POST DATE | 03 April 2017
Transformasi industri halal adalah setiap usaha dalam pembangunan industri halal untuk memengaruhi gaya hidup yang halal di dalam masyarakat. Termasuk pula setiap upaya menggali potensi Industri halal yaitu dengan memanfaatkan jumlah umat Islam di seluruh dunia.
Menurut Afia Fitriati (2014) pertumbuhan pesat populasi Muslim dunia berdampak pada berkembangnya pasar produk-produk halal. Segmen pasar Muslim kini menjadi tenda raksasa yang semakin menarik perhatian dunia.
Hasil riset lembaga riset terkemuka seperti Pew Research Center, Gallup, Ogilvy, dan JWT menunjukkan bahwa pangsa pasar Muslim adalah pangsa pasar masa depan. Paul Temporal, seorang pakar pemasaran dari Oxford University di Inggris bahkan menyebutnya "pangsa pasar besar terakhir di dunia".
Berdasarkan The World Halal Forum (Metrotvnews.com, 2014) estimasi perdagangan makanan minuman halal di seluruh dunia per tahunnya mencapai US$1,4 triliun, 63% di antaranya berada di Asia. Potensi pertumbuhan populasi muslim hingga 2030 sebesar 35%, sehingga industri ini sangat menjanjikan di Indonesia dan di dunia.
Untuk mewujudkan industri halal perlu dilakukan transformasi. Transformasi itu dalam pandangan Meitra Ninanda Sari (2014) adalah dengan malakukan perubahan paradigma pelaku bisnis dalam meningkatkan produk-produk halal. Pelaku industri harus mampu menjadikan halal produk sebagai suatu gaya hidup (life style).
Tidak cukup memasarkan produk halal termasuk produk perbankan syariah hanya dengan menggunakan ikatan emosional agama semata. Oleh itu, perlu cara bagaimana menjadikan produk syariah menjadi life style yg menarik adalah tantangan yang mesti dijawab.
Riyanto Sofyan (2014) menambahkan bahwa produsen halal produk harus membangun brandnya dengan mengedepankan value-value intrinsik dari halal produk. Kunci terpenting adalah memperkuat keunggulan komparatif produk-produk halal.
Secara spiritual Else Fernanda (2014) melihat bahwa dalam usaha membangun industri halal perlu keyakinan atas produk yang dijualnya. Else Fernanda memberikan ilustrasi bagaimana yakinnya Rasulullah SAW saat mengembangkan pasar baru yang Islami di Madinah.
Walaupun sebenarnya saat itu sudah ada pasar lain yang sangat ramai, namun penuh dengan praktek curang dalam bertransaksi. Alhasil, ternyata konsumen akhirnya justru berpindah menuju pasar Islami tersebut.
Thailand merupakan negara yang mengambil langkah agresif untuk memastikan produk yang diproduksi negara itu sesuai dengan kedudukannya sebaga pengeksport produk makanan halal yang keenam terbesar di dunia dengan pendapatan sebanyak US 5 miliar setahun. Berdasarkan laporan dari 30 ribu pabrikan yang memproduksi makanan halal, sebanyak 8.000 perusahaan sudah memperoleh sertifikat halal (Dewan Ekonomi, 2011).
Thailand sangat serius merealisasikan dirinya sebagai peserta industri produk halal global, dengan mendirikan Pusat Sains Halal di University Chulalongkorn (HSC-SU), Bangkok tahun 1995 dan Institut Halal di University Prince of Songkhla beberapa tahun kemudian.
Atas fakta itu, Fachri Thaib (2014) meminta pemerintah membangun kawasan industri halal bagi sektor makanan dan minuman nasional. Tidak ada pilihan lain, Indonesia harus memiliki kawasan industri halal untuk sektor makanan maupun minuman. Apalagi di negara lain seperti Malaysia, Inggris, Belanda maupun Thailand memiliki kawasan tersebut, padahal sebagiannya adalah negara non-Muslim.
Malaysia sebagai Model
Kini, Malaysia sudah mencitrakan dirinya menjadi Halal Hab dunia di bawah naungan JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia). Malaysia menjadi pusat sertifikasi halal dunia dan akan mempromosikan dirinya ke tingkat global.
Lebih dari itu, mereka juga meningkatkan kapasitas institusi, logistik dan tentu saja sumber daya manusia, dan membentuk badan khusus yang bertugas mendorong industri halal yaitu HDC (Halal Development Corporation).
Laporan majalah Dewan Ekonomi (2011) telah HDC mengambil berbagai inisiatif untuk menjadikan Malaysia sebagai pusat rujukan halal. Bahkan HDC memperkenalkan aplikasi halal (smartphone) untuk memudahkan konsumen mencari lokasi makanan dan restoran yang halal dengan menggunakan perangkat teknologi GPS (Global Positioning System).
Selain itu, HDC berfungsi menjadikan Malaysia sebagai destinasi investasi dan bertanggungjawab untuk mempromosikan hab halal (kawasan/taman halal) di Malaysia.
Kalau melihat geliat industri halal di Malaysia, mereka sudah bergerak agresif untuk menjadi pusat pasar halal dunia pada 2020. Indonesia sangat jauh tertinggal dari Malaysia dalam hal standar halal. Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Bambang Prasetya (2014) mengatakan Indonesia sangat jauh tertinggal dari Malaysia dalam hal standar halal.
Dari total produk yang diperdagangkan di Tanah Air, baru 20% yang berlabel halal, sedangkan di Malaysia sudah di atas 90%. Indonesia dapat merujuk Malaysia sebagai model pengembangan industri halal.
Saat ini pasar industri halal bukan hanya untuk kalangan muslim, namun juga non-muslim. Halal selain menjadi alat untuk memasuki pasar yang lebih luas, juga gerbang untuk memasuki pasar dan komunitas global, ia sudah menjadi simbol untuk jaminan kualitas dan pilihan gaya hidup. Oleh itu, jika tidak memanfaatkan kesempatan ini, maka Indonesia akan tertinggal jauh.
Transformasi industri halal adalah memenuhi kebutuhan keimanan, ketakwaan, dan menyediakan produk yang menentramkan konsumennya. Potensi pasar industri halal sangat besar. Didukung kondisi ekonomi di Asia yang diperkirakan akan terus mengalami lonjakan, plus dengan potensi jumlah penduduk khususnya di kawasan Indonesia dan Malaysia.
Untuk itu, perlu adanya strategi dalam mengembangkan industri makanan halal itu. Paling tidak harus ada beberapa unsur yang dipenuhi dalam mengupayakan percepatan pengembangan industri makanan halal, antara lain: industri, pemerintah, lembaga sertifikasi, dan akademisi yang berperan aktif dan membuat kerjasama yang baik dengan industri.
Fenomena perkembangan pasar Muslim ini diharapkan dapat membangun umat Islam yang kuat secara ekonomi, sosial dan spiritual demi bangsa Indonesia yang lebih baik.
Diharapkan transformasi halal lebih menggeliat lagi pasca-pengesahan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH), tepatnya Kamis, 25 September 2014. UU JPH sangat diperlukan sekali dalam usaha melindungi konsumen muslim dalam negeri, termasuk juga mendorong transformasi industri halal di Indonesia.
Idealnya UU JPH adalah pintu masuk untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dari Malaysia dan Thailand. Apalagi UU JPH menunjukkan adanya sifat mandatory (diwajibkan) bagi semua pelaku usaha di negeri ini untuk menjelaskan status produknya lewat label. Setelah membaca UU JPH memang banyak kelemahannya. Tetapi hadirnya UU JPH patut disyukuri. Norma dan substansi UU JPH menjawab sementara penantian panjang umat Islam (8 tahun). Perjalanan panjang mencari sebuah kepastian, yaitu mengonsumsi produk halal. Insya Allah…!
============================
Waspada. 1 Oktober 2014