POST DATE | 20 Juli 2017
Surianty, seorang nasabah bank ternama kaget besar tatkala melihat tabungannya terkuras sebesar Rp19.450.000 (sembilan belas juta empat ratus lima puluh ribu rupiah). Begitu kaget, karena si nasabah merasa tidak ada melakukan transaksi penarikan dari tabungan. Curiga atas transaksi itu, kemudian si nasabah mencari tahu sebab musabab raibnya uang itu. Ternyata memang benar telah terjadi transaksi dengan mempergunakan kartu ATM (anjungan tunai mandiri/auto teller machine).
Lalu, si nasabah mengadukan masalah itu ke pihak bank. Masalahanya respons bank cukup sederhana, bank menganggap tidak ada masalah sama sekali pada proses transaksi dan memosisikan pengadu bertanggungjawab sendiri atas masalah itu. Menurut bank semua proses transaksi sah dan tidak ada yang mencurigakan. Aneh bin ajaib memang. Betapa tidak, sebuah bank besar dengan jaringan nasabah besar, tak merasa berdosa atas kerugian nasabahnya. Apalagi bank berlindung dibalik kedok nasabah harus tunduk pada ketentuan klausula baku.
Memang, peraturan-peraturan yang dikeluarkan bank cenderung sepihak, yakni penyelamatan atau proteksi diri. Bank membuat peraturan yang bertujuan agar kepentingannya berjalan dengan mulus dan kerugian tidak berada pada pihaknya. Salah satu peraturan yang tidak berpihak pada nasabah adalah pernyataan bank tidak bertanggung jawab atas penggunaan buku tabungan, ATM, SMS banking, phone banking, dan internet banking oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, juga pernyataan jika ada perbedaan saldo antara yang tertera pada buku tabungan yang dinyatakan benar adalah saldo yang ada pada data bank. Pernyataan terakhir ini sangat merugikan nasabah. Kasus tidak keluarnya uang dari ATM akan menyebabkan perbedaan saldo, untuk hal tersebut bank tidak mau bertanggung jawab selain menelusuri permasalahannya. Jika ketemu, ya…masalah diatasi, jika tidak, sudah, itu dianggap kesalahan nasabah.
Tentu sebagai manusia modern, manusia tentu memungsikan uang, ATM, SMS banking, phone banking, sampai internet banking pada posisi penting. Berbagai transaksi dilakukan melalui media tersebut, mulai sosial, keluarga, sampai bisnis. Bagaimana jadinya kalau transaksi bisnis yang sudah disepakati harus batal hanya karena bermasalah pada sistem bank? Apalagi kalau masalahnya sampai uang tidak keluar sementara saldo berkurang. Kalau ini terjadi, rugi berlipat jadinya, transaksi batal, uang raib.
Secara empirik, kasus internet bangking lebih parah lagi. Begitu banyak tangan-tangan "jahil" bergerilya di dunia maya itu, menguras "dompet maya" orang berduit. Jika terjadi pembobolan, bank pun tak mau bertanggung jawab. Bank beralasan itu kesalahan nasabah, PIN-nya gampang dilacak, dan sebagainya. Atau, bahkan nasabah sendiri yang dituduh telah melakukan transaksi.
Jika hal-hal tersebut terjadi, apa kekuatan hukum nasabah? Apakah sudah ada peraturan yang mewadahi (untuk melindungi nasabah. Bukan sekadar mewadahi dan menampung kemudian mengalahkan si nasabah. Bukankah gagalnya transaksi karena kesalahan bank? Bukankah bobolnya rekening juga melibatkan lemahnya sistem keamanan bank? Apakah bank dapat menjamin oknum petugas bank, sama seperti malaikat.
Apakah oknum petugas, tak mungkin tergiur kongkalingkong membocorkan PIN nasabah? Lalu, jika nasabah didenda karena terlambat membayar cicilan, apakah bank yang telah merugikan nasabah karena transaksinya terhambat dapat didenda? Bagaimana pula dengan potongan saldo berdalih biaya administrasi?
Lebih kurang masalah itulah kemudian yang menimpa Surianty. Bank berprinsip kehilangan uang melalui ATM itu tanggungjawab si nasabah. Pokoknya argumen apapun yang disampaikan nasabah, semua itu salahnya si nasabah, tanpa berusaha melakukan introspeksi dan restropeksi. Tetapi Surianty punya nyali, pantang untuk menyerah. Gagal dapatkan ganti rugi dari bank, Surianty menempuh upaya hukum melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Cukup panjang proses untuk menggenggam keadilan itu. Nasabah dan bank saling berargumentasi. Saksi dan bukti diajukan. Untungnya, putusan BPSK memang berpihak pada Surianty, bank diwajibkan untuk mengembalikan uang si nasabah. Sekali pihak memperlihatkan sikap jumawanya. Apakah bank dapat menerima putusan BPSK itu? Masalahnya pihak bank justru keberatan dan menggugat si nasabah ke pengadilan. Nasib si nasabah, seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula. Posisi nasabah bank begitu rapuh. Sama sekali tiada kebijakan hokum yang dapat melindunginya.
Kompetisi Bank vs Posisi Nasabah Bank
Keberadaan perbankan di Indonesia semakin banyak. Setidaknya terlihat dengan hadirnya bank-bank baru tumbuh dan berkembang, dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat pun merupakan catatan keberhasilan perbankan. Jumlah dana yang dapat dihimpun suatu bank merupakan pencerminan dari meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap bank.
Semakin banyak dana yang dihimpun berarti merupakan suatu indikasi bagi bank, bahwa bank yang bersangkutan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Bisnis perbankan merupakan bisnis kepercayaan. Oleh karena itu pengelolaan yang hati-hati sangat diperlukan karena dana dari masyarakat dipercayakan kepadanya.
Bank dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, dan juga harus menjaga kesehatan bank agar tetap terjaga terus demi kepentingan masyarakat pada umumnya dan bagi para nasabah penyimpan dana. Sebagai lembaga keuangan, bank yang merupakan tempat masyarakat menyimpan dananya dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat diperoleh kembali pada waktunya dan disertai dengan bunga, yang dimaksud di sini bahwa suatu bank sangat tergantung pada kepercayaan masyarakat tersebut. semakin tinggi kepercayaan masyarakat, semakin tinggi pula kesadaran masyarakat untuk menyimpan uangnya pada bank dan menggunakan jasa-jasa lain dari bank.
Bank-bank dalam memberikan produk yang diunggulkan dan berusaha maksimal untuk menarik simpati masyarakat, seharusnya pihak bank dan pihak nasabah harus berhati-hati dalam mengelola maupun mempercayakan dananya pada bank. Pihak bank harus bisa mengukur kemampuan untuk membayar kembali dana simpanan nasabah tersebut berikut bagi hasilnya. Di sisi lain, bagi para nasabah harus memahami benar bank yang bagaimana yang dapat dipercaya. Nasabah jangan hanya tergiur bunga yang tinggi, bonus atau hadiah dan lainnya, jika ternyata bank yang dipercaya tersebut memiliki kondisi yang kurang memuliakan nasabah.
Fakta yang ada kini perlindungan terhadap nasabah masih kurang memadai. Terdapat beberapa praktek hukum perbankan yang berkaitan dengan transfer dana secara elektronik.
1. Statement of Account,
Teori ini menyatakan bahwa ada kewajiban bagi nasabah untuk memeriksa adanya ketimpangan dalam rekeningnya dan wajib memberitahukan kepada bank tentang ketimpangan tersebut dalam suatu waktu yang pantas. Jika tidak diberitahukan, maka statement of account dianggap benar.
2. Contributory Negligence,
Teori ini menyatakan bahwa laporan berkala tersebut sudah menggambarkan keadaan sebenarnya, kecuali jika pihak nasabah membuktikan sebaliknya.
Jadi, kewajiban pembuktian ada pada nasabah. Tanggung jawab bank dalam transfer dana, bank dibebaskan dari pertanggung jawaban hukum, bilamana terjadi kesalahan atau keterlambatan dalam hal transfer dana elektronik yang disebabkan oleh kesalahan hardware atau software dari komputer.
Kompetisi antarbank, kini semakin ketat, transaksi-transaksi perbankan beraneka ragam dan setiap bank mencari cara-cara baru untuk menawarkan jasanya, antara lain yaitu dengan disediakannya mesin ATM, jasa perbankan melalui telepon, hingga media internet. Beraneka ragamnya jasa yang ditawarkan oleh setiap bank saat ini, khususnya jasa bank melalui fasilitas sistem elektronik, pada kenyataannya sangat rentan akan kejahatan, kurang terjaminnya keamanan serta perlindungan hukum belum memadai terhadap transaksi yang dilakukan oleh pihak bank bagi nasabahnya,yang menyebabkan nasabahnya selalu berada dalam posisi yang lemah.
Banyak masalah yang dapat timbul akibat penggunaan fasilitas sistem elektronik banking, mengkaji upaya hukum yang dapat dilakukan oleh nasabah bank terhadap kerugian yang ditimbulkan dari penggunaan fasilitas sistem elektronik banking. Harusnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dapat memberikan perlindungan terhadap nasabah bank pada penggunaan fasilitas sistem elektronik banking. Pasal 4 UUPK tersebut mengatur tentang hak-hak konsumen dalam hal ini harusnya diterapkan terhadap nasabah bank.
Masalahnya dalam kompetisi antarbank itu, nasib nasabah justru terlupakan. Fitur atau fasilitas terus diobral, tetapi posisi nasabah tetap rapuh. Pelajaran terpenting dari kegaduhan akibat pembobolan 6 (enam) ATM yakni perlunya melindungi nasabah dari potensi rugi. Kerugian itu bisa saja terjadi karena sistem teknologi bank, kejahatan pihak ketiga maupun moral buruk oknum petugas bank. Bukankah nasabah jadi investor bank selama ini? Mengapa bank selalu berlindung dibalik kedok perjanjian yang selalu menguntungkannya? Apakah tidak lebih baik, jika paket kompetisi itu termasuk memperkuat perlindungan nasabah?
Di luar itu, memang masih ada secuil harapan apabila timbul kerugian akibat penggunaan fasilitas sistem elektronik banking. Nasabah bank dapat melakukan upaya hukum baik secara perdata maupun pidana. Pilihan hukum yang ada dapat berupa mengajukan gugatan secara perdata ke Pengadilan Negeri dalam daerah hukum sebagaimana ditentukan dalam perjanjian antara bank dengan nasabahnya atau dalam daerah hukum kedudukan bank sebagai tergugat sesuai dengan Pasal 118 HIR. Perbuatan hukum itu dilakukan atas dasar hukum Perbuatan Melawan Hukum menurut Pasal 1365 KUHPerdata atau wanprestasi. Begitupun, sekali lagi, sampai kini posisi nasabah bank masih rapuh. Entah sampai kapan?
========
Sumber: Analisa, 25 Januari 2010