POST DATE | 27 Agustus 2024
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 Tentang Pengujian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 cukup membuat heboh jagat politik di Indonesia. Sebab secara substansi putusan dimaksud tidak hanya menguntungkan bagi partai politik peserta Pemilu 2024 nonparlemen, tetapi juga partai politik peraih kursi di DPRD, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.
MK lewat putusan Perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 memutuskan untuk mengubah persyaratan ambang batas (threshold) pengusungan pasangan calon oleh partai politik. Jika semula memerlukan perolehan minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara sah, menjadi lebih rendah. Yakni 6,5% hingga 10% sesuai jumlah penduduk dalam daftar pemilih tetap. Di sisi lain, MK juga menolak permohonan pengujian ketentuan batas usia minimal calon kepala daerah sebagaimana tercantum dalam Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Implikasi dari putusan tersebut dalam pandangan Mohammad Syaiful Aris (2024), pakar hukum Universitas Airlangga (UNAIR) memiliki dampak signifikan terhadap mekanisme pencalonan kepala daerah. Dengan adanya penurunan ambang batas pencalonan, partai politik kecil yang memperoleh suara minimal 6,5% hingga 10% sesuai jumlah penduduk dalam daftar pemilih tetap kini memiliki kesempatan lebih besar untuk mencalonkan pasangan calon kepala daerah.
Perubahan itu mampu mengurangi dominasi partai-partai besar, bahkan dapat meminimalkan potensi munculnya calon tunggal di suatu daerah, yang sebelumnya menjadi kekhawatiran karena persyaratan ambang batas yang tinggi. Selain itu, putusan-putusan MK tersebut dapat memengaruhi kepercayaan publik terhadap sistem peradilan konstitusi dan sistem politik di Indonesia.
Bagi Aris, kepercayaan ini sangat penting untuk keberlangsungan demokrasi yang sehat (vide Pakar Hukum UNAIR Soroti Dampak Putusan MK terhadap Pelaksanaan Pilkada https://unair.ac.id/pakar-hukum-unair-soroti-dampak-putusan-mk-terhadap-pelaksanaan-pilkada/) .
Bagaimana sikap DPR atas kedua putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024? Bagi kalangan DPR putusan MK itu seperti goncangan tsunami politik di Gedung parlemen (baca Senayan). Betapa tidak, DPR meresponsnya secepat kilat! Hanya berselang sehari pasca-putusan MK itu, yakni pada Rabu, 21 Agustus 2024. Badan Legislasi atau Baleg DPR menggelar rapat untuk membahas RUU Pilkada.
Masalahnya, ada hal yang cukup mengejutkan, wakil rakyat yang terhormat ini tidak mengadopsi atau menihilkan dua putusan MK tersebut, malah mengubah sebagian substansi pada Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024. Draf RUU Pilkada tetap mempertahankan persyaratan bagi partai politik atau gabungan partai politik peraih kursi DPRD. Padahal, MK telah menganulir ketentuan tersebut melalui Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 (vide Putusan MK 60 untungkan partai politik pada Pilkada 2024, https://www.antaranews.com/berita/4281071/putusan-mk-60-untungkan-partai-politik-pada-pilkada-2024).
Immawan Wahyudi (2024) menggambarkan sikap kalangan DPR itu sebagai berita horor. Karena secercah cahaya demokrasi sebagai kegembiraan demokrasi ini tiba-tiba musnah begitu saja dengan berita-berita tentang sikap Pemerintah dan DPR RI. Inilah horror politik itu.
Horor ini menjadi-jadi jika ditengok latar belakang politik hukum yang tersembunyi yakni pada satu sisi memuluskan seseorang diberi fasilitas hukum untuk mendaftar sebagai calon kepala daerah, namun pada sisi lain merampas hak demokrasi dengan mengatasnamakan threshold yang sangat tinggi yakni syarat 20% perolehan dukungan terhadap partai yang akan mengusung calon kepala daerah.
Syarat ini memang terlalu berat. Itulah sebabnya putusan MK Nomor 60 dan Putusan MK Nomor 70 layaknya lonceng pembebasan dari jerat hukum yang maha berat (Prahara Politik Putusan MK: Antara Horor dan Humor, https://www.suaramuhammadiyah.id/read/prahara-politik-putusan-mk-antara-horor-dan-humor).
Untungnya skenario jahat DPR dan pemerintah itu dapat dipatahkan melalui bersatunya berbagai demonstrasi kampus. Para Guru Besar juga berbaur dengan mahasiswa bahkan para seniman Komika pun sangat antusias untuk berorasi. Demonstrasi ini juga diwarnai dengan simbol Garuda Biru dan pesan kedaruratan yang menarik media asing untuk menyoroti dan menguak apa latar belakang demonstrasi yang tidak biasa ini.
Final dan Mengikat
Terlepas dari dampak putusan MK Nomor 60 dan Nomor 70 bagi dinamika politik dan demokrasi, sepatutnya bagaimana memaknai putusan final dan mengikat atau juga sering disebut final and binding? Sesuai bunyi Pasal 24C UUD 1945, Putusan MK bersifat final dan mengikat. Final artinya tidak ada upaya hukum lain yang dapat dan perlu dilakukan untuk melaksanakan putusan MK. Mengikat artinya putusan MK harus ditaati dan dilaksanaan oleh para pihak yang terkait dalam putusan MK tersebut. Sifat mengikat bermakna putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Pemaknaan lebih lanjut tentang sifat final dan mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi diatur dan dijelaskan pada bagian penjelasan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah kembali pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi: Putusan MK bersifat final, yakni Putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam Putusan MK dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
Malik (2009) menerangkan frase final dan frase mengikat saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya akhir dari suatu proses pemeriksaan, telah memiliki kekuatan mengeratkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Karena itu, tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).
Putusan MK yang final dan mengikat tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omnes yang diartikan dengan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap objek sengketa. Makna tegasnya adalah terhadap putusan MK telah tertutup segala bentuk upaya hukum dan harus dipatuhi oleh siapapun, termasuk oleh Mahkamah Agung
Johansyah (2021) mengidentifikasi makna hukum yang terkandung dalam putusan MK yang bersifat final dan mengikat (binding) ini ke dalam beberapa pantulan berikut: mewujudkan kepastian hukum, MK sebagai pengadilan konstitusional, pengendalian sosial, penjaga dan penafsir tunggal konstitusi.
Adapun akibat hukum atas putusan MK yang bersifat final dan mengikat (binding) yang bermakna positif sebagai berikut: mengakhiri suatu sengketa hukum, menjaga prinsip checks and balances, dan mendorong terjadinya proses politik. Sebaliknya akibat hukum yang ditimbulkan oleh sifat final dan mengikat (binding) putusan MK dalam makna negatif sebagai berikut: menutup akses upaya hukum dan menimbulkan kekosongan hukum.
Lebih tegasnya kata Mohammad Agus Maulidi (2017) secara normatif-yuridis, putusan MK bersifat final dan mengikat sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Artinya, sejak memiliki kekuatan hukum tetap, tidak ada upaya hukum lanjutan berupa banding dan kasasi, termasuk juga upaya untuk mengoreksi, putusannya merupakan tingkat pertama sekaligus terakhir. Konsekuensinya, putusan MK tidak boleh dianulir atau bahkan diabaikan.
Muchamad Ali Safa’at (2014) menegaskan berbeda dengan putusan pengadilan biasa yang hanya mengikat para pihak, Putusan MK dalam perkara pengujian UU mengikat semua komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun warga negara. Dalam perkara pengujian UU, yang diuji adalah norma UU yang bersifat abstrak dan mengikat umum.
Karena itu lanjutnya, walaupun dasar permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional pemohon yang dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi. Kedudukan pembentuk UU, DPR dan Presiden, bukan sebagai tergugat atau termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan.
Pembentuk UU hanya sebagai pihak terkait yang memberikan keterangan tentang latar belakang dan maksud dari ketentuan UU yang dimohonkan. Hal itu dimaksudkan agar ketentuan yang diuji tidak ditafsirkan menurut pandangan pemohon atau MK saja, tetapi juga menurut pembentuk UU, sehingga diperoleh keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan konstitusi? Putusan MK mengikat umum bermakna pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan UU yang telah diputus MK harus melaksanakan putusan itu.
Begitupun, mengingat norma dalam UU adalah satu kesatuan sistem ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu. Putusan yang langsung dapat dilaksanakan adalah putusan membatalkan norma tertentu yang tidak menganggu sistem norma yang ada dan tidak memerlukan pengaturan lebih lanjut.
============
Sumber: Waspada, Rabu, 28 Agustus 2024, hlm. B3