POST DATE | 24 Juni 2017
Jika KY tidak kuat, bukan tak mustahil supremasi hukum di Indonesia tak lagi mengenal dan menerapkan prinsip keadilan
Secara konstitusional eksistensi Komisi Yudisial (KY) ada melalui proses Amandemen Ketiga Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001. Tepatnya ketentuan mengenai Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kehadiran KY dalam UUD Negara RI Tahun 1945 itu tidak terlepas dari adanya upaya untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Urgensi untuk memperkuat kekuasaan kehakiman itu adalah sebagai konsekuensi logis dari dianutnya paham negara hukum (rechstaat) di Indonesia.
Persyaratan mutlak (conditio sine qua non) dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum adalah pengadilan yang mandiri, netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan. Keberadaan pengadilan yang memiliki semua kriteria tersebut yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Sebagai aktor utama lembaga peradilan, posisi, dan peran hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya (Anonim, 2015).
Selain itu, ada arus yang tumbuh mengenai keprihatinan mendalam atas kondisi wajah peradilan yang muram dan keadilan di Indonesia yang tak kunjung tegak, sehingga pembentukan Komisi Yudisial dianggap sebagai jawabannya.
A.Ahsin Thohari (2015) mengatakan perwujudan adanya paham negara hukum pada upaya penguatan kekuasaan kehakiman itu pula terpantul dengan cara menjamin perekrutan hakim agung yang kredibel dan menjaga kontinuitas hakim-hakim agar tetap berpegang teguh pada nilai-nilai moralitasnya sebagai seorang hakim yang harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme.
Secara yuridis Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2011 memberikan berbagai tugas dan wewenang baru bagi KY, antara lain: melakukan seleksi pengangkatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung (MA), melakukan upaya peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim, melakukan langkah-langkah hukum dan langkah lain untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, melakukan penyadapan bekerja sama dengan aparat penegak hukum, dan melakukan pemanggilan paksa terhadap saksi (Bambang Sutiyoso, 2011).
Bahkan dalam perspektif menguatkan peran dan fungsi KY, disahkannya undang-undang tersebut merupakan konkritisasi dari upaya memperkuat wewenang dan tugas KY sebagai lembaga negara independen yang menjalankan fungsi checks and balances di bidang kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, masih ada energi lain yang menguatkan kewenangan KY adalah UU No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasal 14 UU No.18 Tahun 2011, menyatakan dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di MA kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, maka KY memunyai tugas: (a) Melakukan pendaftaran calon hakim agung; (b) Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung; (c) Menetapkan calon hakim agung; dan (d) Mengajukan calon hakim agung ke DPR.
Jika merujuk pada Pasal 24B UUD 1945 setidaknya ada dua kewenangan KY, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung; dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kemudian, UU No. 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang KY memberi beberapa penguatan dari sisi kelembagaan dan kewenangan.
Di antara penguatan lembaga yang diatur ialah mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim. Masalah rendahnya tingkat kesejahteraan hakim di negeri ini memang kerap menjadi motif terjadinya kasus mafia peradilan. Sangat jelas bahwa tindakan tersebut jelas melanggar kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim (KE dan/atau PPH) yang menjadi ranah pengawasan ekternal KY terhadap MA.
Menurut pandangan Nur Afilin (2015) fungsi pengawasan eksternal terhadap MA inilah yang sebenarnya menjadikan peran KY amat strategis dalam mensukseskan agenda reformasi peradilan. Ketika KY mampu melaksanakan hak dan wewenang ini dengan baik, maka kualitas para hakim yang merupakan “wakil Tuhan” untuk memutus suatu perkara benar-benar terjamin.
Sebaliknya, jika KY tidak kuat dalam mengawal hal tersebut, bukan tak mustahil supremasi hukum di Indonesia tak lagi mengenal dan menerapkan prinsip keadilan. Menilik pada kompetensi wewenang dan tugas pengawasan tersebut diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim sebagai pelaksana utama dari fungsi pengadilan itu berintegritas tinggi, jujur, dan profesional, sehingga memperoleh kepercayaan dari masyarakat dan pencari keadilan (Jawahir Thontowi, 2011).
Konteks urgensi peranan pengawasan KY terhadap profesi hakim menurut pandangan Jawahir Thontowi (2011) adalah Pertama, pembentukan KY adalah amanah konstitusional UUD 1945, yang merupakan hukum tertinggi dalam hirarki sistem peraturan perundang-undangan (constitusion is the supreme law of the land).
Kedua, kredibilitas KY didasarkan bahwa proses penuangannya dalam UUD 1945 hasil perubahan 1999-2002 merupakan kreasi dan inovasi konstitusional. Harapan pembentukan lembaga negara tersebut untuk meletakkan dasar pemerintahan yang baik dan bersih, termasuk penegakan hukum yang terbuka, handal, berkeadilan, dan penuh pertanggungjawaban.
Ketiga, melimpahnya laporan masyarakat kepada KY, fenomena yang hampir sama dialami oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Buruknya situasi peradilan di Indonesia, tidak sekadar karena faktor mentalitas aparat peradilan, juga karena sistem peradilan yang mudah diintervensi oleh pemegang kekuasaan.
Merujuk pada UU No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.14 Tahun 1985 tentang MA, kehadiran KY diakui sebagai upaya menciptakan fungsi check and balance dalam sistem pengawasan di peradilan. Kehadiran KY sangat diharapkan karena masyarakat kehilangan kepercayaan pada institusi peradilan. Peran pengawasan internal yang dilakukan MA tidak efektif, karena kerap digunakan sebagai upaya melindungi oknum yang berbuat salah atas nama semangat korps.
Hal ini penting ditegaskan sebagai perwujudan fungsi dan tujuan hukum yaitu upaya memajukan ketertiban dan keadilan. Secara prinsip ketentuan Pasal 24 B UUD RI Tahun 1945 menunjukkan bahwa eksistensi kemandirian KY itu dijamin kuat dan jelas. Kedudukan KY bersifat mandiri, memunyai wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Dengan kata lain, ketentuan ini menegaskan bahwa kedudukan KY adalah sebagai lembaga negara yang kedudukannya dijamin secara konstitutional. KY adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain.
==================================
sumber : waspadamedan.com, 04 November 2015