemantau   dari   Komisi Yudisial;
  4. Melakukan pencatatan  dan  analisis tentang pemantauan persidangan; dan
  5. Memberikan informasi  tentang situasi dan kondisi pengadilan di wilayah kerjanya (vide Pasal 7 Peraturan Komisi Yudisial Nomor 01 Tahun  2012 Tentang  Pembentukan, Susunan, dan Tata  Kerja Penghubung Komisi Yudisial Di Daerah).

[31] Penghubung Kepanjangan Tangan KY, dalam majalah Komisi Yudusial, Edisi Mei-Juni 2013, halaman 8.

[32] Ibid., dalam majalah Komisi Yudusial, Edisi Mei-Juni 2013, halaman 8.

[33] Persyaratan menjadi PPPK, untuk menjadi seorang PPPK maka yang bersangkutan haruslah merupakan pegawai honorer yang belum lulus CPNS pada masa penerimaan CPNS tahun 2013 yang lalu. Yang bersangkutan juga sudah harus memiliki masa kerja sebagai honorer, dan memenuhi persyaratan sesuai dengan perundangan yang berlaku. Persyaratan untuk menjadi PPPK pada umumnya adalah hampir sama dengan persyaratan umum dan khusus untuk menjadi PNS, yang menjadi perbedaan yang mencolok di antara keduanya adalah dari segi "umur". Seorang pelamar PPPK bisa berumur lebih dari 35 tahun selama dia memiliki masa kerja yang telah ditentukan kepada negara, sedangkan umur dari seorang CPNS dibatasi sampai dengan umur maksimal 35 tahun(vide
Tag:
Komisi yudisial,

Post Terkait

Komentar