POST DATE | 05 Maret 2025
Puasa berasal dari kata As-shaum atau Shiyam. Secara etimologis puasa bermakna al-Imsaku Anis Syai’i, yaitu mengekang atau menahan diri dari sesuatu. Misalnya menahan diri dari makan, minum, bercampur dengan istri, berbicara, dan sebagainya. Secara harfiah puasa berarti menahan diri dari melakukan suatu tindakan.
Ajaran Islam memaknai puasa merujuk pada menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari, dengan diiringi niat dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Intinya puasa adalah menahan diri dari makan dan minum, mengendalikan hawa nafsu, serta menahan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna atau yang dilarang oleh Allah Swt.
Bagi umat Islam berpuasa adalah menunaikan kewajiban. Selebihnya, selain berharap semoga Allah Swt menerimanya juga semoga Allah Swt melipatgandakan pahala puasa. Rasulullah Saw bersabda: “Setiap amalan kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Allah Swt dalam hadis qudsi berfirman, “Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.” (HR. Muslim)
Hakekat pengertian puasa tidak saja mampu menahan diri dari makan, minum, atau berhubungan intim di siang hari Ramadan (jimak). Lebih dari itu pengertian puasa adalah menahan diri dari segala perbuatan dan ucapan yang diharamkan. Karena itu, penting bagi orang saat sedang berpuasa, untuk tidak saja mampu menahan haus dan lapar, tapi juga harus mampu menahan mulut, mata, telinga, tangan, dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan yang dapat mengurangi atau menghilangkan pahala puasa.
Rasulullah Saw bersabda: “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath-Thabaroni). Hadis itu dikuatkan lagi: “Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum saja, puasa adalah menahan diri dari perkataan sia-sia dan keji.’ (HR. Baihaqi dan Al-Hakim). Dengan begitu, orang berpuasa berarti mampu menahan diri dari perkataan yang sia-sia adalah ghibah, yaitu membicarakan kejelekan, kesalahan atau kekurangan orang lain.
Bagi Wan Jamaluddin Z (2022) Ramadan sejatinya bulan penuh keberkahan dan kemuliaan, maka hikmah dan kebajikannya bersifat multidimensional, tak hanya moral dan spiritual, tetapi juga sosial. Puasa tak hanya membentuk kesalehan individual/ritual (ibadah mahdhah) melainkan juga sekaligus juga kesalehan sosial (ibadah muamalah).
Ada orang yang saleh secara individual, namun kurang saleh secara sosial. Kesalehan sosial adalah sikap dan perilaku yang mencerminkan kebaikan dan manfaat dalam kehidupan bermasyarakat. Kesalehan sosial dapat dipantulkan dalam bentuk kepedulian sosial, tolong-menolong, dan saling menghargai.
Puasa sepatutnya berimplikasi secara sosial dengan cara menahan diri dari berbagai kesenangan duniawi, seseorang mampu merasakan kaum dhuafa dan mampu bersimpati terhadap derita orang lain. Puasa memiliki multifungsi. Talenta orang puasa berfungsi lewat investasi tazhib, ta’dib dan tadrib. Puasa mengarahkan (tahzib), membentuk karakteristik jiwa (ta’dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi insanul kamil dan paripurna (tadrib). Kesalehan sosial juga tercakup kesalehan profesional.
Kesalehan Digital
Iqbal Kholidi (2016) mengatakan selain kesalehan personal dan kesalehan sosial ada yang menambahkan jenis kesalehan yang lain, yaitu kesalehan profesional. Kesalehan yang terkait dengan pekerjaan atau profesi. Kesalehan profesional memberi pantulan perintah agama dipatuhi dalam kegiatan profesional. Kesalehan profesional mencerminkan sebuah ekspresi ketaatan dan kepatuhan yang menghubungkan antara pekerjaan yang ditekuni dan nilai-nilai religius (Amri Ikhsan, 2023).
Orang memiliki kesalehan profesional adalah seorang pimpinan yang memenuhi hak-hak bawahannya, tidak mengemplang pajak, tidak mempekerjakan anak di bawah umur, atau seorang pejabat pemerintahan/birokrat yang amanah dan memosisikan dirinya sebagai sayyidul qoum khadimuhum: seorang pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya, taat kepada konstitusi bukan pada konstituen partai politiknya.
Jika dilihat dalam cakupan yang lebih luas dalam konteks kekinian masih ada yang diperlukan yaitu kesalehan digital. Kesalehan digital adalah kesalehan yang berhubungan dengan dunia internet dengan segala pernak-perniknya, termasuk media sosial.
Supriansyah (2024) mengatakan setidaknya kesalehan digital di kalangan muslim adalah pantulan beragam aktifitas, ekspresi, impressi hingga konsumsi beragam konten terkait keberagamaan invidu-sosial di ruang-ruang digital atau internet. Sebab di media sosial (dunia maya) seseorang memiliki kecenderungan bebas berbuat apa saja, terkesan tanpa ada beban, seringkali terjadi antara kepribadian seseorang di kehidupan nyata dan di kehidupan maya seolah bertolak belakang (anomali).
Secara empirikal dapat saja di kehidupan nyata seseorang yang dikenal pendiam, santun dan tidak neko-neko namun di dunia maya dia menjadi agresif, frontal bahkan mengarah ke ujaran kebencian. Sebagaimana di kehidupan nyata, di media sosial pun banyak beredar berita atau kabar yang belum jelas sumbernya kemudian jika tanpa memverifikasi kebenarannya ikut-ikutan menyebarkan, lebih berbahaya lagi jika isi berita tersebut muatannya kebencian, sentimen sektarian.
Sampai pada titik ini, agar menjadi insanul kamil sangat urgen mengamalkan bentuk kesalehan digital. Bagi Supriansyah (2024) ibadah puasa sebenarnya adalah ibadah personal, namun disetiap ritual ibadah juga terdapat beragam realitas sosial yang mengelilinginya. Secara faktual, media sosial berperan besar dalam menghadirkan beragam fenomena atau budaya baru dalam bulan puasa.
Munawir Aziz (2022) mengajak agar ibadah Ramadan seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai momentum memperkuat kesalehan sosial, ritual dan profesional, tapi juga kesalehan digital. Kesalehan sosial diperlukan untuk menghadirkan cinta-kasih sayang dalam interaksi antar-manusia. Kesalehan ritual menjadi jembatan hamba menuju Rabb-nya, mengoneksikan makhluk dengan Pencipta-nya.
Kesalehan digital memungkinkan setiap penggunanya menggunakan media sosial sebagai ruang berinteraksi dan berekspresi secara wajar. Media sosial bukan digunakan untuk mengekspresikan energi kebencian dan menebar hoaks, tapi sebagai ruang ukhuwah dan amal jariyah.
M Taufiq Ulinuha (2024) mengingatkan betapa kesalehan digital sangat penting mengingat teknologi dan media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan manusia. Setiap hari, manusia berinteraksi dengan berbagai platform digital yang memungkinkan untuk berbagi informasi, berkomunikasi, dan bahkan berbisnis. Namun, teknologi juga membawa potensi penyalahgunaan, seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan perbuatan tidak senonoh.
Memupuk kesalehan digital adalah upaya untuk menjaga diri setiap orang agar tetap dalam koridor ajaran Islam saat beraktivitas di dunia maya. Untuk itu momentum ibadah puasa sekali lagi perlu membangun konstruksi kesalehan digital dengan cara: menghindari penyebaran hoaks, menjaga etika berkomunikasi memanfaatkan teknologi untuk dakwah, dan melindungi privasi dan keamanan. Kesalehan digital juga melibatkan upaya melindungi privasi dan keamanan diri serta orang lain.
Membagikan informasi pribadi secara sembarangan di media sosial dapat menimbulkan risiko yang tidak diinginkan. Islam mengajarkan untuk selalu menjaga diri dari hal-hal yang membahayakan. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah). Oleh karena itu, penting bagi setiap orang untuk bijak dalam membagikan informasi pribadi dan selalu waspada terhadap ancaman digital.
Rudy Irawan (2020) mengingatkan sebenarnya banyak pihak yang mengkhawatirkan generasi digital/generasi millennial yang lahir setelah 1980-an hanya akan menjadi generasi yang kecanduan internet, malas membaca, bodoh, a-sosial dan hobi berbagi konten illegal. Di balik kecemasan terkadang stigmatis itu, generasi digital/millennial justru perlu menampilkan kesalehan dalam bentuk yang baru.
Adapun relevansinya puasa, dengan puasa seorang muslim diajak menahan diri (imsak) dari perkara legal seperti makan dan minum. Secara digital dapat lebih memiliki kekuatan dan mampu menjauhkan diri dari hal-hal berlebihan, karena diisi dengan memanfaatkan kesalehan digital demi kebaikan selama Ramadan dan sesudahnya.
Untuk menguatkan pendapat itu, Muhammad Isnaini (2024) mengatakan Ramadan sebagai bulan suci dalam agama Islam, menawarkan sebuah momentum yang unik untuk merenungkan peran teknologi digital dalam meningkatkan kesalehan. Dalam era digital yang terus berkembang, teknologi tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, tetapi juga dapat menjadi sarana untuk memperdalam pengalaman spiritual, memperluas jangkauan dakwah, serta memperkuat hubungan antar-individu dalam komunitas muslim secara online/maya.
Kesalehan digital pada momentum Ramadan dapat dilakukan melalui uapa memperdalam pengalaman spiritual melalui teknologi digital. Ramadan dapat dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan dakwah melalui teknologi digital. Melalui media sosial, website, blog, podcast, dan platform lainnya, para pegiat media sosial dan ulama dapat menyampaikan pesan-pesan keagamaan secara lebih luas dan efektif kepada umat di seluruh dunia.
Apalagi, teknologi juga memungkinkan untuk menciptakan konten dakwah kreatif dan menarik, seperti video animasi, infografis, dan meme keagamaan. Lebih dari itu, Ramadan dapat digunakan untuk memperkuat hubungan antar-individu dalam komunitas muslim secara online/maya. Semoga dan InshaAllah!
============
Sumber: Waspada, Jumat, 7 Maret 2025, hlmn. B4