POST DATE | 15 Juli 2017
Per 19 Mei 2014, bagi penumpang yang akan menggunakan jasa moda transportasi udara melalui Kuala Namu International Airport (KNIA), bersiaplah merogoh kantong lebih dalam. Pasalnya, para penumpang dikenakan biaya tambahan di luar tiket pada saat penumpang berada di airport dan melewati loket check-in. Biaya tambahan tersebut dinamakan Passenger Service Charge (PSC). Kalau diterjemahkan lebih kurang bermakna Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U). Ada juga yang menyebutnya dengan istilah Airport Tax.
PSC adalah biaya yang dibebankan oleh pengelola bandar udara kepada penumpang pesawat yang menggunakan bandar udara yang bersangkutan. Beban biaya itu muncul karena penumpang ikut memanfaatkan jasa-jasa pelayanan dan penggunaan fasilitas bandar udara tersebut. PSC dikelola langsung oleh otoritas bandar udara, dalam hal ini PT Angkasa Pura I, yang mencakup bandar udara di wilayah tengah dan timur Indonesia. PT Angkasa Pura II, yang mencakup bandar udara daerah/wilayah barat di Indonesia.
Kalau merujuk Pasal 245 UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, besaran tarif jasa bandar udara ditetapkan oleh penyedia jasa. Jadi, besarnya nominal PSC di setiap bandar udara berbeda-beda. Tentunya pengenaan PSC ada manfaatnya. Beberapa kegunaan dari pembayaran PSC adalah untuk biaya perawatan, peningkatan fasilitas umum, dan biaya penambahan kualitas sumber daya manusia pengelola bandar udara.
Secara normatif PSC bukan termasuk golongan pajak. Alasannya adalah terdapat kontraprestasi langsung kepada pengguna jasa dari PSC, sementara pajak tidak ada. PSC lebih sesuai dimasukkan dalam kategori retribusi karena adanya kontraprestasi langsung kepada penumpang berupa fasilitas-fasilitas dan jasa pelayanan yang disediakan oleh bandar udara. Bahkan, penumpang tidak bisa ‘terbang’ apabila belum membayar PSC. Hebatkan?
Selama ini terminologi “Airport tax” (pajak bandar udara) lebih dikenal oleh masyarakat daripada istilah PSC. Penggunaan kata airport tax itu dimuat dalam Pasal 34 ayat 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap jo. Pasal 19 ayat 3c Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-21/PB/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Dinas Jabatan Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap. Masalahnya adalah penggunaan kata ‘tax’ (pajak) lebih menimbulkan kesan waspada kepada masyarakat dan mudah diingat daripada istilah ‘retribution’ atau ‘service charge’ (http://padangpintar.blogspot.hk).
Setelah Naik, Lalu…?
Dari sisi ekonomi, kebanggaan warga Sumatera Utara terhadap Bandara Kualanamu (KNIA) agak tergerus dengan biaya yang cukup melesat. Betapa tidak, untuk warga Kota Medan untuk biaya transportasi menuju ke dan dari bandar udara Kualanamu yang terletak di pinggiran kota juga sudah cukup mahal. Kalau ke dan dari bandar udara menggunakan jasa kereta api perlu merogoh kantong sebesar Rp80.000. (jika diskon Rp60.000). Akses jalan ke dan dari bandar udara sangat terbatas. Cuma ada kereta api dan jalur angkutan darat. Itupun penuh liku. Artinya, dari sisi akses ke dan dari bandar udara, KNIA masih banyak yang mesti dibenahi para pemangku kepentingan.
Kini pengelola bandara KNIA telah menaikkan tarif PSC atau biasa disebut airport tax. Sebelumnya tarif domestik dipatok Rp35.000. Secara bertahap nantinya PSC Kualanamu akan dibandrol ke angka Rp60.000, tetapi bakal bermuara pada Rp75.000. Seterusnya, internasional dari Rp75.000 melompak menjadi Rp200.000. Kenaikan PSC internasional melesat cukup tinggi. Alasan kenaikan PSC/airport tax yakni untuk menutupi investasi yang dikeluarkan dalam mengembangkan fasilitas bandara. Alasan lainnya adalah biaya service dan security yang dilakukan terus meningkat. Kenaikan yang terjadi pun cukup signifikan baik untuk penerbangan domestik maupun internasional.
Memang benar ruang chek-in, ruang tunggu, kebersihan jauh lebih bagus pelayanannya, jika dibandingkan dengan Polonia, tetapi itu pendekatan fisik belaka. Berkenaan dengan pelayanan antara pengelolaan Polonia dengan KNIA tidaklah terjadi revolusi pelayanan. Dari sisi sumberdaya tidaklah terjadi lompatan besar pelayanan dari Bandar udara Polonia.
Jangan tanya soal keamanan dan kenyamanan bandara. Calo dan taksi gelap justru dapat melenggang bebas. Demikian pula dengan keamanan bagi pengguna jasa parkir. Masih banyak keluhan pengguna jasa yang melaporkan kendaraan dan asesoris hilang. Barang di dalam kendaraan roda 4 (empat) masih sering kehilangan.
Harga makanan/minuman dengan bayaran selangit plus suasana bandara yang mirip pasar masih cukup memberi warna buruk. Tempat duduk diruang tunggu minus. Troli rebutan, dan seterusnya. Intinya soal pelayanan non-fisik masih banyak yang mesti dibenahi. Pada konteks pertimbangan itu tarif PSC sebesar Rp35.000 (domestik), dan Rp75.000 (internasional) masih laik dipertahankan.
Terpenting adalah apakah usaha menutupi modal investasi peningkatan service, dan security itu cuma dengan menaikkan PSC? Bagaimana dengan sektor lain, seperti penyewaan stand/toko, jasa parkir, dan papan reklame. Apakah penaikan PSC sebesar itu dapat diimbangi/setara dengan peningkatan pelayanan yang akan diberikan. Bandar udara tidak cukup sekadar aman, tapi juga nyaman.
Struktur Tarif Pesawat
Kalau memang menaikkan tarif PSC terpaksa dilakukan, mestinya masalah non-fisik seperti di atas terlebih dahulu dapat dituntaskan. Dalam hal kehilangan kendaraan atau barang diparkiran mesti pengelola bertanggungjawab. Jangan terus berkelit dan berdalih itu di luar tanggung jawab pengelola. Intinya kemananan dan kenyamanan mesti ditingkatkan.
Bandar udara harus bersih dari calo tiket, taksi gelap yang sudah menjadi pemandangan biasa di hampir setiap sudut bandar udara KNIA. Bahkan keberadaannya bukan lagi menjadi rahasia umum. Keamanan dan keselamatan barang di bagasi harus terjamin dengan garansi tidak ada kehilangan atau kerusakan akibat minimnya pengawasan?
Selain masalah taksi gelap dan calo tiket masalah kebersihan maupun keamanan kendaraan para pengunjung yang akan mengantarkan keluarganya, pedagang asongan. Semua masalah tersebut hingga kini belum ada pemecahannya, meskipun bandara KNIA sudah diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhonono. Misalnya saja untuk masalah pedagang asongan masih terlihat bebas berjualan di parkiran maupun di toilet di sekitar parkiran.
Hal ini tentu saja harus diperhatikan PT AP II sebagai pengelola bandara KNIA yang merupakan bandara nomor 2 terbesar di Indonesia (Kabar Indonesia, 15 Mei 2014).
Seterusnya, mengapa pembayaran PSC/airport tax tidak dimasukkan saja ke dalam struktur harga pembelian tiket.
Saat ini tinggal Indonesia memang satu-satunya negara yang belum memasukan PSC dalam perhitungan struktur tiket pesawat.
Faktanya penggabungan itu akan menguntungkan maskapai penerbangan karena memangkas waktu pelayanan darat dan pada akhirnya meningkatkan rasio ketepatan waktu (on time performance). Dengan masuknya PSC dalam perhitungan tiket membuat penumpang lebih nyaman. Waktu penumpang bisa lebih banyak di bandara. Bukan antri check-in.
Menyangkut biaya PSC digabung dengan tiket pesawat telah ada pada akhir tahun 2012. Direncanakan seluruh maskapai penerbangan besar di Indonesia akan menggabungkan PSC dengan tiket pesawat. Hal ini tidak sama dengan menaikkan harga tiket pesawat. Yang terjadi adalah harga tiket pesawat normal ditambah dengan PSC.
Pembayaran yang sebelumnya dilakukan terpisah akan disatukan. Tujuan digabungkannya pembayaran PSC dan tiket pesawat adalah untuk menyederhanakan pembayaran dan mengurangi panjangnya antrean yang terjadi pada saat pembayaran PSC.
Selain itu, biaya operasional seperti biaya pegawai dan biaya pembuatan kuitansi PSC dapat diminimalisasi.
Penumpang juga dapat memaksimalkan waktunya untuk beraktivitas sambil menunggu pesawat datang. ***
========
Sumber: http://harian.analisadaily.com