POST DATE | 18 Juli 2017
Pendahuluan
Secara harfiah etika berasal dari kata ethos (bentuk tunggal, Yunani), ethics (Inggris). Bartens[1] menyebut etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ethos dalam bentuk tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat istiadat, atau akhlak yang baik. Bentuk jamak dari ethos adalah ta etha artinya adat kebiasaan, atau akhlak yang baik. Dari bentuk jamak ini terbentuklah istilah etika yang oleh filusuf Yunani, Aristoteles (384-322 BC) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.
Etika (budi pekerti) bermakna sebagai perbuatan adat istiadat/kebiasaan, kesusilaan atau sopan santun yang baik (akhlakul karimah). Etika merupakan gambaran bentuk lahir manusia. Berdasarkan kata-kata ini, maka etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Atau etika dimaknai juga sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral[2] atau (akhlak).[3]
James J. Sphilane SJ dalam Abdul Kadir Muhammad[4] memandang etika atau ethics senantiasa memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Etika mengarahkan atau menghubungkan penggunaan akal budi individual dengan objektivitas untuk menentukan “kebenaran” atau “kesalahan” dan perilaku seseorang terhadap orang lain.
Suhrawardi K. Lubis[5] mengemukakan dalam istilah latin, etos atau ethikos selalu disebut dengan mos, sehingga dari perkataan tersebut lahirlah moralitas atau yang sering diistilahkan dengan kata moral. Namun demikian, apabila dibandingkan dengan pemakaian yang lebih luas, perkataan etika dipandang lebih luas dari perkataan moral, sebab terkadang istilah moral sering dipergunakan hanya untuk menerangkan sikap lahiriah seseorang yang biasa dinilai dari wujud perilaku atau perbuatan nyata.
Secara tegas Kelik Pramudya dan Ananto Widiatmoko[6] menyatakan sesungguhnya ajaran etika tidak hanya sekadar ajaran moral, malahan lebih jauh lagi, karena etika juga mengajarkan mengapa manusia harus berbuat baik dan menghindari segala sesuatu yang buruk. Ajaran moral lebih spesifik mendekati perilaku secara lahiriah, sementara ajaran etika, selain berkaitan dengan sikap lahiriah juga mencakup sikap batin manusia.
Term etika dalam Islam dinyatakan sebagai bagian dari akhlak. Tersebab akhlak tidak sekadar tentang perilaku manusia yang bersifat perbuatan lahiriah saja, tetapi mencakup hal-hal yang lebih luas, yaitu meliputi bidang akidah, ibadah dan syariah.
Abdullah Salim[7] mengatakan akhlak Islami cakupannya sangat luas, yaitu menyangkut etos,[8] etis, [9] moral,[10] dan estetika.[11] Jadi, akhlak dalam Islam berkaitan dengan hubungan vertikal yaitu hubungan manusia kepada Allah swt (hablum-min-allah), dan hubungan horizontal yaitu hubungan manusia dengan sesama makhluk Allah swt (hablum-min-annas) termasuk hubungan manusia dengan alam sekitar dalam kehidupan kesehariannya.
Menurut Magnis Suseno[12] salah satu fungsi utama etika yaitu untuk membantu mencari orientasi secara kritis ketika berhadapan dengan moralitas yang membingungkan. Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, dan yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Dengan begitu, etika dapat diartikan sebagai sikap, kebiasaan, kepercayaan dari seseorang atau kelompok dengan seorang atau kelompok yang lain yang menjadi pegangan bagi mereka dalam mengatur perilaku.
Mengutip Ahmad Amin[13] jika dilihat hubungan etika dengan ilmu hukum tujuan keduanya tidak dapat dipisahkan karena etika dan hukum mengatur perbuatan manusia untuk kebahagiaan mereka. Namun demikian, makna lingkungan etika lebih luas. Etika memerintahkan berbuat apa yang berguna dan melarang berbuat segala apa yang mudharat (tidak baik). Ilmu hukum tidak demikian, karena banyak perbuatan yang jelas memberi manfaat, tetapi tidak diperintahkan untuk dilakukan Misalnya berbuat baik (maslahat) kepada fakir miskin dan perlakuan baik antara suami istri tidak perlu dibuat lagi. Demikian juga beberapa perbuatan yang mendatangkan kemudharatan tidak dicegah oleh ilmu hukum, umpamanya dusta dan dengki.
Dari segi ilmu etika adalah mempelajari suatu perilaku yang benar (right), baik (good) dan yang buruk (bad), tentang hak dan kewajiban moral. Dengan kata lain, kode etik yaitu suatu pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis ketika melakukan suatu kegiatan atau suatu pekerjaan sebagai pedoman berperilaku.
Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat Earl Warren (1953-1969) pernah mengatakan, "In civilized life, law floats in a sea of ethics" (Dalam kehidupan yang beradab, hukum mengapung di atas samudra etika).[14] Earl Warren menyebut hukum itu sebagai sesuatu yang hanya dapat tegak, berlayar, bergerak di atas etika. Etika adalah landasan bagi hukum mengapung di atas samuderanya. Lebih lanjut beliau menyatakan hukum itu tak mungkin tegak dengan cara yang adil jika air samudera etika tidak mengalir atau tidak berfungsi baik.
Oleh sebab itu, agar hukum dapat tegak dan terjaga dengan baik, maka pembangunan kesadaran etika masyarakat sangatlah urgen. Etika, pada dasarnya lebih luas daripada hukum. Setiap pelanggaran terhadap hukum, kebanyakan adalah pelanggaran juga terhadap etika. Akan tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Etika lebih luas, bahkan dapat dipahami sebagai basis sosial bagi bekerjanya sistem hukum. Jika etika diumpamakan sebagai samudera, maka hukum merupakan kapalnya.
Sebagai pedoman dalam bertindak dan berperilaku, etika dirumuskan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat dibutuhkan akan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari Kode Etik.
Dengan demikian, kode etik dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok profesi itu sendiri. Selain itu, kode etik diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan disisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalahgunaan keahlian. Etika mempunyai peranan penting karena lebih menekankan pada bentuk batiniah. Etika merupakan aspek penting bagi profesional hukum (seperti hakim, jaksa, advokat, polisi, notaris, dan lain sebagainya) terkhusus lagi bagi profesi hakim. Moralitas atau etika adalah alat dorong terhadap keadaan jiwa yang diwujudkan dalam melaksanakan profesinya.
Etika lahir sebagai perwujudan suatu bentuk aturan yang tertulis. Dibuat secara sistematik secara terencana. Etika didasarkan pada prinsip moral yang ada. Ketika dibutuhkan etika dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi pelbagai macam tindakan yang dinilai menyimpang dari etika.
Secara filosofis sikap patuh profesional hukum terhadap kode etik merupakan ketaatan naluriah, bersatu dengan pikiran, jiwa serta langkah perilaku para profesional. Kepatuhan terbentuk dari masing-masing orang, bukan karena suatu paksaan. Pantulan sikap etis profesional muncul, yakni ketika para profesional merasa jika dia melanggar kode etiknya. Dia merasa profesinya akan rusak dan yang rugi adalah diri sendiri.
Eksistensi kode etik profesi sangatlah penting. Kode etik memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai sarana kontrol sosial, sebagai pencegah campur tangan pihak lain, dan sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik. Etika menurut Magnis Suseno berguna untuk membantu manusia mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang membingungkan.[15]
Menurut Agus Santoso[16] ajaran etika atau moral merupakan sikap etis yang harus dilakukan dalam menjalankan aktivitas manusia sebagai makhluk sosial, karena perilaku etis itu sebagai bagian integral dari sikap hidup dan perikehidupan manusia sebagai pengemban profesi. Keputusan pada etika atau moral tergantung kepada akhlak yang bersangkutan. Prinsipnya etika atau moral bersifat individu atau subjektif.
Tetapi dalam tata pergaulan sosial diperlukan adanya standar yang ditetapkan dalam pedoman atau panduan perilaku. Apalagi jika dikaitkan dengan profesi hukum, maka diperlukan pedoman yang disebut kode etik tertulis. Penting untuk dipahami bahwa tujuan utama kaidah moral atau etika adalah untuk melindungi dan menjaga martabat moral profesi maupun melindungi perbuatan menyimpang dari perlakuan penyandang profesi dimaksud.
Etika dan Norma Hukum
Memang hubungan etika dan hukum sangat erat. Banyak titik taut yang membuat keduanya mempunyai persamaan dan perbedaan, tetapi perbedaan itu bukan untuk memisahkan etika dan hukum. Merujuk pendapat Kelik Pramudya dan Ananto Widiatmoko[17] persamaan etika dan hukum yakni keduanya memiliki sifat normatif dan mengandung norma etik dan bersifat mengikat. Selain itu, etika dan norma hukum mempunyai tujuan sosial yang sama, yakni agar manusia berbuat baik sesuai dengan norma masyarakat. Selanjutnya, bagi siapa yang melanggar akan dikenai sanksi.
Perbedaan etika dan norma hukum berkaitan dengan sanksi, sebab sanksi pelanggaran etika hanya berlaku bagi anggota golongan profesi tertentu semata. Sebaliknya sanksi norma hukum berlaku untuk semua orang berdasarkan wilayah teritorial tertentu, semua warga negara dan masyarakat. Apabila terjadi pelanggaran etika cukup ditangani oleh perangkat organisasi profesi yang tunduk pada kode etik profesi bersangkutan, semisal Dewan Kehormatan/Majelis Kehormatan[18] atau Komisi Yudisial[19] khusus bagi para profesi hakim.[20] Jika pelanggaran dalam bidang norma hukum diselesaikan oleh lembaga peradilan/pengadilan.
Etika merupakan landasan yang harus dijunjung oleh seorang profesional termasuk hakim dalam menjalankan profesinya pada lembaga peradilan. Saat hakim memberi keputusan (judgement), hakim bukan sedang menghadiahkan keadilan. Karena itu, setiap keputusan yang diberikan hakim harus berdasarkan hukum.
Perwujudan penegakan hukum yang ideal itu dapat terlaksana, jika ditegakkan dengan landasan etika dan sesuai norma hukum. Hubungan etika dan norma hukum seperti dua sisi mata uang. Saling bertaut kelindan. Rofiq Nasihudin[21] mengutip Muhammad Muslehuddin mengatakan: “hukum moral adalah hukum dalam arti sebenarnya. Tidak ada pemisahan total hukum dari moralitas”. Hukum yang dipisahkan dari keadilan dan etika moralitas, bukanlah hukum.
Syarif Mappiasse[22] menyatakan hukum harus mencerminkan keadilan moral (moral justice), yakni keadilan berdasarkan standar moral yang memisahkan baik dan buruk. Beliau melanjutkan bahwa Ronald Dworkin seperti dikutip Achmad Ali berpendapat: moral principle is the foundation of law (prinsip moral merupakan fondasi hukum).
Bagi Jimly Asshiddiqie[23] etika dapat difungsikan sebagai filter dan sekaligus sebagai penyangga serta penopang bagi bekerjanya sistem norma hukum. Setiap kali terjadi perilaku menyimpang (deviant behavior), sebelum memasuki ranah hukum, sudah tersedia sistem etika yang melakukan koreksi. Kalau konsepsi etika itu yang digunakan, bermakna tidak semua perbuatan menyimpang dari norma ideal harus langsung ditangani melalui mekanisme hukum yang dapat berakibat terlalu besarnya beban sistem hukum untuk mengatasi semua jenis penyimpangan perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Sebelum hukum, etika harus diberi kesempatan untuk lebih dulu difungsikan.
Malahan jika suatu perbuatan terbukti tetapi tidak terlalu serius sebagai pelanggaran, maka sistem sanksi etika dapat memberi teguran atau peringatan dengan maksud untuk mendidik, bukan bermaksud untuk menyakiti. Jika suatu pelanggaran tergolong serius, yang bersangkutan dapat diberhentikan dari jabatannya, dengan maksud bukan sebagai upaya pembalasan atas perbuatannya, melainkan sebagai upaya menjaga kepercayaan publik terhadap institusi jabatan, profesi, atau organisasi tempat yang bersangkutan bekerja secara profesional.
Eksistensi perilaku etika semakin jelas manakala dikaitkan dengan para pemangku jabatan publik dan profesional yang sangat mengandalkan kepercayaan publik (public trust). Perlu disadari bahwa pendekatan hukum untuk menuntaskan para pemangku jabatan publik seringkali terbukti menghadapi jalan terjal. Justru pendekatan hukum kontra-produktif dalam menjaga kepercayaan publik itu. Oleh karena itu, sebelum suatu tuduhan pelanggaran hukum dapat dibuktikan secara tuntas di pengadilan, citra institusi publik tempat bekerja sudah hancur lebih dulu di mata publik.
Kondisi demikian terjadi, sebab cara bekerjanya sistem penegakan hukum sangat birokratis dan penuh pelbagai syarat pembuktian yang harus ditaati. Apalagi jika hukum diterapkan kepada mereka yang sedang menduduki jabatan publik, alamat bakal berdampak buruk kepada citra dan kepercayaan publik. Pilihan pola pembinaan atau pengendalian perilaku ideal pada situasi yang demikian, dipandang lebih baik dilakukan melalui sistem etika atau setidaknya melalui sistem etika terlebih dahulu, baru kemudian menggunakan sistem hukum.
Theo Huijbers seperti dikutip E. Sumaryono[24] masih mensyaratkan bahwa jika sistem hukum yang digunakan sebagai cara menyelesaikan pelanggaran agar cara bekerjanya benar, penegak hukum harus mempunyai (a) sikap kemanusiaan, yakni tidak merespons hukum secara formal belaka, (b) sikap keadilan, yakni mencari sesuatu yang layak bagi masyarakat, (c) sikap kepatutan, sebab diperlukan pertimbangan apa yang sungguh-sungguh adil dalam suatu perkara konkrit, dan (d) sikap kejujuran, jangan ikut korupsi (atau berperilaku pada orientasi menyimpang, misalnya terlibat dalam mafia peradilan.
Karena itu diperlukan sistem etika sebagai upaya menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku pengemban profesi tertentu. Bagi profesi hakim, sistem etika merupakan inti yang melekat pada profesi hakim, sebab ia adalah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral. Sistem etika menuntun hakim untuk berintegritas dan profesional.
Sistem etika yang disebut kode etik adalah suatu ikatan, tatanan, kaidah atau norma yang harus diperhatikan yang berisi petunjuk tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh diperbuat oleh anggota profesi dalam menjalankan profesinya, sebagai pencegahan munculnya tindakan immoral yang pelanggarannya membawa akibat atau konsekuensi tertentu.
Kode etik norma susila atau sikap akhlak pada prinsipnya ditetapkan bersama dan ditaati bersama pula oleh para anggota yang tergabung dalam suatu organisasi profesi.
Pembuatan kode etik adalah sebagai alat pembinaan dan pembentukan karakter, pengawasan tingkah laku dan sebagai sarana kontrol sosial serta mencegah campur tangan ekstra yudisial. Kode etika sekaligus mencegah timbulnya kesalahpahaman dan konflik antar-sesama anggota, masyarakat dan memberikan jaminan peningkatan moralitas hakim dan kemandirian fungsional serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan
Profesionalisme tanpa etika menjadikannya “bebas sayap” (vluegel vrij), tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Etika tanpa profesionalisme menjadikannya “lumpuh sayap” (vluegellam), tidak maju. Bahkan tidak tegak. Profesi hakim sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Hakim adalah profesi luhur (officium nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan kemanusiaan.
Bagus Takwin[25] mencatat untuk menegakkan kode etik hukum diperlukan empat prinsip dasar etika, yakni; menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity), menghormati privasi dan kerahasiaan (respect fot privacy and confidentaliaty), keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness), dan memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and benecits).
Mematuhi etika bermakna menegakkan kode etik. Kode etik tegak jika hakim sebagai wakil tuhan bersikap professional dan berintegritas. Disebut wakil tuhan, tersebab produknya senantiasa berlabel irah-irah: “Demi Keadilan Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[26]
Syarat utama ‘wakil tuhan’ bertahta marwah yang terhormat dan bermartabat luhur dapat ditegakkan, jika kode etiknya telah berdiri tegak. Kode etik adalah bingkai utama bagi hakim ketika menegakkan hukum dan keadilan. Menegakkan kode etik bermakna independensi hakim[27] terjaga dari segala intervensi. Independensi itu tentu harus diimbangi dengan akuntabilitas hakim.[28] Internalisasi kode etik dapat menghindari terjadinya ketidakmandirian hakim, sekaligus menyelaraskan pertanggungjawaban (liability) hakim kepada rakyat dan Tuhan.
Profesi hakim bertaut dengan persyaratan mutlak dalam sebuah negara hukum. Persyaratan itu adalah pengadilan yang mandiri, dan netral (tidak berpihak). Selain itu, pengadilan harus kompeten dan berwibawa, mampu menegakkan martabat hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan. Hanya pengadilan yang memiliki semua kriteria tersebut yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia (HAM).[29]
Indonesia adalah Negara Hukum. Penegasan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum dituangkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan perubahannya yang menyatakan
bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), tidak atas dasar kekuasaan belaka (machstaat). Konsekuensi dari penegasan tersebut adalah adanya perlindungan hak asasi manusia, adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan menyelenggarakan peradilan yang bebas dan tidak memihak, serta adanya legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya. Satu di antara prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan tersebut di atas merupakan sebagai upaya untuk memperkuat penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated justice system). Sistem peradilan terpadu ini sebagai bentuk penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yang merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum.
Etika dalam Peradilan
Sebagai negara hukum, hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak.
Perlu dipahami bahwa setiap profesi di berbagai bidang memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan profesi yang bersangkutan. Tentu demikian pula halnya dengan profesi hakim di Indonesia. Pada profesi hakim melekat suatu kode etik yang didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat universal bagi hakim sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi hakim untuk mengatur tata tertib dan perilaku hakim dalam menjalankan profesinya.
Sebagai aktor utama lembaga peradilan, posisi dan peran hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai dengan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang.
Dengan demikian, profesi hakim tidak dapat dipisahkan dari seperangkat nilai yang harus dimiliki dan dijunjung tinggi oleh seorang hakim yang diistilahkan dengan etika. Etika hakim adalah perbuatan yang patut dilaksanakan oleh seorang hakim, baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan.
Etika hakim merupakan sesuatu yang niscaya melekat atau menyatu dengan pribadi hakim yang bersangkutan di manapun dia berada, tidak hanya pada saat dia menjalankan tugasnya sebagai hakim tetapi harus menjadi bagian dari jati dirinya sebagai manusia di manapun berada. Etika tersebut harus menjadi bagian dari kepribadian seorang hakim ketika menjalani kehidupannya dalam segala aktivitas.
Asni[30] mencatat bahwa etika hakim menghadapi tantangan yang semakin komplek di era kontemporer, mengingat perkembangan yang dimunculkan modernitas otomatis berpengaruh kepada eksistensi hukum dan peradilan, termasuk hakimnya. Perkembangan teknologi misalnya, akan berdampak pada dinamika kasus yang terjadi. Dewasa ini banyak dijumpai kasus pelanggaran hukum yang memanfaatkan atau berkaitan dengan kecanggihan teknologi seperti cyber crime.
Dinamika perkembangan yang membuka peluang penyelewengan tugas-tugas aparat negara. Tak terkecuali aparatur hukum seperti hakim dengan memanfaatkan teknologi informasi saat ini, seperti transaksi kasus melalui telepon, media sosial, email, blackberry massangger dan lain-lain. Oleh karena itu, pada masa kini dibutuhkan figur hakim yang tidak hanya cakap, cerdas dan adil tetapi juga harus diperkuat dengan integritas yang kokoh untuk membentengi diri dari berbagai godaan yang semakin bervariasi. Dengan demikian, para pengemban amanah profesi hakim dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Bagi seorang aparat penegak hukum seperti halnya hakim, mendapat suatu tugas berarti memperoleh sebuah tanggung jawab yang terkait 3 (tiga) hal, yaitu;
(1) mendapat kepercayaan untuk dapat mengemban tugas,
(2) merupakan suatu kehormatan sebagai pengemban tugas, dan
(3) merupakan suatu amanat yang harus dijaga dan dijalankan.[31]
Tanggung jawab tersebut dapat pula dibedakan atas 3 (tiga) jenis, yaitu;
(1) tanggung jawab moral,
(2) tanggung jawab hukum, dan
(3) tanggung jawab teknis profesi.[32]
Tanggung jawab moral adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan, baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para aparat bersangkutan.
Tanggung jawab hukum diartikan sebagai tanggung jawab yang menjadi beban aparat untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-rambu hukum.
Tanggung jawab teknis profesi merupakan tuntutan bagi aparat untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.
Apabila ditelaah dari tanggung jawab moral hakim, maka hal ini dihadapkan pada tujuan akhir profesi hakim yaitu ditegakkannya nilai kemanusiaan (humanity), nilai keadilan (justice) dan kepastian hukum (gerechtigheid) dalam lingkup nilai moralitas umum (common morality).[33] Namun demikian, tugas utama hakim adalah menegakkan keadilan, bukan kepastian hukum. Sebab menurut K. Wantjik Saleh,[34] pekerjaan hakim berintikan keadilan. Makna keadilan dimaksudkan bukan keadilan menurut bunyi perkataan undang-undang semata (let’terknechten der wet), melainkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Itulah sebabnya menurut Antonius Sudirman[35] setiap kali hakim memutuskan suatu perkara selalu didahului dengan ucapan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalimat yang bermakna bahwa selain bersandar pada undang-undang, tetapi juga harus sesuai dengan hati nuraninya yang tulus. Hakim tidak boleh mengabaikan suara hati nuraninya demi mencari keuntungan materiil bagi diri sendiri, memberi kepuasan bagi penguasa, menguntungkan kaum powerfull (secara politik dan ekonomi), atau demi menjaga kepastian hukum semata.
Cita hukum keadilan yang terdapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments for Judges dari Socrates.
Untuk menegaskan maksud itu, Wildan Suyuthi dalam Jamaluddin, Husni, Eddy Purnama[36] menyebut kode etik hakim tersebut terdiri atas 4 (empat), yaitu:
(1) To hear corteously (mendengar dengan sopan dan beradab),
(2) To answer wisely (menjawab dengan arif dan bijaksana),
(3) To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun), dan
(4) To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).
Secara lebih terinci muatan KEPPH sebagaimana termaktub dalam Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor 02/PB/MA/IX/2012/02/PB/P/KY/09/ 2012, Pasal 3 menegaskan bahwa: (1) Panduan penegakan KEPPH didasarkan pada prinsip-prinsip:
Pasal 4 ditegaskan kewajiban dan larangan bagi hakim sebagai berikut: Kewajiban dan larangan bagi hakim dijabarkan dari 10 (sepuluh) prinsip KEPPH, yaitu:
Adabul Qadhi
Jika dilihat dari tradisi peradilan Islam etika hakim dikenal dengan term adabul qadhi. Adabul qadhi adalah tingkah laku yang baik dan terpuji yang harus dilaksanakan oleh seorang hakim dalam berinteraksi dengan sesama manusia dalam menjalankan tugasnya. Mengenai etika hakim, Rasulullah saw memberi pesan penting, antara lain:
Ulama-ulama terdahulu telah menetapkan adab-adab tertentu yang harus dimiliki oleh seorang hakim, misalnya ketika di luar mahkamah, antara lain keharusan menjaga pergaulan dengan masyarakat di sekelilingnya dan tidak menerima hadiah dari pihak-pihak yang berperkara atau yang terkait dengan jabatannya. Ketika pelaksanaan tugasnya, menurut Abdul Manan[38] mengutip Muhammad Salam Maskur, hakim harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Adil Mustafa Basyuri sebagaimana dikutip Abdul Manan,[39] etika hakim atau adabul qadhi meliputi:
Khusus etika dalam persidangan hakim harus mempunyai kemampuan dan kemauan untuk;
Asadulloh al-Faruq[41] mengutip Umar bin Abdul Aziz mengatakan, seorang hakim dapat dikatakan sebagai hakim yang sempurna bilamana padanya terdapat 5 (lima) perkara, yakni:
Berkaitan dengan etika hakim terhadap pihak ketiga yang menjadi pencari keadilan dalam persidangan adalah:
Untuk profesinya sendiri, seorang hakim juga harus menjaga perilakunya, baik kepada atasan, sesama rekan, maupun bawahan. Terhadap atasan, seorang Hakim harus bersikap:
Secara normatif Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim, yaitu:
Pada tanggung jawab teknis profesi, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya
tindakan yang dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian.
Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidakmampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.[44]
Selain peraturan perundang-undangan yang menguraikan tanggung jawab profesi hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum, terdapat pula ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab profesi Hakim Agung, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. CST. Kansil dan Christine ST. Kansil[45] mengemukakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaan tanggung jawab hakim, seperti:
Semua kewenangan yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, karena setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan hakim.
Penutup
Pasal 24 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan derivasinya melalui Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Penegasan itu memberi ruang kebebasan hakim untuk memaknai kebebasan mengadili, kebebasan dari campur tangan pihak luar, kebebasan berekspresi dalam rangka pengembangan hukum praktis, kebebasan menggali nilai hukum sesuai rasa keadilan masyarakat, termasuk kebebasan menyimpang ketentuan hukum tertulis jika dinilai tidak lagi sesuai rasa keadilan masyarakat.
Namun demikian, kebebasan hakim tidak dapat dimaknai kebebasan tanpa batas, karena dasar-dasar hukum yang diterapkan tidak boleh bertentangan dengan ideologi negara. Tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang sederajat, futuristik, juga harus dalam bingkai melindungi hak asasi manusia (HAM) dan mengamanatkan keadilan.
Kebebasan harus diikat pula dengan pertanggungan-jawab atau akuntabilitas. Kedua-duanya itu, kebebasan dan akuntabilitas pada dasarnya merupakan kedua sisi koin mata uang saling melekat. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Jadi, dalam konteks kebebasan hakim (independency of judiciary) haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (judicial accountability).
Konteks profesi hakim, hakim adalah profesi yang istimewa dan terhormat (officium nobille) dalam menjalankan tugasnya. Karena itu tanggung jawab hakim adalah senantiasa berupaya merumuskan dan menggali nilai-nilai hukum dengan menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan di masyarakakat. Perbuatan hukum hakim harus selalu dilandasi etika karena harus mempertanggungjawabkan atas semua gagasan dan tindakannya tersebut baik terhadap dirinya, masyarakat dan Tuhan.
Bertanggung jawab terhadap dirinya berarti memberikan pelayanan hukum berdasarkan integritas moral, intelektual dan profesionalisme. Bertanggung jawab terhadap masyarakat berarti dalam wujud pemberian putusan-putusan yang mengandung nilai keadilan dan kebenaran. Tanggung jawab terhadap Tuhan adalah tanggung jawab moral atas tindakan
sekecil apapun.
Tanggung jawab ini merupakan konsekuensi dari aksioma kehendak bebas manusia yang dibatasi konsep tanggung jawab di hadapan Tuhan. Beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan telah mencantumkan dan mengatur pula hal berkaitan dengan tanggung jawab hukum profesi hakim.
Tugas menegakkan hukum berarti mengembang amanah untuk membangun peradaban umat manusia. Hakim sebagai aktor utama di lembaga peradilan membutuhkan kesadaran etis untuk menunaikan tugas secara benar, baik dan tepat.
Untuk maksud itu penegak hukum termasuk hakim harus memiliki sikap etis dengan tipe (1) moralitas taat asas, yang selalu mendahulukan hukum negara dengan keabsahan yang lebih luas, (2) moralitas akal kritis, yang senantiasa mempertanyakan eksistensi suatu kaidah, yakni jika hukum tidak lagi dapat memenuhi fungsinya, hukum itu harus diubah, (3) moralitas hati nurani, yakni pantang mengkhianati hati nurani dan keyakinan tentang yang benar dan baik. Visi dan misi yang melekat pada moralitas hati nurani adalah demi ditegakannnya harkat dan martabat umat manusia dan kemanusiaan.[46]
Sumber: http://www.komisiyudisial.go.id/files/Bunga%20Rampai/Etika-dan-Budaya-Hukum-dalam-Peradilan.pdf
Daftar Pustaka
Abdul Kadir Muhammad, 2006. Etika Profesi Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti
Abdul Manan, 2010. Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan, Jakarta: Kencana
Abdullah Salim, 1985. Akhlaq Islam, Membina Rumah Tangga dan Masyarakat, Jakarta: Media Dakwah
Ahmad Amin, 1995. Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: Bulan Bintang
Ahmad Hafidz Syafruddin, “Etika Profesi Hakim di Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam El Faqih: Jurnal Pemikiran & Hukum Islam, Volume 1, Nomor 2, Desember 2015, Kediri: Sekolah Tinggi Ilmu Syariah
Agus Santoso, 2012. Hukum, Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Jakarta: Kencana
Antonius Sudirman, 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Bandung: Citra Aditya Bakti
Asadulloh Al-Faruq, 2009. Hukum Acara Peradilan Islam, Yogyakarta: Pustaka Yustisia
Asep Rahmat Fajar, Perdebatan Independensi Peradilan, dalam SindoNews.com melalui https://nasional.sindonews.com/read/1051725/18/perdebatan-independensi-peradilan-1444373720/13, diakses tanggal 16 Maret 2017
Asni, “Etika Hakim Dalam Dinamika Masyarakat Kontemporer: Perspektif Peradilan Islam”, dalam Jurnal Al-‘Adl, Vol. 8 No. 2, Juli 2015
Bagus Takwin, 2015. Pemantapan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Jakarta: Komisi Yudisial RI
CST. Kansil dan Cristine ST. Kansil, 1996. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, Jakarta: Pradnya Pramita
Departemen Pendidikan Nasional, 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Sumaryono, 1995. Etika Profesi Hukum Norma-norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta: Kanisius
Franz Magnis Suseno, 1991. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius
Haryatmoko, 2011. Etika Publik Untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Jamaluddin, Husni, Eddy Purnama, Tanggung Jawab Profesi Hakim Sebagai Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Volume 1, No. 1, Agustus 2012
Jimly Asshiddiqie, 2015. Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Perspektif Baru tentang Rule of Law and Rule of Ethics & Constitutional Law and Constitutioal Ethics, Jakarta: Sinar Grafika
Kelik Pramudya dan Ananto Widiatmoko, 2010. Pedoman Etika Profesi Hukum Aparat Hukum, Yogyakarta: Pustaka Yustisia
Bartens, 2013. Etika, Yogyakarta: Kanisius
Wantjik Saleh, 1977. Kehakiman dan Peradilan, Jakarta: Ghalia Indonesia
Syamsuddin, Rekonstruksi Perilaku Etik Hakim dalam Menangani Perkara Berbasis Hukum Progresif, dalam Penelitian Hibah Bersaing Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (DP2M) Dikti tahun 2011. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Marthinus Mambaya, 2015. Etika dalam Sistem Peradilan Pidana: Sebuah Kritik Terhadap Kesesatan Peradilan di Indonesia, dalam Prosiding Pengembangan Epistimologi Ilmu Hukum, Surakarta: Sekolah Pascasarjana UMS
Paulus E Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistem Penegakan Hukum, makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Denpasar: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI 14-18 Juli 2003
Rofiq Nasihudin, Kode Etik Profesi Hakim Dalam Islam, melalui http://www.nasihudin.com/ kode-etik-profesi-hakim-dalam-islam/75, tanggal 16 Maret 2017
Salihun A Nasir, 1991. Tinjauan Akhlak, Surabaya: Al-Ikhlas
Samud, “Kode Etik Profesi Hakim Menurut Hukum Islam”, dalam Mahkamah, Volume 9 No. 1 Januari-Juni 2015, Cirebon: Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Suhrawardi K. Lubis. 1994, Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika
Syarif Mappiasse, 2015. Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta: Prenadamedia Group
Footnote
[1] K. Bartens, 1994. Etika, Yogyakarta: Kanisius, halaman 3
[2] Departemen Pendidikan Nasional, 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, halaman 80.
[3] Akhlak (bahasa Arab) dimaknai sebagai perangai, tabiat, rasa malu, dan adat kebiasaan, atau disebut juga budi pekerti, kesusilaan atau sopan santun. Akhlak adalah pantulan bentuk lahir manusia (Salihun A Nasir, 1991. Tinjauan Akhlak, Surabaya: Al-Ikhlas, halaman 14).
[4] Abdul Kadir Muhammad, 2006. Etika Profesi Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, halaman 13
[5] Suhrawardi K. Lubis. 1994, Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, halaman 1
[6] Kelik Pramudya dan Ananto Widiatmoko, 2010. Pedoman Etika Profesi Hukum Aparat Hukum, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, halaman 8-9
[7] Abdullah Salim, 1985. Akhlaq Islam, Membina Rumah Tangga dan Masyarakat, Jakarta: Media Dakwah, halaman 12
[8] Etos bermakna mengatur hubungan seseorang dengan khaliknya, al-ma’bud bi haq serta kelengkapan uluhiyah dan rububiah, seperti terhadap rasul-rasul Allah swt, kitab-Nya, dan sebagainya (Abdullah Salim, Ibid).
[9] Etis diartikan sebagai mengatur sikap seseorang terhadap dirinya dan terhadap sesamanya dalam kegiatan kehidupan sehari-hari (Abdullah Salim, Ibid).
[10] Moral adalah mengatur hubungan dengan sesamanya tetapi berlainan jenis dan atau yang menyangkut kehormatan tiap pribadi (Abdullah Salim, Ibid).
[11] Estetika diterjemahkan sebagai rasa keindahan yang mendorong seseorang untuk meningkatkan keadaan dirinya serta lingkungannya agar lebih indah dan menuju kesempurnaan (Abdullah Salim, Ibid).
[12] Franz Magnis Suseno, 1991. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, halaman 15
[13] Ahmad Amin, 1995. Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: Bulan Bintang, halaman 9
[14] Jimly Asshiddiqie, 2015. Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Perspektif Baru tentang Rule of Law and Rule of Ethics & Constitutional Law and Constitutioal Ethics, Jakarta: Sinar Grafika, halaman xiv
[15] Magnis Suseno misalnya memberi penekanan bahwa kendati ajaran moral dalam agama sudah eksis, nemaun etika dan etika profesi tetap memegang peranan yang tidak kalah pentingnya. Menurut beliau ajaran agama sendiri memerlukan keterampilan beretika agar dapat memberi orientasi dan bukan sekadar indoktrinasi. Franz Magnis Suseno, 1991. Op. Cit.
[16] Agus Santoso, 2012. Hukum, Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Jakarta: Kencana, halaman 83-84
[17] Kelik Pramudya dan Ananto Widiatmoko, 2010. Op. Cit, halaman 9-10
[18] Misalnya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP,) Dewan Etik Hakim Konstitusi (DEHK), Majelis Kehormatan KPK, Majelis Kehormatan Hakim (MKH), Majelis Kehormatan Kedokteran Indonesia (MKKI), atau Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (BK-DPR), dan lain sebagainya.
[19] Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyatakan Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Berdasarkan ketentuan tersebut tiga lembaga negara yang termasuk dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Namun demikian, menurut Pasal 24 ayat (2), hanya MA (dan badan peradilan di bawahnya) dan MK yang merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan KY tidak memiliki kewenangan tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai lembaga ekstra-yudisial. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.
[20] Secara konstitusional tugas pengawasan perilaku hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim ada dipundak Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA). KY berwenang untuk: menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan MA; dan menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial).
Sejalan dengan wewenang itu, KY bertugas: melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim; menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup; memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, dan mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim (Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial).
Eksistensi KY adalah untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. KY mesti mampu memastikan bahwa Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim telah dipedomani para hakim dalam menjalankan profesi dalam rangka menjaga mutu moral dari profesi hakim. Sekaligus juga untuk menjaga kualitas dan independensi serta pandangan masyarakat terhadap profesi hakim.
[21] Rofiq Nasihudin, Kode Etik Profesi Hakim Dalam Islam, melalui http://www.nasihudin.com/kode-etik-profesi-hakim-dalam-islam/75, tanggal 16 Maret 2017
[22] Syarif Mappiasse, 2015. Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta: Prenadamedia Group, halaman 9.
[23] Jimly Asshiddiqie, 2015. Op. Cit, halaman xiv
[24] E. Sumaryono, 1995. Etika Profesi Hukum Norma-norma Bagi Penegak Hukum
Tag: Etika, , ,