post.png
konsumerisme_1.jpg

Ramadan, Konsumtivisme dan Konsumerisme

POST DATE | 21 Agustus 2017

Moh. Arifin Purwakananta (Direktur Program Dompet Dhuafa, Ketua Humanitarian Forum Indonesia dan Vice President Association of Fundraising Proffesional Jakarta Chapter)  menulis, saya tertegun membaca status facebook seorang teman.

Ia gelisah karena Ramadan ini disambut oleh jor-joran diskon dan ajakan budaya konsumtif lainnya dari pusat-pusat belanja, melebihi ajakan spiritualitas Ramadan. Kegalauan ini bukan tanpa alasan. Media televisi dan  koran serta media out door di kota-kota besar memang menawarkan surga belanja di bulan Ramadan ini.

Entah berapa banyak biaya iklan yang dikeluarkan. Yang jelas dari tahun ke tahun budaya konsumsi semakin digenjot mengiringi bumbu spiritualitas Ramadan yang terkesan seadanya. Karena budaya yang entah mulai kapan ini, angka konsumsi di bulan Ramadan memang melonjak tajam. Ini seperti sebuah orkestra tanpa dirigent yang memainkan lagu mars konsumtivisme tak berkesudahan.

Diperkirakan angka konsumsi rata-rata naik menjadi 200 persen sampai 500 persen (baca: 2 sampai 5 kali lipat). Ramadan seakan bulan tak rasional dalam hal konsumsi. Menarik untuk mengetahui siapa yang menikmati angka konsumsi yang meningkat tajam  ini. Tentu saja para produsen dan pemasar kitalah yang menerima berkahnya. Cuma, kedua kelompok ini selalu dikuasai oleh para pemodal besar. 

Begitulah suasana ekonomi ramadhan, mungkin berkah atau kegagalan advokasi-edukasi belanja konsumen. Pastinya, sektor industri baik produk konsumsi seperti makanan, pakaian dan jasa misalnya selalu saja menggambarkan ekonografi piramida terbalik, karena pangsa pasar terbesar masih dipegang oleh para pemodal besar.

Taruhlah dengan menyederhanakan model piramida terbalik ini dapat diprediksi sekitar 2/3 bagian dari nilai konsumsi publik dinikmati oleh hanya beberapa orang saja, sedangkan para pengrajin dan industri kecil lainnya yang jumlahnya banyak sekali ini hanya memperebutkan pangsa pasar 1/3 dari ekonomi Ramadan.

Moh. Arifin Puwakananta juga memperkirakan angka koreksi pembagian kemakmuran yang mungkin terkucur dari penghasilan masyarakat yang menjadi karyawan sangat kecil. Hitungan saya ini didasarkan angka empiris  bahwa sektor ini dihitung  umumnya tak lebih dari 10 persen dari harga pokok penjualan produsen besar.

Parahnya struktur pemasaran juga tak mendorong distribusi yang ideal. Para pemodal besar dan jaringan pemasaran asing telah  masuk ke jantung ekonomi rakyat secara masif. Hal ini telah merubah peta jaringan pasar secara ekstrem dalam kurun dua dekade ini.

Makin terpinggirkannya pasar tradisional yang merupakan market base bagi para pengusaha kecil oleh jaringan pemasar raksasa bermodal besar secara signigfikan sengaja atau tak sengaja telah mengerdilkan pertumbuhan sektor perdagangan rakyat.

Saya sedih menyaksikan warung-warung tradisional yang terpinggirkan oleh menterengnya minimarket milik jaringan produsen yang ada di pinggir jalan dan bahkan masuk ke gang kecil di kota dan desa.

Apalagi mengingat sang agresor pasar rakyat ini dimodali oleh kucuran bank milik negeri ini. Yang tersisa adalah ceruk-ceruk kecil dari market share konsumsi Ramadan yang mungkin masih kukuh dipertahankan oleh komunitas-komunitas atau lingkungan kecil yang mencoba bertahan dan membangun konsep ekonomi yang memungkinkan berbagi dengan lebih adil.

Namun demikian hal ini sangat terbatas. Tentu dapat ditebak, siapa yang mengonggok keuntungan pada kurun Ramadan ini. Lalu, Ramadan yang penuh berkah akan berarti sempit karena kita semua telah ikut mendesain 'keberkahan' ini tak terbagi proporsional.

Konsumtivisme

Di dalam pemakaian bahasa, kata boros sering dikonotasikan dengan konsumtivisne. Kemudian, terjadi pemaknaan yang berlawanan antara boros dan sederhana sebagai sifat consumers. Istilah untuk pemborosan dikenal “konsumtivisme” yang dilawankan dengan “konsumerisme”, yaitu gerakan konsumen akibat perilaku pelaku usaha yang tidak jujur (fair).

Alih bahasa kata “boros” dalam Kamus Inggris-Indonesia, adalah wasteful (boros, royal), extravagant (berlebih-lebihan, mewah) dan lavish (menghambur-hamburkan). Berbeda dengan consumer yang berarti konsumen dan pemakai (JM. Echols, dkk, 1995).

Konsumtivisme kata dasarnya adalah konsum yang diambil dari bahasa Inggris yaitu consume yang berarti memanfaatkan atau menghabiskan daya guna suatu barang atau jasa. Manusia pada dasarnya memang secara alami adalah Konsumen atau pelaku yang memanfaatkan daya guna suatu barang atau jasa.

Namun demikian pada perkembangannya, budaya mengkonsumsi atau konsumtivisme dimanfaatkan oleh ideologi kapitalism sebagai penopangnya yang kemudian menerabas kearifan-kearifan manusia yang lain. Di antara kearifan-kearifan yang diterabas oleh budaya konsumtivisme adalah kapasitas manusia untuk berpikir kritis dan berbagi.

Di dalam kehidupan sehari-hari, konsumen terus saja dijejali iklan dari suatu produk atau komoditi. Tanpa sadar mengukur mutu dari suatu produk bukan pada kualitasnya, tapi pada seberapa massive iklan tentang produk itu dibuat.

Lalu dibuat asumsi: semakin massive iklannya semakin baik kualitasnya. Padahal belum tentu. Ketika sepatu hak tinggi sedang menjadi trend dikalangan wanita, kebanyakan wanita langsung saja membelinya tanpa tedeng alang-aling walaupun harganya selangit dan tidak nyaman dipakai.

Kemudian, manusia dari agama, ras, kelas sosial apapun sesungguhnya punya kapasitas yang sama sebagai manusia. Kapasitas yang sama untuk berpikir dan memanfaatkan sikap kritis. Sayangnya cara berpikir manusia semakin hari semakin terkebiri oleh pola-pola kapitalisme.

Misalnya, buruh tidak diharapkan daya pikirnya, tapi kepatuhan dan tenaganya. Konsumtivisme juga turut mengikis daya fikir manusia. Orang terus dijejali iklan dan disuruh mengkonsumsi suatu barang yang tentu saja tidak gratis –tanpa harus tahu-, sebenarnya untuk apa ia menggunakan atau memanfaatkan barang atau jasa tersebut.

Konsumtivisme, adalah budaya belanja, menghabiskan sejumlah uang untuk barang-barang yang bukan kebutuhan primer. Kebutuhan primer, yang dimaksud adalah sandang, pangan, papan. Entah kalau masih setuju dengan konsep itu? Konsumtivisme telah mengubah kiblat konsumsi yang seperlunya (sekadar memenuhi kebutuhan) menjadi konsumsi yang mengada-ada (memuaskan keinginan).

Di televisi dan di acara-acara otomotif, sering terlihat anak-anak muda menghabiskan uang jajan dari orang tuanya untuk melengkapi perlengkapan multimedia untuk mobil mewahnya -dan tidak lupa Airbrush jika mereka mulai bosan dengan warna mobilnya! Semua itu bisa menghabiskan berjuta-juta.

Padahal, di sisi lain, ada banyak orang yang untuk makan saja sudah sulit. Konsumtivisme membuat korbannya menjadi hidup sedemikian boros dan enggan untuk berbagi. Belanja telah menjadi tolok ukur jati diri seseorang, sebab terkait dengan banyak aspek, antara lain rasa gengsi dan status.

Konsumerisme

Konsumerisme, yaitu gerakan konsumen akibat perilaku pelaku usaha yang tidak jujur (fair). Gerakan sosial dan moral untuk melawan terjangan kapitalisme-hedonisme gaya hidup manusia agar lebih cenderung senantiasa memenuhi keperluan, dan bukan keinginan nafsu belaka.

Belakangan untuk mendukung gerakan itu, populer term Hari Tanpa Belanja, yakni sebuah ide sederhana untuk bersikap lebih kritis pada budaya konsumen dengan jalan mengajak konsumen untuk tidak berbelanja selama sehari. Ini adalah suatu bentuk perlawanan terhadap budaya konsumtivisme.

Mengutip dari Wikipedia, tujuan Hari Tanpa Belanja adalah untuk memberikan kesadaran publik agar lebih peka terhadap apa yang dibeli, dan seharusnya mempertanyakan produk-produk yang dibeli dan perusahaan-perusahaan yang membuatnya.

Selain itu juga membuat orang berhenti dan berpikir tentang apa dan seberapa banyak yang mereka beli telah berpengaruh pada lingkungan dan negara-negara berkembang.

Substansi pembelajaran hari tanpa belanja itu di dalam belanja yakni dengan berpikir sebelum membeli. Misalnya, Apakah saya benar-benar memerlukannya? Berapa banyak yang sudah saya punya? Seberapa sering saya akan memakainya? Akan habis berapa lama? Bisakah saya meminjam saja dari teman atau keluarga? Bisakah saya melakukannya tanpa barang ini?

Akankah saya bisa membersihkan dan/atau merakitnya sendiri? Akankah saya bisa memperbaikinya? Apakah barang ini berkualitas baik? Bagaimana dengan harga? Apakah ini barang sekali pakai? Apakah barang ini ramah lingkungan? Dapatkah didaur-ulang? Apakah barang ini bisa diganti dengan barang lain yang sudah saya miliki? Itulah pola konsumsi di dalam bingkai konsumerisme.

Konteks Islam, maka dienul Islam sangat menganjurkan pemenuhan kebutuhan hidup secara sederhana. Di dalam pandangan Islam kegiatan ekonomi merupakan tuntutan kehidupan, di samping merupakan anjuran yang memiliki dimensi ibadah (bidimensial).

Sejalan dengan MN Shiddiqi Nejjatullah dalam Suhrawardi K Lubis (2002), bahwa aktivitas ekonomi dalam pandangan Islam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara sederhana, memenuhi kebutuhan keluarga, memenuhi kebutuhan jangka panjang, menyediakan kebutuhan keluarga yang ditinggalkan dan memberikan bantuan sosial dan sumbangan menuntut jalan Allah.

Konsumsi atau pemanfaatan merupakan hal penting dalam pengolahan kekayaan. Pemanfaatan adalah akhir dari keseluruhan proses produksi. Penggunaan harta harus diarahkan pada pilihan yang baik dan tepat agar kekayaan dapat dimanfaatkan pada jalan sebaik mungkin.
Konsumen muslim tidak hanya menekankan aspek duniawi semata. Kemanfaatan konsumsi di dunia harus memiliki nilai ibadah. Konsumen muslim selalu dapat meyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat dalam mencapai ridha Allah, karena semua yang dihasilkan kemudian dikonsumsi ditujukan untuk kemaslahatan yang lebih besar (al-maslahat al-ummat).

Sekilas sering terdengar istilah “konsumen Muslim” yang bisa mengandung arti pemakai suatu produk barang atau jasa beragama Islam. Tetapi, larangan agama, misal terhadap daging babi di negara berpenduduk muslim atau daging sapi di India merupakan bagian pilihan konsumen yang membuat perbedaan wilayah atau komunitas, bahkan status.

Di dalam kondisi ini Hefner (2000), melihat bahwa logika pilihan konsumen menjadi model yang dipromosikan para pengusaha dalam ranah sosial yang sebelumnya diatur norma-norma non-pasar dan tidak menutup kemungkinan orang lain dalam komunitas tertentu akan melihat barang atau jasa yang diberikan bisa ditolak secara moral.

Upaya kembali memberikan muatan moral pada kekayaan bukan semata-mata refleksi mekanis dari kemakmuran. Bukan pula keseragaman kebetulan yang melintasi suatu kawasan tertentu.

Melainkan pada kemampuan organisasi keagamaan dan organisasi serupa (termasuk organisasi konsumen) untuk merespon tantangan gaya hidup yang berlebihan demi kepentingan sesaat atau segelintir orang kaya saja. Bukanlah kekayaan itu sendiri yang buruk, tetapi penggunaan yang menolak konsesi yang dilembagakan bagi kepentingan masyarakat.

Kenyataan bahwa konsumen terbesar Indonesia adalah masyarakat muslim telah menghasilkan respon dari pemerintah melalui Departemen Agama yang bertugas memberikan pelayanan dan perlindungan bagi sekitar 85 persen penduduk Muslim Indonesia. Terutama di dalam mengonsumsi makanan, minuman, obat, kosmetika dan barang gunaan yang halal.

Dari segi essensi agama, ada hal-hal yang diberikan kepada konsumen muslim untuk mendapatkan hak-haknya sebagai tuntutan kewajiban dalam mencapai nilai keimanan. Hak-hak yang diberikan kepada muslim sebagai tuntutan kewajiban dalam aktivitas ekonomi di antaranya ialah mendapatkan harta secara halal.

Barang dan jasa yang diperoleh harus bermanfaat untuk kemaslahatan umum dan dapat dipertanggung-jawabkan di sisi Allah SWT.

Berangkat dari konsep Islam mengenai harta, hak dan kepemilikan, terlepas harta itu dari model transaksi perdagangan atau bukan. Alimin, dkk (2004), mengartikan konsumen  adalah setiap orang, kelompok atau badan hukum pemakai suatu harta benda atau jasa karena adanya hak yang sah, baik ia pakai untuk pemakai akhir atau pun untuk proses produksi selanjutnya.

Konsumen muslim sangat berkepentingan mendapat perlindungan hukum, karena terkait kebebasan melakukan kegiatan ekonomi secara syar’i dalam perlindungan konsumen. Karena itu, para pelaku bisnis atau badan-badan komersial sangat bertanggung-jawab mempertimbangkan kondisi itu, di samping untuk mempertegas tanggung jawab pelaku usaha dalam Islam.

Itulah sekelumit kaitan ramadan, konsumtivisme dan konsumerisme. Perlu kontemplasi sejenak untuk mengukur pola konsumsi. Masuk ke dalam garis konsumtivisme atau berada dalam bingkai konsumerisme.

Jelasnya ramadan adalah bulan menahan segala jenis pemikiran dan perbuatan yang jauh dan manjauh dari sikap dan nilai-nilai Islami. Setelah itu, ya... selamat memilah dan memilih konsumtivisme atau konsumerisme di bulan ramadan ini?

 

Sumber: Analisa, 12 September 2009



Tag: , , ,

Post Terkait

Komentar