post.png
BULAN_LITERASI.jpg

Ramadhan dan Bulan Literasi

POST DATE | 27 Maret 2024

Bulan Ramadhan dikenal dengan berbagai julukan. Ada syahrul shiyam (bulan puasa), syahrul qiyam (bulan beribadah malam), syahrul maghfirah (bulan pengampunan), atau syahrul juud (bulan berbuat baik). Selain itu, dan tidak kalah pentingnya, Ramadhan juga disebut sebagai syahrul Qur’an (bulan Al-Qur’an).

Konstatir ini secara jelas dituliskan dalam QS. Al-Baqarah, 2: 185, "Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an (pertama kali) sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan atas berbagai petunjuk dan pembeda (antara yang benar dan salah)....." Misi Al-Qur’an yang diwahyukan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw pada hari ke-17 bulan Ramadhan tersebut, sangat kuat alasan untuk mengatakan Ramadhan adalah bulan literasi.

Ayat pertama yang turun, sebagaimana bunyi hadis berikut ini, adalah QS. al-Alaq, 96: 1-5. Hadis Bukhari-Muslim menggambarkan selengkapnya berbunyi: “Awal turunnya kepada Rasulullah Saw dimulai dengan ar ru’ya ash shadiqah (mimpi yang benar dalam tidur). Dan tidaklah Rasulullah Saw bermimpi kecuali datang seperti cahaya subuh. Kemudian beliau dianugerahi rasa ingin untuk menyendiri. Beliau pun memilih gua Hira’ dan ber-tahannuts, yaitu ibadah di malam hari dalam beberapa waktu. Kemudian beliau kembali kepada keluarganya untuk mempersiapkan bekal untuk ber-tahannuts kembali. Kemudian beliau menemui Khadijah untuk mempersiapkan bekal. Sampai akhirnya datang Al Haq saat beliau di Gua Hira.

Malaikat Jibril datang dan berkata, “Bacalah!” Beliau menjawab, “Aku tidak bisa baca”. Rasulullah Saw menjelaskan, "Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat, kemudian melepaskanku dan berkata lagi, 'Bacalah!'."

Rasulullah Saw menjawab, “Aku tidak bisa membaca”. Maka Malaikat itu kembali memegang Rasulullah Saw dan memeluknya sangat kuat, kemudian melepaskannya lagi dan berkata, “Bacalah!”. Rasulullah Saw menjawab: “Aku tidak bisa baca”.

"Malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskanku, dan berkata lagi, '(Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah)'." (Riwayat Bukhari no. 6982, Muslim no. 160).

Asih Subagyo (2022) menegaskan terdapat korelasi QS. Al-Baqarah, 2: 185 dengan hadis di atas, hubungannya cukup jelas dan terang benderang. QS. Al-Alaq, 96: 1-5 adalah surat yang pertama diturunkan di bulan Ramadhan. Di samping itu juga menegaskan ayat pertama yang diturunkan tersebut berkenaan dengan perintah membaca dengan dimensi yang sangat luas. Sebab, kata Iqra’ dalam kamus memiliki beragam makna, yakni menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, dan beberapa makna lainnya.

Irsyad Zamjani (2023) mencatat setidaknya ada tiga alasan penting yang menjelaskan hal ini. Pertama, ayat pertama yang turun berisi perintah untuk membaca (QS. Al-’Alaq, 96:1-5). Menurut banyak riwayat, bahkan perintah tersebut diulang beberapa kali oleh Jibril, sang perantara pewahyuan. Muhammad yang memang belum punya kemampuan membaca tentu tidak menyanggupi. “Maa ana bi qaari” (Saya tidak cakap membaca).

Perintah membaca adalah perintah untuk memahami dan menalar, bukan sekadar membunyikan teks. Teks hanyalah medium yang dapat berwujud apa pun. Allah Swt mencontohkan kepada Muhammad diri manusia sebagai teks yang perlu dibaca; dari mana muasalnya dan ke mana akan kembali.

Kedua, secara harfiah, Al-Quran bermakna sesuatu yang dibaca secara berulang-ulang. Jadi, memang kitabullah ini hadir untuk dibaca. Umat Islam memang disunahkan untuk membaca kitab ini secara berulang-ulang. Pesannya, selain tentu membangun kebiasaan membaca, juga adalah cara agar pembacanya dapat sedikit demi sedikit memahami kandungannya.

Memperoleh pemahaman dari sumber seluas Al-Quran butuh proses (tadrij, bertahap dan berulang). Tidak mungkin dapat dikerjakan secara serta-merta. Selain itu, Al-Quran adalah firman Tuhan (kalamullah) sehingga ia merupakan kitab yang hidup. Kitab ini senantiasa berdialektika dengan zaman.

Ketiga, perintah puasa dalam bulan Ramadhan punya pesan kuat tentang pentingnya memahami teks secara mendalam. Menunaikan puasa Ramadhan juga perlu literasi. Puasa Ramadhan pada dasarnya adalah aktivitas yang bertentangan dengan zona nyaman biologis manusia.

Puasa Ramadhan sepatutnya dapat memantik nalar untuk membaca lebih dalam mengapa orang harus berpuasa; bukankah lapar dan haus sangat dekat dengan kematian; apakah memang hanya untuk membuktikan kepatuhan hamba-Nya, Tuhan setega itu 'menyiksa' mereka dengan puasa?

Secara hakekat memang banyak orang meninggal karena kelaparan, tapi tidak ada orang yang mati karena berpuasa. Jadi, puasa yang dilakukan umat Islam sebulan penuh selama Ramadhan bukan hanya peristiwa ritual peribadatan semata. Menjalani proses puasa Ramadhan adalah peristiwa pendidikan/edukasi dan ilmu pengetahuan.  

Lebih jauh lagi sebagai peristiwa spiritual, puasa juga membawa nilai-nilai pendidikan yang penting. Nabi Muhammad secara eksplisit mengatakan puasa adalah perisai (junnah) untuk mengendalikan emosi negatif. Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus belaka, tapi juga pendidikan menahan diri dari amarah dan perilaku negatif lainnya.

Bulan Literasi

National Institute for Literacy (NIFL) menerjemahkan literasi sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan keluarga dan masyarakat (https://www.pijarnews.com/menyambut-bulan-suci-ramadan-dengan-semangat-literasi/). Literasi Al-Qur’an adalah bagian penting di bulan ramadhan untuk dibaca direnungkan dan dipahami makna perintah dan larangan-Nya dan kemudian diamalkan dan hal ini sudah dijanjikan oleh Allah Swt. Allah berfirman: “…maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha, 20: 123), dan Allah telah mengancam dan barang siapa yang memalingkan diri dari-Nya dengan firman-Nya. “Barang siapa yang berpaling dari Al-Qur’an maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat.” (QS. Thaha, 20: 100), jadi membangun dan mendekatkan diri kepada Allah Swt adalah sebuah keniscayaan bagi umat yang peduli pentingnya ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, dan keberagamaan.

Bagi Moh. Mursyid (2017) puasa ramadhan sangat tepat menjadi momentum, selain untuk membersihkan diri (tazkiyah al-nafs), juga untuk senantiasa menyemarakkan budaya literasi publik, terlebih bangsa Indonesia yang kini berada pada titik nadir. Sebab berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada 2018, Indonesia menempati peringkat ke 71 dari 77 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah (https://goodstats.id/article/krisis-literasi-di-indonesia-masih-perlu-ditingkatkan-lagi-j7MHB).

Chairil Abidin (2020) mengatakan dibandingkan negara-negara lain di dunia, tingkat literasi anak-anak dan orang dewasa di Indonesia sangat rendah. Kemampuan membaca, berhitung dan pengetahuan sains anak-anak Indonesia berada di bawah Singapura, Vietnam, Malaysia dan Thailand.

Masalahnya, meski minat baca buku rendah tapi data wearesocial per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran dalam hal kecerewetan di media sosial orang Indonesia berada di urutan ke-5 dunia (https://www.kominfo.go.id/content/detail/10862/teknologi-masyarakat-indonesia-malas-baca-tapi-cerewet-di-medsos/0/sorotan_media).

Meminjam Moh. Mursyid (2017) tentu hal ini menjadi ironi. Sebagai negara dengan jumlah penduduk Islam terbanyak yang memiliki risalah keagamaan untuk membaca-menulis, Indonesia justru tidak mampu tampil sebagai negara yang memiliki budaya literasi tinggi. Bagaimanapun, budaya literasi menjadi sebuah keharusan bagi seorang muslim.

Sejarah Islam telah membuktikan bahwa pada masa Bani Abbasiyah, peradaban Islam begitu maju. Ilmu pengetahuan berkembang pesat dan mampu memunculkan sosok ilmuan muslim yang sangat luar biasa. Literasi menjadi kunci semua itu. Mereka tidak sekadar membaca teks dan konteks tetapi juga menuliskannya secara empiris. Alhasil, pemikirannya hingga kini masih dikenal luas oleh dunia.

Moh. Mursyid menambahkan syiar bulan Ramadhan selalu membawa nuansa Istimewa dan khas. Di bulan suci ini sebenarnya umat Islam di Indonesia dalam kondisi puncak dalam ber-literasi, baik secara tekstual maupun kontekstual.

Pertama, literasi tekstual. Di bulan ini, umat Islam mulai memiliki kesadaran untuk banyak membaca. Mulai dari membaca Al-Qur’an hingga beragam majelis taklim dan kajian diadakan di mana-mana. Pengajian kitab diadakan oleh para kyai dan ustadz di masjid dan pondok pesantren. Kitab yang dikaji pun sangat beragam, mulai dari kitab Tafsir, Fikih, dan Tasawuf dengan judul yang berbeda-beda.

Kedua, literasi kontekstual. Pada bulan puasa ramadhan, umat Islam tidak hanya membaca teks saja, tetapi juga membaca fenomena dan realitas sosial (kontekstual) dengan beragam dinamika kehidupan yang tidak pernah selesai. Literasi kontekstual dapat dipahami sebagai kegiatan membaca ayat-ayat Tuhan yang tidak tertulis.

Salah satu wujud literasi kontekstual yang paling mudah dilihat adalah adanya rasa kepedulian sosial yang tinggi terhadap sesama. Di bulan Ramadhan banyak dijumpai kegiatan filantropi, berbagi untuk sesama, bakti sosial, zakat, infak dan sedekah (ZIS) dengan tujuan untuk meringankan beban sesamanya yang kurang mampu.

============

Sumber: Waspada, Kamis, 28 Maret 2024, hlm. B3



Tag: , , , , , , , ,

Post Terkait

Komentar