POST DATE | 13 Januari 2024
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN-Praktisi hukum dan pegiat perlindungan konsumen, Farid Wajdi meluncurkan buku berjudul Hukum Perlindungan Konsumen.
Buku yang merupakan karya bersama dengan Diana Susanti ini diluncurkan di acara diskusi dan bedah buku.
Bagi Farid Wajdi, buku merah Hukum Perlindungan Konsumen edisi Agustus 2023 adalah buku ke-13 hasil karyanya yang intens dan terus mengambil inisiatif dalam memperkuat pencerahan ilmu pengetahuan sekaligus memberikan pemahaman literasi khususnya tentang kajian perlindungan konsumen.
Eks komisioner Komisi Yudisial 2015-2020 ini mengatakan, buku berjudul Hukum Perlindungan Konsumen telah terbit dan disebarluaskan kepada khalayak. Buku ini diterbitkan Setara Press Kelompok Intrans Publishing, Malang. Pengalaman melakukan advokasi konsumen dan publik sejak tahun 2000 sangat memberi warna dalam buku ini.
Dalam perjalanan advokasi ada pertarungan konsumtivisme versus konsumerisme pada satu sisi, tetapi di sisi lainnya ada pula gugatan terhadap mekanisme pasar yang didewakan itu tidak bekerja dengan baik, sehingga tujuan kesejahteraan (welfare) tidak terwujud.
Seringkali pasar diintervensi kekuatan tangan tersembunyi.
“Guna mendukung perlindungan konsumen dan memberikan kepastian hukum, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai pilar penting bagi produsen dan konsumen dalam pemenuhan hak dan kewajiban mereka,” kata Farid.
Namun setelah UUPK berlaku begitu banyak pihak melihat ada beberapa celah di UU itu yang perlu disempurnakan mengingat usia UU sudah lebih dari 20 tahun.
Beberapa ketentuan perlu dievaluasi, untuk merespons dinamika perubahan yang terjadi saat ini.
Secara normatif perlindungan konsumen di era digital seperti dinamika perusahaan e-dagang (ecommerce), baik transaksi perdagangan antara konsumen di Indonesia maupun e-dagang yang berada di luar negeri melalui aplikasi digital, penyelesaian sengketa secara online (online dispute resolution) penjualan barang yang berbasis social media shopping, seperti melalui Instagram, Facebook, Twitter/X, TikTok, dan lain-lain belum menjadi objek dari peraturan tersebut.
“Akibatnya, hak-hak dari konsumen Indonesia yang membeli barang dari pelaku usaha dari luar negeri tak terlindungi secara optimal. Isu lain yang perlu ditampung di UU Perlindungan Konsumen adalah belum adanya turunan ketentuan yang mengatur mekanisme pengaduan untuk masing-masing sektor atau industri. Padahal, itu penting guna memberikan kepastian hukum dan memperkuat aspek perlindungan di sektor atau di industri tersebut,” jelasnya.
Banyak isu perlindungan konsumen dan kebijakan publik yang dikaji dalam buku ini.
============