post.png
REFORMASI_KEPOLISIAN.jpg

Reformasi Kepolisian

POST DATE | 19 Oktober 2022

Seperti banyak diberitakan, institusi kepolisian terus didera persoalan jajarannya yang tersandung persoalan hukum. Mulai perwira tinggi hingga perwira pertama yang terlibat pelanggaran etik dan tindak pidana. Sebut saja mantan Kepala Divisi Profesi Pengamanan (Kadiv Propam) Ferdy Sambo (kasusnya sedang bergulir di pengadilan) dan mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Pol Teddy Minahasa.

Mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa ditangkap buntut dirinya yang diduga terlibat dalam jaringan narkoba pada Jumat pagi, 14 Oktober 2022. Barang bukti yang disita adalah sabu seberat lima kilogram, yang kemudian dijual per kilogramnya dengan harga Rp400 juta.

Jika dirunut lagi ke belakang, kasus yang melibatkan petinggi polisi terjerat kasus penyalahgunaan narkoba pun tidak terjadi sekali atau dua kali saja. Setidaknya selain Irjen Teddy, masih ada empat jajaran petinggi Polri yang tersangkut salahgunakan narkoba (baca https://nasional.tempo.co/read/1645661/selain-irjen-teddy-minahasa-ini-4-petinggi-polri-tersangkut-salahgunakan-narkoba).

Tentu masih ada kasus lain yang sebenarnya sudah lama dicatat publik. Mulai dari penanganan kasus, pola rekrutmen, gaya hidup mewah, atau friksi di dalam, termasuk istilah “Mabes dalam Mabes”. Seolah-olah, tiap hari ada saja berita “oknum” bermasalah, termasuk kabar tiga oknum anggota kepolisian di Medan yang dilaporkan karena diduga mencuri sepeda motor (https://www.detik.com/sumut/hukum-dan-kriminal/d-6342732/terungkap-3-polisi-di-medan-sudah-berulang-kali-merampok-motor). Intinya belum kering ingatan publik berkenaan kasus mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo, gelombang masalah terus mendera institusi kepolisan.

Isni Andriana (2022) mengatakan sebenarnya telah terjadi kasus fenomenal atau “cause celebre” pada lembaga kepolisian. “Cause celebre” adalah sebuah masalah atau insiden yang berkembang menjadi kontroversi yang merebak, di luar perkiraan, dan memanaskan debat publik. Istilah ini biasanya digunakan dalam hubungannya dengan kasus hukum terselebrasi. Daftar kasus hukum yang sangat mengganggu lembaga kepolisian sebagai “cause celebre” adalah kasus Kaisar 303 dan Jenderal Narkoba.

Cause celebre yang paling fenomenal adalah “partner in crime” seperti Bonnie and Clyde (1934) dalam film The Highwaymen (2019). Film yang menceritakan pasangan perampok bank kelas kakap yang mengakibatkan 10 petugas hukum dan tiga penduduk sipil terbunuh (baca https://palembang.tribunnews.com/2022/08/22/cause-celebre-sebagai-hukum-sejarah-reformasi-lembaga-kepolisian).

Terus mengapa semua itu terjadi? Menurut Hendardi (2022) penyebab utama adalah Polri terjebak dengan tingginya persentase kepercayaan publik dan fluktuatif dari hasil survei kepuasan publik tanpa lebih dalam mendeteksi persoalan akut dan fundamental yang menuntut penyikapan holistik dan berkelanjutan.

Padahal rangkaian peristiwa ‘oknum’ sebagai pelaku terus merusak kepercayaan publik, bahkan semakin melemahkan kinerja Polri. Tak hanya daya rusak internal yang mengoyak soliditas anggota dan pimpinan Polri, tapi daya rusak bagi publik lantara keadilan yang terusik. Sejumlah peristiwa beruntun berujung diragukannya profesionalitas dan imparsialitasnya Polri oleh publik. Secara sistematis dan massif gugatan atas kinerja Polri dalam banyak hal terus bergulir (https://www.hukumonline.com/berita/a/kasus-sambo-dan-teddy-momentum-percepatan-reformasi-polri-lt634cf0e8d1275).

Reformasi Kepolisian

Apakah deratan kasus yang menyedot perhatian publik itu dapat menjadi momentum reformasi di lembaga kepolisian? Dalam situasi ini sesungguhnya tidak ada jalan lain bagi Polri, kecuali melakukan percepatan reformasi Polri dengan suatu desain komprehensif, berbasis bukti (evidence based), dan berkelanjutan.

Jika memang ada komitmen yang serius dalam reformasi Polri maka itu harus dilakukan di level negara. Karena, hampir setiap pergantian kepemimpinan di tubuh Polri, janji dan tekad reformasi itu selalu dilontarkan.

Tetapi hasilnya belum optimal. Lihat saja jalan berliku upaya reformasi institusi kepolisian ke belakang. Tak berapa lama setelah dilantik pada 2016, Kapolri Jenderal Tito Karnavian misalnya, punya tekad kuat untuk melakukan reformasi. Kemudian Polri studi banding ke Georgia.

Mengapa ke Georgia, sebab di sana polisinya dikenal sangat koruptif, tapi sekarang bagaikan turun dari langit. Institusi polisi jauh lebih baik. Georgia pernah menerapkan titik nol reformasi dengan memecat seluruh anggota polisi dan memulai kembali dari nol (https://rm.id/baca-berita/vox-populi/144507/curi-ilmu-dari-georgia).

Georgia adalah contoh sukses reformasi untuk mengatasi korupsi polisi. Georgia adalah negara pecahan Uni Soviet, letaknya di Eropa Timur berbatasan dengan Rusia di sebelah Utara serta Turki di sebelah Barat Daya. Ada satu kisah menarik mengenai reformasi di kepolisian yang dilakukan negara ini. Sebelum Revolusi Mawar tahun 2003, hubungan dekat dengan kejahatan terorganisir, dan perdagangan narkoba pada khususnya.

Petugas polisi memeras suap dari pengemudi setiap hari, memberikan sebagian dari keuntungan mereka kepada atasan mereka. Korupsi di dalam kepolisian dan organ-organ negara lainnya di Georgia sangat melembaga sehingga posisi resmi harus dibeli, dan menerima suap dipandang sebagai kebutuhan untuk membayar kembali investasi awal ini.

Tahun 2004, pemerintah Georgia menargetkan layanan polisi yang korup. Reformasi dilakukan dengan pemecatan massal polisi dan pejabat Kementerian Dalam Negeri. Melakukan restrukturisasi kelembagaan dan penyediaan layanan –menghilangkan beberapa lembaga dan mengalihkan mandat –termasuk perubahan yurisdiksi menghapus militer dari kepolisian dan membatasi polisi pada penegakan hukum. Kebijakan gaji, pelatihan, personel polisi juga dirombak dan diubah secara signifikan.

Reformasi tersebut mencakup pendidikan bagi petugas polisi, melatih mereka meningkatkan profesionalisme, kesadaran, kepatuhan terhadap hak asasi manusia dan supremasi hukum. Target area korupsi yang sangat terlihat dapat dengan cepat meningkatkan kepercayaan publik pada lembaga negara. Reformasi polisi di bidang lalu lintas memiliki efek positif langsung pada kehidupan rakyat (https://palembang.tribunnews.com/2022/08/22/cause-celebre-sebagai-hukum-sejarah-reformasi-lembaga-kepolisian).

Beberapa riset mengenai keberhasilan reformasi di tubuh kepolisian Georgia menggarisbawahi pentingnya keterlibatan negara. Meminjam Suratman (2022) reformasi bukan sekadar di internal kepolisian saja. Sebab itu ilmu reformasi kepolisian ala Georgia ini perlu “dicuri.”

Dalam salah satu laporannya, The Journal of Power Institutions in Post-Sovyet Societies menyebutkan, reformasi kepolisian relatif berhasil di Georgia, khususnya setelah Revolusi Mawar 2003.

Pemerintahan yang baru terpilih menggunakan dominasinya atas negara untuk memecat sejumlah besar perwira dan membersihkan kepemimpinan lama. Selain itu, juga dilakukan tindakan keras dan tegas terhadap korupsi di kepolisian yang berhubungan dengan kejahatan terorganisir/kerah putih (white collar crime).

Keinginan-dorongan publik adanya reformasi di institusi Polri adalah wujud kecintaannya terhadap lembaga kepolisian dan keinginan terbaik mewujudkan polisi yang dicintai rakyat. Bagi publik kasus Jenderal 303 dan Jenderal Narkoba bukanlah persoalan pribadi semata, melainkan ada persoalan lembaga yang selama ini menjadi ‘puncak gunung es’ dan mulai ‘meleleh’ untuk menghancurkan lembaga Polri.

Isni Andriana (2022) mengatakan ada beberapa poin penting aspirasi publik untuk reformasi lembaga kepolisian. Pertama, dalam mewujudkan polisi yang bersih dan profesionalisme, ini sangat erat kaitan dengan perilaku individu dan lembaga. Polisi sebagai pribadi dan lembaga adalah “pelayan” publik, sehingga harus terus dapat menghasilkan produk jasa pelayanan yang mumpuni. Kedua, perlu wujud nyata dari Clean Governance lembaga kepolisian baik dari sisi tata kelola keuangan maupun lembaga yang bersih dan bertanggung jawab.

Caranya adalah dengan merestrukturisasi sistem hukum kepolisian secara organisasi dan sistem pengawasan. Sejalan dengan itu juga menegakkan akuntabilitas, keadilan, transparansi dan pertanggungjawaban sehingga dapat menjadikan polisi dan lembaga kepolisian yang berjiwa kemanusian yang adil dan beradab.

============

Sumber: Analisa, Senin, 24 Oktober 2022, hlm. 12



Tag: , , , , ,

Post Terkait

Komentar