post.png
air-besih-pdam-MACET.jpg

Tarif Air Dikerek Pelayanan Tes...Tes...Tes

POST DATE | 24 Juli 2017

Di tengah suasana pro dan kontra, akhirnya Direksi PDAM melalui Pengumuman Nomor: 01/Peng/2006 tentang Penyesuaian Tarif Air Minum dan Retribusi Air Limbah PDAM Tirtanadi Propinsi Sumatera Utara atas dasar adanya Surat Keputusan Direksi PDAM Tirtanadi Nomor: 16/KPTS/2006 tanggal 27 Januari 2006 Penyesuaian Tarif Air Minum dan Retribusi Air Limbah di Kota Medan dan Sekitarnya, secara resmi menaikkan tarif air sebesar rata-rata 30 persen dengan segenap variasinya.

Terlepas dulu dari legalitas cantelah kenaikan tarif air itu, ternyata dalam sejarah operasi BUMD ini, keputusan kenaikan tarif air senantiasa memunculkan pro dan kontra. Hal ini sebenarnya tidak akan terjadi apabila sejak awal pengoperasian perusahaan ada formula yang jelas dapat dijadikan acuan antara regulator (pemerintah daerah), operator dan konsumen.

Dari perspektif konsumen air dalam perhitungan tarif akhir yang dilakukan dipengaruhi oleh dua variabel. Asumsinya, semakin efisien (produktif) perusahaan pemasok air, semakin besar-besaran  kenaikan tarif yang akan diperoleh. Sebaliknya dengan makin tidak produktifnya perusahaan pemasok air maka semakin kecil besaran kenaikan tarif yang seharusnya terjadi.

Karena itu memasukkan variabel produktivitas dalam perhitungan tarif air penting (signifikan) sekali.

Pertama, agar tidak menjadikan pemasok air manja sekaligus mendorong perusahaan dalam pengoperasian BUMD ini se-efisien mungkin.

Kedua, kenaikan tarif air yang hanya didasarkan pada besaran angka inflasi dan tidak dimasukkannya indeks efisiensi dalam formula perhitungan tarif air potensial menjadikan konsumen sebagai korban, dalam bentuk in-efisiensi perusahaan  pemasok air dibebankan kepada konsumen melalui instrumen tarif.

Karena itu, agar persoalan kenaikan tarif air tidak selalu menjadi perdebatan di masa yang akan datang, sudah seharusnya pemerintah fokus untuk membakukan formula perhitungan tarif yang lebih berkeadilan. Dalam formula tersebut harus mengakomodir tidak saja kepentingn perusahaan ’plat merah’ itu, tetapi secara berimbang kepentingan konsumen air juga harus diakomodir.

Lebih konkrit lagi, seharusnya perusahan pemasok air tidak layak menaikkan tarif apabila konsumen sama sekali tidak mendapat keuntungan memadai ketika menggunakan jasa pemasok air itu. Setidaknya ditandai dengan menurunnya konsumsi air minum isi ulang atau air minum dalam kemasan di setiap rumah tangga pelangan BUMD pemasok air. Kemudian, apakah pertumbuhan pelanggan tidak dijadikan pertimbangan dalam penentuan tarif air, karena ini juga terkait pertumbuhan lalu lintas transaksi di masing-masing golongan.

Pertumbuhan volume lalu lintas transaksi bagi perusahaan identik dengan pertumbuhan pendapatan. Dengan demikian, tanpa kenaikan tarif pun, asal ada pertumbuhan volume transaksi perusahaaan sudah mendapat pendapatan tambahan. Bahkan pada kawasan-kawasan tertentu, pertumbuhan volume lalu lintas transaksi jauh di atas pertumbuhan angka inflasi.

Sebab itu, persoalan kenaikan tarif air minum seharusnya jangan dijadikan acuan utama, namun pelayananlah yang harus dinomor satukan, barulah ke persoalan kenaikan tarif. Apakah ada standar pelayanan minimal, dengan standar itu semata-mata ditujukan bagi peningkatan pelayanan kepada masyarakat sebagai konsumen air, bukan membuat prasyarat kenaikan tarif semata. Kata orang bijak, kenaikan tarif yang terlalu dipaksakan tidak salah untuk dianalogi sebagai seorang pekerja, yang belum bekerja dan belum memperlihatkan hasil pekerjaannya, tetapi sudah menuntut upah kepada majikannya.

Pelayanan Tes..tes..tes..

Meski tarif air sudah pernah dinaikkan per Januari 2003 tetapi siginifikansi pelayanan yang diterima konsumen belum terlalu terasa meningkat. Lalu, belakangan direksi perusahaan pemasok air itu memutuskan lagi untuk menaikkan tarifnya tentu dengan segudang alasan.

Dipandang dari sisi UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen belum menerima kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung. Kontribusi yang seharusnya diterima konsumen secara langsung misalnya, soal kualitas air yang diterima konsumen dilihat dari aspek mutu air pelayanan PDAM masih berada di bawah standar laik konsumsi, sebab secara fisik/kasat mata air bercampur dengan lumpur/pasir, warna air keruh, air bercampur dengan binatang kecil (cacing), hingga ada konsumen mengeluhkan terpaksa membeli air dalam kemasan/air minum isi ulang sekedar untuk dikonsumsi.

Sebaliknya dari sisi kontinuitas banyak konsumen PDAM tidak dapat menikmati aliran air, karena distribusi air tersendat-sendat alias aliran air sekedar berbunyi tes…tes...tes. Setelah itu aliran air berhenti total. Bahkan keluhan pelanggan di beberapa kawasan, pelanggan terpaksa bangun malam menunggu air mengalir sekedar mengisi bak mandi.

Kalaupun kemudian harus menggunakan alat tambahan (pompa air) untuk membantu mengalirkan air, itupun air yang dihasilkan berwarna keruh. lalu, apakah ada kompensasi dari perusahaan air minum bagi konsumen yang terpaksa mengeluarkan biaya tambahan atas pemakaian energi listrik guna menggerakkan pompa air? Kalau begitu, sesungguhnya yang dibayar konsumen air kepada perusahaan imbalannya apa? Dengan kata lain, apa kontraprestasi yang didapatkan konsumen, setelah menunaikan segenap prestasinya?

Sedangkan kontribusi tidak langsung seharusnya diterima konsumen misalnya, soal pemeliharaan. Kedua kontribusi yang merupakan hak konsumen tersebut nyatanya masih terabaikan. Pantas kemudian disebut kenaikan tarif  hanya menguntungkan operator air minum. Operator mengabaikan aspek pelayanan sekaligus tidak memperhatikan faktor daya beli dan kemampuan masyarakat.

Konsumen membeli air dengan harga mahal, namun konsumen sama sekali belum mendapatkan pelayanan yang baik dari perusahaan air minum. Standar air sehat (tidak berbau dan tidak berwarna) dan akses untuk mendapatkan air pun sulit, karena air kadang mati dan kadang hidup. Seharusnya pemerintah mengamanatkan kepada perusahaan untuk lebih dahulu memenuhi standar yang lebih memadai dan tidak terjebak pada menaikkan tarif semata.

Keadaan itu jelas melanggar PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Peraturan yang ada mewajibkan kepada setiap operator untuk transparan menjalankan usahanya dalam mengelola air minum. Misalnya mengenai tarif air minum dan pengelola air minum harus disampaikan ke publik secara transparan. Perusahaan air minum juga berkewajiban menyediakan air minum yang layak dan memenuhi standar kesehatan.

Bahkan di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907 Tahun 2002 pun konsumen dijamin haknya untuk mendapatkan air minum sesuai standar kualitas  air minum di Indonesia selama 24 jam. Nah, lho...kalau pelayanan air masih saja tes..tes..tes, bagaimana dengan pemenuhan hak-hak konsumen dapat diadopsi dalam setiap kenaikan tarif? Realisasi jargon ’tiga tas’ ala direksi perusahaan airminum itu (guna menyebut kualitas, kuantitas dan kontuinitas) terpaksa cuma dibaca tiga tetes, yakni tes..tes..tes. Setelah itu terserah anda..!!??

========

Sumber: Sumut Pos, 08 Mei 2006



Tag: , ,

Post Terkait

Komentar