post.png
halal_medan.jpg

Sertifikat Halal ala Medan

POST DATE | 04 April 2017

Banyak ditemukan para pedagang rumah makan atau restoran dengan mantap dan percaya diri menuliskan ‘100% halal’. Banyak rumah makan atau restoran di seputaran Kota Medan dan Sumatera Utara, yang mungkin karena pemiliknya adalah seorang Muslim dan dia beranggapan bahwa dari lauk-pauk yang disediakan tidak menggunakan daging haram maka dengan yakin dia mengklaim bahwa makanan yang dikelolanya sudah 100% halal.

Cara lain untuk menunjukkan bahwa produknya halal adalah dengan memasang kalender bergambar masjid, memajang tulisan Allah dan Muhammad dalam tulisan Arab. Selain itu, ada juga yang menggunakan simbol Rumah Makan Minang, Rumah Makan Melayu,  atau Rumah Makan Mandailing sebagai jaminan merek, tempat tersebut menyediakan makanan halal.

Simbol kalender bergambar masjid, tulisan Allah dan Muhammad, atau penyebutan Rumah Makan Minang atau Mandiling seolah jadi garansi produk makanannya memang halal. Sederhananya, itu model sertifikat halal ala Medan.

Ya, begitulah. Ada saja akal-akalan pedagang untuk meyakinkan konsumen membeli produknya. Kata 100% halal atau simbol lain telah menjadi komoditas komersial yang dipajang guna meluluhkan fanatisme pemeluk Muslim khususnya.

Menuliskan tulisan 100% halal sebenarnya cukup menggelitik kegenitan konsumen cerdas. Faktanya, saat ini sudah banyak sekali beredar bahan-bahan tambahan yang dapat membuat 100% halalnya, menjadi turun hingga cuma misalnya 98%.

Boleh jadi ada bahan tambahannya, terdapat unsur haramnya sebesar 2%. Oleh itu, jika di luar tertulis hanya tinggal 98% halal bagaimana ketentuannya? Apalagi jika rumah makan yang dimiliki oleh non-Muslim dan hampir semua pekerjanya tidak ada yang Muslim, tetapi dengan beraninya menyatakan dijamin 100% halal.

Mengklaim produk halal adalah sebuah kesatuan proses dari hulu sampai hilir. Bukan sekadar tidak mengandung babi atau bahan-bahan lain yang diharamkan oleh agama Islam.

Kondisi yang begini kurang disadari oleh banyak pihak, bahkan oleh sebagian konsumen Muslim. Misalnya sajian menu ayam. Sebuah restoran yang hanya menjual ayam goreng saja tidak otomatis dapat mengklaim produknya halal.

Masalahnya, untuk mendapatkan status halal dari faktor ayam–nya saja ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Misalnya, apakah ayam tersebut disembelih dengan cara yang Islami? Ayam tersebut haruslah disembelih oleh seorang Muslim, menyebut nama Allah SWT ketika menyembelih.

Disembelih dengan pisau yang tajam dan tepat di urat lehernya. Belum lagi kalau dilanjutnya dengan proses selanjutnya. Misal, apakah digoreng dengan menggunakan minyak babi? Bahkan sampai wadah untuk memasak dan menyajikan.

Siapa yang menyajikan? Lalu, kalau misalnya wadah memasak dan menyajikannya menggunakan alat yang pernah digunakan untuk memasak makanan yang haram (babi), maka walau pun menu ayam tadi halal, (karena tidak disamak) otomatis akan menjadi haram!

Inilah sebenarnya urgensi keberadaan sertifikasi halal. Diperlukan untuk memastikan bahwa makanan yang ada halal bukan hanya dari bahan makanannya, tetapi dari keseluruhan proses dari hulu sampai hilir (komprehensif).

Atiqah Hamid (2012) mengemukakan syarat mengolah produk harus dicermati sumber asal bahan, tidak boleh ada yang bersumber dari bahan yang tidak halal. Selain itu, tidak tercemari oleh bahan yang tidak halal. Supaya produk halal tercapai harus diperhatikan misalnya; dapur tempat mengolah makanan, bahan mentah, bumbu, dan bahan tambahan lainnya.

Selain itu, perlu diperhatikan pula bahan baku sebelum diolah. Bahan jadi setelah diolah. Alat-alat dan tempat makanan yang digunakan. Tempat mencuci alat-alat dan wadah makanan. Ketentuan yang sama berlaku  pula bagi perusahaan atau layanan restoran/rumah makan yang mengolah produk halal dan yang tidak halal, tempatnya harus terpisah.

Produk halal berarti halal secara zatnya, halal cara memprosesnya, halal cara penyembelihannya, minuman yang tidak diharamkan, halal cara memperolehnya. Jadi, dalam Islam hanya ada pengertian: halal, tidak halal (haram), diragukan kehalalannya (syubhat) dan tidak ada pengertian dijamin/ditanggung halal 100% atau halal 90%, dan seterusnya.

Setiap Muslim diwajibkan untuk memastikan kehalalan apapun yang akan dikonsumsinya. Mengonsumsi produk yang halal adalah bagian dari keimanan (QS. Al-Baqarah, 2: 172). Sebab persoalan makanan bukan sebatas mengonsumsi yang halal lagi baik, tetapi berdampak pada sah tidaknya ibadah akibat makanan yang dikonsumsi.

Sertifikat dan label halal, sesungguhnya untuk membantu umat Islam yang membutuhkan petunjuk/informasi kehalalan dari makanan yang hendak dia makan. Dimaksudkan dengan sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI (UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan produk Halal).

Sertifikat halal merupakan syarat untuk mendapatkan izin mencantumkan label halal pada kemasan produk yang dikeluarkan pemerintah (Aisjah Girindra, 2005: 123).

Label halal ialah informasi tertulis yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari setiap kemasan produk yang dicantumkan dalam label kemasan sebagai jaminan bahawa produk dalam kemasan tersebut tidak mengandung unsur haram untuk dimakan atau digunakan oleh umat Islam sejalan dengan persyaratan halal (Departemen Agama, 2003:134 jo Kepmenkes No. 82/Menkes/SK/ I/1996).

Oleh itu, selain sertifikat halal, perlu pula memperhatikan label halal. Sebaiknya jika konsumen ingin memperoleh produk halal yang dibeli adalah produk yang sudah tertera sertifikat/logo halal LP. POM yang berbentuk bulatan dengan 3 lapisan bulatan, pada lapisan pertama/lingkaran ada tulisan Majelis Ulama Indonesia. Pada lapisan atau lingkaran kedua ada tulisan kaligrafi arab dan lingkaran ketiga atau bulatan yang ada di tengah ada tulisan halal dalam huruf arab.

Pada dua lingkaran terakhir berwarna hijau sedangkan lingkaran yang tertera tulisan Majelis Ulama Indonesia dasarnya berwarna putih. Begitu juga dengan sertifikat halal negara tetangga baik Malaysia, Singapura dan Thailand ada masing-masing sertifikat/label halal dari masing masing negara tersebut.

Keberadaan sertifikat dan label halal tersebut adalah untuk konsumen Muslim yang membutuhkan kepastian mendapatkan level terbaik untuk keyakinannya.

Konsumen Muslim perlu merenungkan hadis Rasulullah SAW: “Wahai Sa’ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal-amalnya selama 40 hari. Kemudian, jika seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak baginya” (HR. At-Thabrani).

Jadi, sekali lagi, entah di pinggir jalan, di restoran, di rumah makan ataupun di swalayan, tak boleh mudah percaya pada kata-kata atau tulisan sertifikat atau label halal.

Mau berapa pun persentasenya, kalau konsumen belum tahu dari pengambil otoritas terkait, sebaiknya produk itu dihindari. Tidak mudah percaya lebih baik daripada percaya, tetapi ternyata dikelabui akal sesat penjual nakal.

 

=============================

Waspada. Rabu, 11 Pebruari 2015



Tag: Halal, Medan

Post Terkait

Komentar