POST DATE | 23 Maret 2023
Ibadah puasa membawa pesan penting akan nilai pendidikan dalam kehidupan. Puasa berfungsi sebagai sarana pendidikan yang efektif dalam mengedukasi makna penting kejujuran, menahan hawa nafsu, dan peduli sesama. Abudin Nata (2018) menyebut puasa memberi pendidikan yang memiliki daya tarik.
Sebab puasa merupakan ibadah yang diawasi langsung oleh Allah Swt. Perintah puasa dalam Alquran juga terkonsentrasi dalam QS. Al-Baqarah, 3: 183-187. Sesuatu yang unik karena hanya puasa sebagai ibadah wajib yang disebutkan terpusat di satu surat.
Sesuatu yang berbeda dengan ibadah lain seperti salat dan zakat yang berkali-kali disebutkan Allah Swt dalam berbagai firman-Nya. Ibadah puasa menjadi perintah Allah yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Itu pula yang membuat puasa dipandang sebagai perintah Allah yang memiliki nilai kepentingan dan manfaat yang tinggi.
Puasa disebut sebagai bagian dari pendidikan Allah yang tampak. Bulan puasa menjadi bulan tarbiyah (pendidikan) yang artinya semua umat Islam di bulan puasa mendidik diri, anggota badan hingga pikiran untuk menjadi orang yang lebih baik. Pengaruh dan manfaatnya begitu terasa dalam kehidupan manusia, sehingga nilai manfaat puasa tak hanya sebatas teori belaka.
Allah memantau langsung pelaksanaan ibadah puasa dan itu pasti membuat proses tersebut semakin berarti bagi setiap manusia. Puasa menjadi salah satu metode pendidikan menahan hawa nafsu dan melatih kejujuran yang ampuh.
Pantulan ibadah puasa, jika dihayati- manusia dibuat merasa lebih dekat dan merasa diawasi Allah Swt (muraqabatullah), sehingga enggan berbuat sesuatu yang bukan kebaikan. Seseorang yang berpuasa akan menggiring dirinya sendiri ke arah kebaikan (kemaslahatan). Faktor tersebut menjadikan puasa sebagai salah satu sarana pendidikan yang manjur.
Bagi Zainuddin (2022) selama menjalankan ibadah puasa, umat Islam didik menahan lapar dan dahaga, seperti yang dirasakan kaum dhuafa (miskin-kelompok marjinal). Orang yang berpuasa diajarkan untuk menahan hawa nafsunya dari sikap serakah (imsak), termasuk serakah terhadap harta benda (konsumtif).
Ibadah puasa dalam dimensi kehidupan sejatinya tak hanya mampu membangun pribadi penuh takwa sebagai manifestasi sikap seorang hamba kepada Sang Khalik, tetapi juga mampu menumbuhkembangkan kepekaan sosial terhadap sesama.
Dalam aktivitas beribadah puasa orang beriman dilatih keras untuk mampu berempati terhadap nasib kaum dhuafa yang terus dihimpit ketidakberdayaan akibat beratnya persoalan hidup yang mesti ditanggungnya.
Ibadah puasa sebagai bulan pendidikan dan latihan sepatutnya menjadi media yang tepat untuk membakar kecongkakan dan keangkuhan, hingga akhirnya menjadi pribadi yang rendah hati (tawadhu’) dan tidak terpesona dengan kilauan harta benda (hedonis).
Secara lebih luas ibadah puasa tak hanya mampu membangun kesalehan individual, tetapi juga mampu menaburkan benih-benih kesalehan sosial. Karena itu, jika puasa gagal mencegah orang beriman untuk berbuat yang dapat mengakibatkan kesengsaraan publik seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dan kejahatan-kejahatan sosial lainnya, ibadah itu hanyalah ritual rutin hampa, tanpa makna.
Ini sesuai sabda Rasulullah Saw, “Berapa banyak dari orang-orang yang berpuasa hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga” (HR. Ibnu Majah Nomor 1690 dan Syaikh Albani berkata, Hasan Shahih).
Sikap Antikorupsi
Darwan Prinst (2002) mengatakan korupsi berasal dari kata latin corruption atau corruptus. Bahasa Inggris dan Prancis = Corruption. Bahasa Belanda = Korruptie. Bahasa Indonesia = Korupsi. Korupsi secara harfiah berarti jahat atau buruk, oleh karena itu, tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak atau suap.
Menurut Hendra Sudrajat (2017) urgensi penerapan puasa sebagai sikap antikorupsi adalah melatih kejujuran; merasa diawasi oleh Allah Swt; meneladani Rasulullah Saw sebagai Pemimpin Umat; mencegah sifat serakah; dan membentuk kepedulian sesama. Puasa memberikan makna yang sangat mendalam agar manusia tidak serakah.
Bukti puasa menjauhi sikap serakah, yakni saat berbuka puasa, perut tidak akan mampu menampung semua makanan yang tersaji saat berbuka. Perut hanya mampu menampung makanan sesuai dengan batas dan kebutuhan tubuh manusia.
Manusia yang berpuasa dengan sempurna dengan memaknai nilai puasa degan holistik, maka ia tidak akan menumpuk harta yang berlebihan, mengedepankan kesederhanaan, tidak serakah dan korupsi.
Selain itu, berpuasa melahirkan sikap solidaritas dan kepedulian serta kepekaan sosial yang tinggi. Nilai empati terhadap sesama terletak pada semangat berbagi saat berbuka puasa. Buka puasa dengan duduk bersama serta mengonsumsi menu buka puasa yang sama memberikan arti persamaan tanpa membedakan status sosial dan strata kehidupan manusia.
Sikap tanpa mengenal kasta sosial melahirkan rasa kebersamaaan dan kekeluargaan yang tinggi, sehingga ada rasa tanggung jawab bersama untuk saling melindungi dan membantu terhadap sesama.
Sikap keterpaduan kehidupan yang tercipta melalui buka puasa dengan berbagi terhadap sesama manusia, maka akan membentuk perilaku yang tidak korupsi. Nilai dan hakikat puasa dalam menciptakan kepedulian sosial terletak pada sikap tidak akan merugikan sesama dengan mengambil yang bukan haknya.
Makna penerapan puasa dalam melawan korupsi dapat diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ketika para penyelenggara negara mulai tingkat pusat dan negara memahami serta mempraktikkan nilai religiusitas berpuasa dalam mengemban amanah dan tanggung jawab negara yang mengurus dan melayani publik
Achmad Fauzi (2017) mengatakan puasa sebagai perisai yakni menjadi jeda bagi manusia untuk sejenak melakukan penyucian jiwa dan membangun akhlak mulia. Kuasa nafsu serakah bernama korupsi, magnet keduniawian dan bentuk perilaku tak terpuji lainnya dibersihkan dengan menahan nafsu ketika berpuasa.
Karena itu, puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga yang menjadi kebutuhan jasmani, melainkan juga menahan diri untuk tidak berbuat maksiat yang dapat mengotori keindahan jiwa. Sekadar menahan lapar saat puasa ialah selemah-lemahnya iman.
Masih ada lagi tingkatan puasa yang lebih tinggi dan berorientasi pada pengendalian diri. Ketika Rasulullah Saw menyudahi Perang Badar, para sahabat mengira pertarungan telah usai. Rasulullah pun mengenalkan bentuk perang besar yang pemenangnya kelak mencerminkan kesejatian manusia dan kemanusiaannya.
Perang itu ialah perlawanan atas kebiri nafsu hewani yang menjadi antitesis atas sifat-sifat manusia. Itulah jenis puasa khawasul al khawas (orang-orang yang memiliki totalitas “ingat” kepada Allah) yang relevan bagi pembentukan karakter .
Puasa khawas al-khawas adalah puasa yang mengunci perut, lidah, mata dan telinga; dan kemudian memfokuskan pikiran dan hati hanya kepada Allah. Puasa jenis ini tidak sekadar menahan lapar dan dahaga. Lebih dari itu, ibadah puasa harus mampu mengendalikan hawa nafsu yang bersifat rohaniah.
Puasa mendidik pejabat publik menyadari harkat kemanusiaannya sehingga dalam mengemban jabatan tidak tinggi hati dan sewenang-wenang. Puasa menjadi sarana pendidikan yang menekankan peningkatan kualitas kalbu, rohani, dan akhlak bagi pelakunya.
Puasa mendidik pekakunya untuk terus merawat kejujuran dengan menyadari setiap gerak-gerik kehidupan selalu diawasi Allah Yang Maha Kuasa. Saat kejujuran merupakan barang langka, orang berpuasa hadir melayani dengan penuh kerendahan hati dan tanggung jawab. Orang berpuasa senantiasa punya rasa malu, tak mau menggadaikan harga diri dan kejujurannya untuk mengeruk materi yang bukan haknya.
Penegak hukum yang berpuasa, misalnya, tak mau menukar mutiara kejujuran dengan gemerlap duniawi yang sifatnya sesaat. Orang berpuasa, tak mau terlibat praktik suap dan jual beli perkara selalu menghiasi wajah hukum. Ibadah puasa memantulkan sikap kejujuran dan itu mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran mengenai hakikat yang hak dan batil.
Jika dikaitkan dengan pendapat Syamsuddin (1996) dalam tradisi psikologi kognitif, khususnya tradisi behaviorisme, mengamalkan ajaran untuk perubahan tingkah laku harus memiliki unsur pendorong atau stimulus. Pola-pola perilaku dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan dengan mengondisikan stimulus dengan lingkungannya.
Kaitan dengan ini, ibadah puasa menjadi stimulus untuk belajar membiasakan diri berbuat jujur dan menyelaraskan antara kata dan perbuatan, tidak korupsi, dan teguh mempertahankan nilai-nilai keutamaan yang diajarkan dalam agama. Puasa yang telah menjadi kebiasaan pada ranah lebih luas dapat membudaya dan cahaya nilainya dapat mewarnai karakter publik dan perilaku bangsa secara keseluruhan.
Penghayatan makna ibadah puasa secara transedental meliputi penerapan makna puasa fisik-batiniah, yakni perilaku sosial yang membawa pencerahan setiap makhluk hidup dan lingkungan di sekitarnya.
Pantulan gaya hidup orang berpuasa kata Farid Wajdi (2019) senantiasa termotivasi untuk berpuasa dan berbuat sebaik-baiknya. Gaya hidup orang berpuasa senantiasa terus merawat keikhlasan dalam menjalankan pekerjaannya. Setiap orang dengan kesalehan invidualnya dan pejabat publik dengan kesalehan sosialnya. Paduan hikmah berpuasa dan kesalehan sosial adalah gaya hidup yang memantulkan manusia bebas dan merdeka dalam menentukan pilihannya.
Bagi pejabat publik pantulan sikap antikorupsi adalah senantiasa merasa perilakunya ada yang mengawasi (ihsan), bukan manusia atau orang lain, tetapi kepatuhan melalui suara hatinya. Tumbuh sikap tanggung jawab, selalu inovatif dan kreatif, karena memiliki pendirian dan punya komitmen dalam setiap perbuatannya.
Sikap hidup orang berpuasa dan bulan-bulan sesudahnya mesti selalu menyadari, selain dirinya, orang-orang di dekatnya sekalipun tidak boleh terlibat dalam penyalahgunaan mandat publik, apalagi yang berkaitan dengan jabatannya.
============
Sumber: Waspada, Rabu, 29 Maret 2023, hlm. B5