post.png
MAHKAMAH_KALKULATOR.jpg

Penjaga Demokrasi vs Mahkamah Kalkulator

POST DATE | 26 Maret 2024

Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi telah menetapkan hasil Pemilu 2024. Tentu sesuatu yang wajar jika dalam sebuah proses kontestasi seleksi kepemimpinan nasional ada pihak yang puas dan sebaliknya ada pula pihak yang tak puas. Sebagai negara demokrasi konstitusi telah mengakomodasi pihak yang tidak puas dengan hasil rekapitulasi Pemilu 2024 yakni dapat menempuh jalur hukum atau nonhukum (politik), semisal penggunaan hak angket.

Secara konstitusional bagi pihak yang tidak puas dengan hasil Pemilu 2024 dapat menempuh jalur hukum yakni melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Syarat permohonan sengketa hasil pemilu diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK. Selain itu, terdapat pula ketentuan lanjutan terkait sengketa pilpres yang tertuang dalam Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. 

Perlu dipahami dalam proses penyelesaian gugatan sengketa, setiap keputusan MK adalah final dan mengikat. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: “MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Frasa “putusannya bersifat final” menegaskan sifat putusan MK adalah langsung dapat dilaksanakan. Sebab, proses peradilan MK merupakan proses peradilan yang pertama dan terakhir. Dengan kata lain, setelah mendapat putusan, tidak ada lagi forum peradilan yang dapat ditempuh. Putusan MK juga tidak dapat dan tidak ada peluang untuk mengajukan upaya hukum dan upaya hukum luar biasa.

Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU 8 Tahun 2011 pun menyebutkan putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding) (Ali Salmande, 2011).

Berdasarkan Pasal 77 UU MK, terdapat empat jenis amar putusan MK terkait sengketa pemilu, yaitu: (1) Permohonan tidak dapat diterima saat MK berpendapat pemohon dan/atau permohonannya tidak dapat memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74. (2) Permohonan dikabulkan saat MK berpendapat permohonan beralasan. (3) Membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar saat permohonan dikabulkan oleh MK sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Permohonan ditolak saat MK berpendapat permohonan tidak beralasan. Putusan MK mengenai permohonan atas PHPU presiden dan wapres tersebut wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). 

Selaras dengan proses hukum, jika ada pihak yang menempuh jalur politik seperti penggunaan hak angket, itu juga mekanisme yang diatur dalam konstitusi. Hak angket adalah salah satu hak istimewa DPR untuk melakukan penyelidikan sebagai bagian dari fungsi pengawasan dan kontrol, memastikan kekuasaan tidak disalahgunakan, dan pemerintahan berjalan sesuai konstitusi.

Hak angket DPR adalah instrumen penting untuk mengawasi sejumlah pejabat negara termasuk presiden, wakil presiden, menteri, panglima TNI, kapolri, jaksa agung, dan pemimpin lembaga pemerintah lainnya di luar kementerian.

Adapun syarat yang harus dipenuhi para anggota legislatif untuk mengajukan hak angket telah tercantum dalam Pasal 199 ayat (1) hingga ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).

Penjaga Demokrasi vs Mahkamah Kalkulator

Pemilihan presiden (pilpres) hampir selalu diwarnai protes dari pihak yang kalah. Proses gugatan hasil pilpres 2024 ke MK dari dua pasang capres-cawapres Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, tentu memperkaya dinamika sejarah bangsa dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis.

Ada penegasan peran MK sebagai the guardian of constitusion (penjaga konstitusi), guardian of human rights (penjaga hak asasi manusia), hingga the guardian of democracy (penjaga demokrasi). Kewenangan MK yang termaktub dalam UUD 1945 sangat tepat dengan peran MK sebagai benteng akhir penjaga konstitusi.

Hal tersebut karena lembaga ini mengawal konstitusi, demokrasi, dan pelindung hak konstitusional warga negara. Terbentuknya MK ini di Indonesia tidak terlepas dari ketentuan Pasal 24 UUD 1945 yang kemudian melahirkan tugas dan kewenangan tersendiri oleh MK.

Masalahnya sebagai penjaga demokrasi terdapat sindiran terhadap fungsi MK sebagai kalkulator. Term itu muncul dari Yusril Ihza Mahendra, yang saat itu menjadi ahli tim Prabowo-Hatta. Yusril saat itu mengkritik kewenangan MK dalam memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum. Saat itu, Yusril mengatakan MK adalah lembaga yang diberi kewenangan menyelesaikan sengketa pemilu menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

Namun, ketika UU Nomor 23 Tahun 2003 Tentang MK disusun, saat itu disederhanakan kewenangan MK menjadi semata-mata perselisihan terkait penghitungan suara. Yusril berpendapat, "Kalau hanya ini kewenangan MK yang dirumuskan pada saat itu, tentu mendekati kebenaran MK hanya akan menjadi lembaga kalkulator." (https://news.detik.com/berita/d-4564570/tentang-istilah-mahkamah-kalkulator-yang-disinggung-bw). Mahfud MD menyebut dirinya yang pertama kali mengatakan istilah “Mahkamah Kalkulator” (https://www.tribunnews.com/nasional/2019/06/14/mahfud-md-bukan-bambang-widjojanto-saya-yang-pertama-kali-mengatakan-istilah-mahkamah-kalkulator).
Karena itu banyak pihak berharap MK memperjuangkan keadilan substantif sehingga tidak hanya sekadar mengadili hasil di Pemilu 2024. Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto (Kompas, 11 Februari 2024) mengatakan MK diharapkan tidak menjadi “mahkamah kalkulator” yang hanya mengadili hasil penghitungan suara dalam Pemilu 2024.

MK mesti mengambil peran lebih esensial dari itu, yakni menangani kecurangan dalam proses atau tahapan pemilihan. Beliau mengurai ada dua masalah yang membuat MK justru dipersepsikan sebagai “mahkamah kalkulator”.

Pertama, UUD 1945 diinterpretasikan secara gramatikal, sehingga MK hanya berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum, termasuk pemilihan presiden (pilpres). Kedua, UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu sudah mengatur pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), adalah ranahnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sehingga MK hanya mengadili perselisihan hasil akhir saja. Jadi, tak perlu heran, ranah MK hanya berhubungan dengan angka-angka atau disebut paradigma mahkamah kalkulator semata.

Dalam ranah mengadili perselisihan hasil pemilu, MK perlu ditempatkan sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution). MK seharusnya memperjuangkan keadilan substantif, sehingga tidak hanya sekadar mengadili hasil. Dengan begitu, dalam mengadili hasil, itu harus dimaknai pula sampai pada menelaah ke prosesnya. Tidak hanya sekadar melihat hasilnya. Tetapi, kalau hasil itu dihasilkan oleh proses yang salah, tentunya mahkamah juga harus melihat potensi pelanggaran asas pemilu yang adil dalam setiap prosesnya.

Apalagi sudah seperti rahasia umum potensi kecurangan dalam proses Pilpres 2024 terbuka cukup lebar. Pelanggaran dapat terjadi di internal penyelenggara pemilu, baik KPU, Bawaslu, maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Selain itu, potensi penyalahgunaan fasilitas negara dan aparat negara juga besar, dan bahkan ini dapat menjadi pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Apalagi belakangan ini seabrek masalah yang menimpa MK, sehingga momentum ini kesempatan terakhir dari MK untuk membuktikan MK betul-betul sebagai penjaga konstitusi. Jangan sampai ikut campur dalam pemilu. Kalau kepercayaan publik hilang, itu akan berbahaya terhadap proses demokrasi. Belum lagi hilang dari ingatan publik, ketika MK mengetuk putusan yang mengejutkan. Salah satu gugatan uji materi yang menyoal aturan syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dikabulkan.

Melalui putusan dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 ini, MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu inkonstitusional bersyarat. MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wapres selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilu (https://nasional.kompas.com/read/2023/10/18/05150011/ketika-mk-dianggap-jadi-mahkamah-keluarga-yang-makin-kesasar--?page=all). Eksesnya adalah MK dinarasikan sebagai “Mahkamah Keluarga” atau keluarga cemara.

Penting untuk menunjukkan kepada publik MK tetap berada di jalurnya. Karena bagi MK, mustahil eksistensi sebuah lembaga peradilan tanpa public trust (kepercayaan publik). Dalam konteks Pemilu 2024, khususnya Pilpres, MK menjadi sorotan terutama semenjak putusan lembaga yudikatif itu tentang gugatan syarat umur minimal capres-cawapres pada Oktober 2023 atau yang sering dijuluki “putusan 90/perkara 90”.

Ketua MK saat itu, Anwar Usman, memimpin sidang putusan gugatan syarat umur minimal capres-cawapres. Anwar Usman disorot karena dugaan konflik kepentingan yang mengacu statusnya sebagai adik ipar Presiden Joko Widodo –ayah dari Gibran Rakabuming Raka.

Begitu banyak harapan dialamatkan ke MK agar tidak menjadi Mahkamah Kalkulator, yakni hanya menyelesaikan sengketa perhitungan suara, tetapi juga merawat integritas pemilu dengan melihat berbagai macam pelanggaran dan kecurangan yang tidak terselesaikan oleh instansi lain.

Karena itu, pilihan terbaik adalah MK jangan membatasi diri atau membelenggu diri pada selisih hasil penghitungan saja, tetapi juga terhadap proses yang merusak integritas pemilu tersebut.

============

Sumber: Waspada, Selasa, 26 Maret 2024, hlm. B3



Tag: , , , , , ,

Post Terkait

Komentar