POST DATE | 28 April 2017
Wacana pelaksanaan sidang siaran langsung atas kasus dugaan penistaan agama Gubernur DKI (nonaktif) BTP perlu direspons dalam perspektif hukum. Asas hukum yang berlaku secara universal adalah setiap sidang pada prinsipnya terbuka untuk umum.
Sidang pemeriksaan perkara pidana harus terbuka untuk umum, kecuali diatur oleh undang-undang (UU) dalam perkara tertentu seperti perkara kesusilaan, sidang tertutup untuk umum tetapi pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Kendati berlaku secara universal, keterbukaan dalam penerapan asas ini di negara lain tidak sedemikian terbuka seperti yang terjadi di Indonesia. Entah itu di salah satu negara Eropa ataukah di Amerika Serikat, suasana persidangan yang ditayangkan di televisi bukanlah hasil liputan langsung, melainkan rekaman dari suatu sketsa; persidangan dan sketsa wajah terdakwa/terpidana (Amier Sjariffudin, 2002).
Beliau menambahkan bahwa begitu profesionalnya peliput sidang dan artistiknya hasil liputan sidang yang terbuka untuk umum itu sehingga sketsa wajah dimaksudkan untuk ditampilkan secara tersamar, nyaris tidak tersamarkan. Siapa pun dapat langsung menerka wajah siapa dan dalam persidangan apa situasi yang disamarkan dalam sketsa itu.
Asas terbuka untuk umum merupakan pantulan dari asas demokrasi dan keterbukaan, bahwa dengan kehadiran masyarakat dalam suatu persidangan tidak terjadi “selingkuh” dalam proses persidangan dan dalam pengambilan keputusan.
Setiap kali persidangan pengadilan dibuka oleh hakim ketua, selalu diawali dengan pernyataan bahwa sidang itu terbuka untuk umum meskipun pemeriksaan kasus yang merupakan delik kesusilaan selalu disidangkan secara tertutup.
Sidang pengadilan yang terbuka itu merupakan suatu asas hukum (rechtsbeginsel) yang bersifat imperatif. Demikian imperatifnya asas hukum ini tidak hanya dapat disaksikan penerapannya pada sidang-sidang di pengadilan negeri, tetapi juga di pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung (kasasi).
Pasal 13 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan (1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain. (2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. (3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Ketentuan yang sama diikuti Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP): terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Selanjutnya Pasal 153 ayat (3) KUHAP ditetapkan: Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
Peradilan hanya dilakukan tertutup jika menyangkut perkara kesusilaan atau menyangkut perkara yang dimintakan untuk tidak terbuka karena alasan tertentu, semisal ketika anak berkonflik dengan hukum baik sebagai pelaku, korban maupun saksi.
Jika merujuk kepada tata tertib persidangan yang terbuka untuk umum pihak pengadilan memiliki panduan mengenai tata tertib yang harus ditaati oleh semua orang yang memasuki gedung Pengadilan pada saat pengambilan foto, rekaman suara atau rekaman gambar (televisi) harus meminta izin terlebih dahulu kepada Hakim Ketua Sidang.
Prinsip ini diatur dalam Pasal 217 KUHAP yang menegaskan bahwa Hakim Ketua Sidang bertindak memimpin jalannya pemeriksaan persidangan dan memelihara tata tertib persidangan.
Kedudukan Hakim Ketua Sidang sebagai pimpinan sidang menempatkan dia sebagai orang yang berwenang menentukan jalannya pemeriksaan terdakwa, semua tanya jawab harus melalui dia, dan semua keterangan dan jawaban ditujukan kepadanya.
Lalu, bagaimana dengan siaran langsung? Tidak berbeda dengan prinsip tata tertib persidangan pada umumnya segenap izin proses persidangan ditetapkan sesungguhnya berada pada otoritas atau kewenangan Hakim Ketua Sidang. Boleh atau tidak boleh dilakukan pengambilan foto, rekaman suara atau rekaman gambar (televisi) hanya izin terlebih dahulu dari Hakim Ketua Sidang.
Masalah pemberian izin atau tidak memberi izin oleh Hakim Ketua Sidang dimaksud masih dalam lingkup yang berkaitan dengan kemandirian dan kebebasan pengadilan atau hakim. Sebagai negara hukum, salah satu unsur yang utama yakni mempunyai kekuasaan kehakiman yang mandiri atau merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, guna mewujudkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
Suatu negara disebut sebagai negara hukum yang demokratis bilamana memiliki kekuasaan kehakiman yang tidak saja merdeka, tetapi juga memiliki akuntabilitas sehingga dapat menjalankan peradilan yang bersih, dipercaya oleh masyarakat dan menjadi kekuasaaan kehakiman yang berwibawa.
Sudikno Mertokusumo (2007) mengatakan kemandirian dan kebebasan lembaga peradilan atau pengadilan merupakan syarat dan kondisi agar asas negara hukum dapat terlaksana sepenuhnya. Ini berarti bahwa lembaga peradilan mandiri manakala para pelaku lembaga itu juga mandiri serta berorientasi pada rasa dan suara keadilan tidak pada kekuasaan atau tekanan.
Oleh karena itu, pengadilan dan hakim dalam menjalankan tugasnya diberikan kebebasan dan kemandirian yang dijamin oleh undang-undang. Hal ini sangatlah penting, dengan tujuan untuk menciptakan penegakan hukum yang berkeadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia (HAM).
Siaran Langsung
Tetapi apakah sidang terbuka itu identik dengan menyiarkan secara langsung melalui siaran televisi, semua orang secara massif tanpa kecuali bisa menontonnya? Apakah sidang terbuka otomatis boleh melakukan siaran langsung persidangan? Memang jika dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi saat ini, makna sidang terbuka untuk umum dapat ditafsirkan juga meliputi persidangan disiarkan secara langsung oleh televisi.
Untuk itu patut dicatat dari pengalaman sebelumnya bahwa dalam siaran langsung berpotensi menimbulkan masalah berkaitan dengan independensi dan martabat peradilan.
Pertama, martabat dan kehormatan pengadilan dan hakim perlu dijaga, sehingga sakralitas pengadilan sebagai benteng keadilan tetap dapat ditegakkan. Siaran langsung dapat berekses pada penghakiman oleh masyarakat, baik kepada kemandirian hakim, pengadilan maupun kasusnya sendiri.
Ruang sidang bukan panggung drama atau pasar terbuka, sehingga dapat leluasa begitu saja diakses dari luar ruang sidang. Martabat dan kehormatan pengadilan serta hakim harus tetap dirawat, dan itu merupakan sesuatu yang niscaya.
Kedua, semakin membuka polemik ruang hukumnya bagi para pakar hukum di luar ruang persidangan. Polemik atau perang opini secara terbuka dalam kasus sensitif perlu dihindari.
Jika para pakar hukum di luar sidang lebih ahli atau berdebat diruang publik, disadari atau tidak martabat pengadilan atau hakim terdegradasi karena ketidak-percayaan publik.
Ketiga, ketiadaan sensor siaran langsung padahal proses dan fakta persidangan dimungkinkan terjadi berisi informasi yang tak patut disampaikan secara terbuka kepada publik. Sebab ada hal-hal sensitif atau memiliki dimensi susila yang tidak sesuai dengan kepatutan untuk dipublikasi secara terbuka, tanpa ada sensor.
Keempat, ketentuan pemeriksaan saksi harus diperiksa satu per satu. Pemeriksaan saksi menurut Pasal 160 ayat (1) huruf a Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan: Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum.
Saksi-saksi atau ahli yang akan diambil keterangannya dipanggil satu per satu (seorang demi seorang) untuk masuk ke ruang sidang. Saksi atau ahli tidak dibolehkan saling mendengarkan keterangan.
Hal ini untuk menghindari saksi saling memengaruhi sehingga tidak memberikan keterangan yang seharusnya, sebagaimana yang mereka dengar sendiri, mereka lihat sendiri, atau mereka alami sendiri.
Bahkan secara normatif disebutkan apabila diperlukan, hakim dapat menyuruh ke luar dari ruang sidang saksi yang telah diperiksa. Hal ini dilakukan apabila terdapat kemungkinan saksi yang akan diperiksa selanjutnya menjadi tidak bebas, merasa canggung, atau merasa takut dalam memberikan keterangannya apabila didengar oleh saksi lainnya.
Kebebasan saksi atau ahli dalam memberikan keterangan menjadi prinsip dasar diaturnya pemeriksaan saksi harus satu per satu. Saksi-saksi atau ahli yang diambil keterangannya dipanggil satu per satu (seorang demi seorang) untuk masuk ke ruang sidang. Saksi atau ahli tidak dibolehkan saling mendengarkan keterangan.
Hal ini untuk menghindari saksi atau ahli saling memengaruhi sehingga tidak memberikan keterangan yang seharusnya, sebagaimana yang mereka dengar sendiri, mereka lihat sendiri, atau mereka alami sendiri. Jika siaran langsung tentu keterangan antar-saksi atau ahli sudah tiada sekat lagi.
Siapapun atau lembaga apapun tidak dalam posisi menghalangi akses publik atas asas keterbukaan informasi dan akuntabilitas pada proses persidangan. Sidang yang terbuka untuk umum, dan kemudian dilakukan siaran langsung harus menghormati norma beracara di peradilan dan itu tetap menjadi tuntunan semua pihak.
Sebaliknya akses untuk mendapatkan akses informasi secara bebas dan bertanggungjawab harus tetap diakomodasi, hak masyarakat ditempatkan sebagai prioritas.
Begitu pun, perlu dicatat siaran langsung persidangan tanpa batas dapat mengganggu independensi dan obyektivitas hakim plus membelah opini dalam situasi yang tidak menguntungkan.
Jika ada polemik prokontra siaran langsung pada proses persidangan, harus ada kompromi atau jalan tengah yakni siaran langsung dapat dilakukan tetapi sifatnya terbatas.
Dimaksudkan terbatas siaran langsung dapat dilakukan pada bagian-bagian tertentu, semisal pada pembacaan tuntutan, pledoi dan pembacaan putusan.
Sedangkan untuk pemeriksaaan saksi atau hal-hal lain yang tidak patut disiarkan langsung sepatutnya tidak dilakukan siaran langsung.
Walaupun siaran langsung bersifat terbatas tidak berarti bahwa sidang itu tidak dilakukan secara sungguh-sungguh. Tetap profesional, tetapi proses pembuktiannya tunduk pada proses yang berlaku.
=========
Sumber: Waspada, Senin 19 Desember 2016