POST DATE | 20 Juni 2017
Awalnya UU ITE hanya ditujukan mengatur kegiatan bisnis melalui media elektronik. Namun, pelaksanaannya justru digunakan menjerat orang yang menyampaikan kekecewaan melalui media sosial, blog atau e-mail
Belum ada definisi hukum yang tepat dan jelas untuk menerjemahkan makna pencemaran nama baik. Dalam bahasa Inggris, pencemaran nama baik diartikan sebagai defamation, slander, libel. Term itu diterjemahkan menjadi pencemaran nama baik, berupa fitnah (lisan/tertulis) atau oral defamation (fitnah secara lisan), sedangkan libel adalah written defamation (fitnah secara tertulis). Namun demikian, dalam bahasa Indonesia sampai saat ini belum ada istilah untuk membedakan antara slander dan libel dimaksud.
Ketentuan mengenai pencemaran nama baik dalam KUHP yakni pada Pasal 310 dan 311 KUHP. UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 27 ayat (3): “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Pasal 310, 311 KUHP dan Pasal 27 (3) UU ITE pernah mengantar Prita Mulyasari, dan lain-lainnya ke penjara akibat disangka melakukan pencemaran nama baik. Kasus serupa kembali terulang. Kali ini, tersebutlah nama Muhammad Arsyad (MA, 24) sebagai pesakitan. MA adalah pembantu tukang sate diduga menghina calon presiden Jokowi (masa Pilpres) melalui akun facebook. MA selain dijerat dengan pasal utama UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, juga dikenakan Pasal 310-311 KUHP (penghinaan secara tertulis dan pencemaran nama baik).
Lengkapnya MA ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal berlapis yaitu Pasal 310 dan 311 KUHP, Pasal 156 dan 157 KUHP, Pasal 27, 45, 32, 35, 36, 51 UU UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 27 ayat (3) UU ITE No.11 Tahun 2008 seperti ‘palu mematikan’ bagi para praktisi dunia maya. Betapa tidak, KUHP, warisan kolonial Belanda menjerat pelaku pencemaran nama baik itu cuma ‘6 bulan’. Tetapi hukum, produk era reformasi mengganjar sampai 6 tahun. Lebih celaka lagi, aparat penegak hukum atas dasar pendekatan legalistik formal lazim pula menahan para tersangka, seperti yang pernah dialami Prita Mulyasari, Benny handoko, Florence S dan kini Muhammad Arsyad.
Secara yuridis pencemaran nama baik memang memerlukan norma untuk menjaga jangan sampai terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum). Regulasi mengenai pencemaran nama baik lebih merupakan aturan kebijakan (legal policy) dan terjadinya penyalahgunaan. Melakukan pencemaran nama baik atau penghinaan baik lisan maupun tertulis atau melalui dunia maya (elektronik) adalah perbuatan tercela, melanggar etika, norma agama dan sosial.
Agama sangat mencela orang yang membuka aib atau suka menghina. Allah SWT berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan aib orang lain; dan janganlah kamu mengumpat sebagian yang lain. Apakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Al Hujarat, 49: 12). Rasulullah SAW bersabda: "Dan barangsiapa yang menutup aib seorang Muslim, niscaya Allah menutup aibnya di dunia dan akhirat" (HR. Muslim).
Keberadaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE lebih berkaitan dengan penegakan hukum (law enforcement), sehingga agak sulit untuk meniadakan norma itu. UU ITE diperlukan untuk melindungi masyarakat. Aturan itu diperlukan melindungi hak masyarakat dari perbuatan buruk seperti fitnah dan penghinaan melalui internet/dunia maya. Secara filosofis, UU ITE didesain mengantisipasi perkembangan teknologi informasi dan melindungi hak warga negara.
Masalahnya secara empirik, Pasal 27 ayat (3) UU ITE itu seringkali menyimpang pada bagian penegakan hukumnya. Substansi pasal seringkali disalahgunakan karena memang multitafsir. Penerapan pasal itu telah meresahkan masyarakat karena membelenggu kebebasan orang untuk berekspresi. Setiap orang yang ingin menyatakan pendapat berpotensi untuk dijerat dengan UU tersebut. Bahkan, pasal ini seperti ‘spiral’ dan dapat memasung kebebasan berekspresi dalam mengeluarkan pendapat.
Bukan Pidana
Mengoreksi UU ITE penting agar isi pasal tidak lagi dapat diterjemahkan secara bebas. Dengan begitu pasal itu tidak dapat menjerat orang yang memang tidak memiliki maksud buruk. Apalagi para penegak hukum di Indonesia lebih banyak melakukan pendekatan legalistik formal. Seringkali rasa keadilan diabaikan, demi menegakkan bunyi teks undang-undang.
Lebih tragis lagi, awalnya UU itu hanya ditujukan mengatur kegiatan bisnis melalui media elektronik. Namun, pelaksanaannya justru digunakan menjerat orang-orang yang menyampaikan kekecewaan melalui media sosial, blog atau e-mail. Di negara-negara demokratis, pasal-pasal pencemaran nama baik dalam hukum pidana dianggap sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Oleh itu, tindakan yang dianggap merugikan reputasi seseorang, biasanya akan dimintai pertanggungjawabannya melalui hukum perdata, bukan pidana.
Di Amerika Serikat (AS) misalnya, tidak dikenal pertanggungjawaban pidana untuk tindakan pencemaran nama baik atau penghinaan. Hal itu dianggap bertentangan dengan First Amandement dalam konstitusi AS yang menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan pers (Institute for Criminal Justice Reform: November 2012).
Di Belanda, negara kelahiran KUHP dan KUH Perdata, ketentuan tentang pencemaran nama baik telah jauh berubah. Toby Mendel (www.hukumonline.com, 2004) direktur Artikel 19, sebuah organisasi internasional yang mengampanyekan kebebasan, mengatakan ada dua alasan utama pencemaran nama baik seharusnya bukan merupakan masalah pidana. Pertama, menggunakan hukum pidana menunjukkan ada ketidakseimbangan dalam menyelesaikan masalah serangan terhadap reputasi dengan membahayakan kebebasan berpendapat.
Kedua, pencemaran nama baik dalam hukum perdata telah menyediakan balasan yang setara untuk reputasi yang terkoyak. Pengalaman di pelbagai negara, termasuk negara miskin seperti Ghana, Ukraina dan Srilanka, telah menunjukkan hal itu. Di negara-negara itu, penghapusan ketentuan pidana tentang pencemaran nama baik tidak mengakibatkan semakin banyaknya pencemaran nama baik, secara kualitatif maupun kuantitatif.
Dilematis untuk mendudukkan UU ITE, agar mengatur sengketa antara individu, sehingga memasukkannya pada hukum perdata daripada pidana. Banyak pihak berharap dekriminalisasi pencemaran nama baik karena membatasi kebebasan berekspresi. Jika pemerintah ingin mendidik pegiat media sosial tentang etika online, maka mereka harus mengajarkan masyarakat tentang itu. Pendidikan merupakan pendekatan yang lebih langsung daripada memasukkan seseorang ke penjara. Koordinator regional SafeNet Voice Damar Juniarto mengatakan sesungguhnya tersangka tidak akan belajar banyak tentang etika dalam penjara! Nah...
======================
Sumber : Waspada 14 November 2014