POST DATE | 04 April 2017
Makan adalah aktivitas rutin setiap manusia. Kebutuhan terhadap produk makanan (termasuk di dalamnya minuman, dan obat-obatan), merupakan sesuatu yang diperlukan di manapun, kapan pun dan oleh siapa pun (manusia) yang hidup.
Oleh itu, Allah swt memberi panduan yang jelas kepada umat-Nya tentang apa, bagaimana dan untuk apa mereka (umat manusia) makan.
Kepedulian Allah yang sebegitu rupa menunjukkan bahwa Allah swt berkeinginan agar manusia tidak salah jalan ketika memilih (apa) makanan yang diinginkan oleh mereka, termasuk cara dan tujuan memproduksi, mengonsumsi dan mendistribusikannya.
Allah swt memberi panduan dalam pola konsumsi manusia: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan baik dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syetan, karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh kalian yang nyata” (al-Baqarah, 2: 168).
“Diharamkan atas kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disemebilih atas nama selain Allah; yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang kalian sempat menyembelihnya; dan (diharamkan atas kalian) binatang yang disembelih untuk berhala” (al-Maidah 5: 3).
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah swt ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik (al-An’âm, 6: 121).
Dari sisi linguistik, kata halal berasal dari bahasa Arab yang artinya sesuatu yang diperbolehkan (Zalina Zakaria. 2008). Secara terminologi menurut al-Jurjani dalam Ensiklopedi Hukum Islam (2001) halal memiliki makna kebolehan menggunakan dan memanfaatkan benda-benda serta hal apapun yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan fisik seperti makanan, minuman serta obat-obatan berdasar kepada ketentuan nash.
Halal dimaknai juga sebagai setiap sesuatu yang terbebas dari hal-hal yang diharamkan bagi umat Islam (Zalina Zakaria 2008). Kata halal memiliki kesamaan makna dengan mubah dan jâiz (M. Satria Effendi Zein, 2005)
Kalau dimaknai secara terminologis kata makanan (tha’âm ) dalam berbagai bentuknya terulang dalam al-Quran sebanyak 48 kali di antara menyebutkan tentang pelbagai aspek berkaitan dengan makanan. Pesan penting, ayat tersebut menegaskan bahwa manusia harus mengetahui dengan baik kualitas makanan, minumannya agar senantiasa memperhatikan pangannya.
Kajian mengenai makanan yang halal dan haram memiliki kedudukan khusus dalam ajaran Islam. Agama ilahi ini menekankan agar setiap makanan dan minuman yang dikonsumsi harus bersifat halal dan baik (halâlan dan thayyiban]).
Urgensi kajian khusus makanan dalam ajaran Islam, karena makanan yang halal menjadi sumber energi yang bersih bagi tubuh untuk melakukan aktivitas dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. Namun sebaliknya, makanan yang haram dan tidak bersih menjadi sumber kehancuran dan kerusakan yang memicu kerusakan moral, mental dan sosial.
Secara teologis aktivitas hidup setiap Muslim diharuskan memperhatikan produk makanan yang dikonsumsinya. Konsumen harus memperhatikan bahwa makanannya harus bersih, sehat, halal dan dapat dikonsumsi.
Setiap Muslim harus selalu bersikap kritis dalam mempertim-bangkan apakah makanannya yang dikonsumsinya baik untuk kesehatan ataukah tidak? Rasulullah saw bersabda: Mencari yang halal itu wajib atas setiap Muslim (HR. Thabrani).
Secara fisik manusia membutuhkan makanan dan minuman melebihi makhluk lainnya. Al-Quran menempatkan manusia sebagai makhluk yang berbeda dan lebih mulia dari hewan. Keistimewaan utama manusia dibandingkan makhluk lain terletak pada karakteristik spiritual dan mentalnya.
Al Quran dan hadis menegaskan dampak gizi bagi moral dan mental umat manusia. Sumber utama ajaran Islam ini menegaskan perhatian terhadap aspek spiritual, selain dimensi fisik dan mental manusianya.
Perspektif al-Quran dan Hadis mendudukkan jiwa manusia sebagaimana tubuh membutuhkan produk makanan yang baik. Untuk itu, Allah Swt dalam al-Quran menegaskan urgensi gizi yang bersih dan sehat bagi jiwa manusia. "Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya (‘Abasa, 80: 24).
Riset para ahli menunjukkan bahwa secara fisiologis tubuh manusia membutuhkan berbagai jenis makanan. Pesan al-Quran: "Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun yang lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu” (‘Abasa, 80: 27-32).
Sekadar bandingan dalam agama Hindu disarankan untuk menghindari makanan selama 24 jam guna meningkatkan konsentrasi dan penyucian diri. Agama lainnya, memberlakukan aturan yang ketat menahan diri dari makan dan minum.
Namun demikian ajaran Islam menolak segala bentuk perilaku berlebihan dan menyarankan jalan yang adil. Islam menganjurkan manusia untuk mengonsumsi makanan yang halal, bersih dan sehat. Sebaliknya pula ajaran Islam melarang berlebih-lebihan dalam pola makan.
Memilah dan memilih produk makanan membelajarkan diri kita untuk selalu berada dalam oase transendental dengan Sang Maha Pemberi, sehingga dengan begitu Mukmin selalu memiliki menjaga aktivitas hidupnya tidak terjerumus ke jurang produk haram dalam hidupnya.
Rasulululah saw berpesan: “Tidak akan masuk surga siapa saja yang dagingnya tumbuh dari makanan yang haram. Neraka lebih utama untuknya” (HR. Ahmad).
Jadi, karena Allah swt telah memberi panduan pola konsumsi, termasuk cara dan tujuan memproduksi, mengonsumsi dan mendistribusikannya, maka tidak ada alasan bagi setiap Muslim untuk tidak mengelakkan diri dari produk haram atau syubhat (produk meragukan) demi peningkatan kualitas hidupnya ke depan.
==================================
Medan Bisnis. Rabu, 25 Pebruari 2015