POST DATE | 22 Juli 2017
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ini pada dasarnya adalah salah satu konsekuensi dari skema konvergensi bidang telekomunikasi, computing dan entertainment (media).
Awalnya masing-masing masih berbaur sendiri-sendiri. Undang-undang ini dibuat untuk memberikan kepastian hukum dan implikasinya pada saat transaksi elektronik seperti transaksi keuangan via ponsel, dari mulai saat memasukkan password, melakukan transaksi keuangan, sampai bagaimana pesan itu sampai ke recipient yang dituju.
Kepastian hukum ini diperlukan untuk para stakeholder terkait di dalamnya, mulai dari operator seluler, penyedia service transaksi keuangan tersebut, bank dimana sang nasabah menyimpan uangnya, sampai ke bank dimana recipient menjadi nasabahnya (yang mungkin saja berbeda dengan bank si sender).
UU ITE ini diterbitkan per tanggal 25 Maret 2008 lalu oleh pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo), dengan cakupan materi yang cukup komprehensif. Didahului dengan berbagai pertimbangan yang mendasari dibuatnya undang-undang ini, penekanan terhadap globalisasi, perkembangan teknologi informasi, dan keinginan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (vide www.binushacker.net)
Sisi Positif
Sesungguhnya begitu banyak sisi positif atas kehadiran UU ITE ini, yakni: Pertama, Penyelenggaraan Sistem Elektronik (Certificate Authority/CA) diharuskan berbadan hukum dan berdomisili di Indonesia (Pasal 13 sampai 16). CA dari luar negeri yang terkenal seperti Verisign dan Geotrust dianggap tidak memiliki cukup informasi untuk melakukan verifikasi terhadap identitas seseorang di dalam Indonesia.
Sudah pasti ini memberi peluang bagi bisnis baru di Indonesia. Juga dalam hal audit kehandalan atau kesesuaian yang meliputi banyak paramater, dari manajemen umum, kebijakan, manajemen resiko, otentikasi, otorisasi, pengawasan, keahlian yang memadai, dan lain-lain.
Sebagian besar UU ini memang mengatur Infrastruktur Kunci Publik (Public Key Infrastructure/PKI). Untuk diketahui pada tahun 2006 sudah diterbitkan Peraturan Menkominfo 29/PERM/M. KOMINFO/11/2006 tentang pengorganisasian, pengawasan, dan pengamanan infrastruktur CA ini.
Kedua, UU ini dapat mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan internet yang dapat merugikan. Aksi membobol sistem pihak lain (cracking) kini dilarang secara eksplisit. Pencegahan terhadap sabotase terhadap perangkat digital dan jaringan data yang dapat mengganggu privasi seseorang membutuhkan suatu sistem security yang baik.
Ketiga, transaksi dan sistem elektronik beserta perangkat pendukungnya mendapat perlindungan hukum. Kini Tandatangan Elektronik sudah memiliki kekuatan hukum sehingga dianggap sama dengan tandatangan konvensional, sehingga alat bukti elektronik sudah diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Keempat, kegiatan ekonomi bisa mendapatkan perlindungan hukum, misalnya E-tourism, E-learning, implementasi EDI, transaksi dagang via, sehingga jika ada yang melakukan pelanggaran akan bisa segera digugat berdasarkan pasal-pasal UU ITE ini. Hambatan pengurusan ekspor-import terkait dengan transaksi elektronik dapat diminimalkan.
Kelima, UU ini sudah dibuat dengan menganut prinsip extra territorial jurisdiction sehingga kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dari luar Indonesia, akan bisa diadili dengan UU ini. Keenam, Penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan dengan metode penyelesaian sengketa alternative atau arbitrase. Ketujuh, UU ITE ini memberi peluang sebesar-besarnya kepada pemerintah untuk mengadakan program pemberdayaan internet (terlepas dari sisi negatifnya) untuk digunakan sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa. Public awareness harus dibangun secara kontinyu, sehingga "bahasa" internet di Indonesia menjadi bahasa yang bermartabat. Tentu saja ini harus dibarengi dengan infrastruktur yang mumpuni untuk mengurangi dampak negatifnya.
Nah, UU ITE mulai jadi polemik nasional bermula dari pengaduan Rumah Sakit Omni International terhadap Prita Mulyasari serta pengaduan pekerja infotainment melawan artis Luna Maya. Sejak itu, kontroversi perihal Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang terus merebak. Masalah itu akhirnya mendapatkan tanggapan positif dari pemerintah.
Menteri Komunikasi dan Informasi mengisyaratkan undang-undang tersebut tak tertutup kemungkinannya untuk direvisi. Menurutnya, UU ITE secara telak telah menunjukkan betapa keberadaannya bisa membuat persoalan baru yang mencemaskan di ranah hukum.
Menkominfo Tifatul Sembiring mengakui UU ITE memang masih ada beberapa kejanggalan. Tifatul mengatakan pihaknya akan lebih dahulu mengumpulkan poin-poin yang dianggap bermasalah. "Kalau dinilai layak untuk direvisi, tentu saja, kemungkinan untuk melakukannya tidak tertutup," sebut Tifatul (Harian Global, 24 Desember 2009).
Kejanggalan
Kejanggalan itu memang ada. Pertama, UU ini dianggap dapat membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan bisa menghambat kreativitas dalam ber-internet, terutama pada Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3). Pasal-pasal tersebut pada dianggap umumnya memuat aturan-aturan warisan pasal karet (haatzai artikelen), karena bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi pengguna UU ITE ini. Ancaman pidana untuk ketiganya pun tak main-main yaitu penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 milyar rupiah.
Khusus Pasal 27 ayat (3) UU ITE seperti ‘peluru mematikan’ bagi para praktisi dunia maya. Betapa tidak, KUHPidana, warisan kolonial Belanda menjerat pelaku pencemaran nama baik itu cuma ‘6 bulan’. Tetapi hukum, produk era reformasi mengganjar sampai 6 tahun. Lebih celaka lagi, aparat penegak hukum atas dasar pendekatan legalistik formal dapat pula menahan para tersangka, seperti yang pernah dialami Prita Mulyasari.
Tambahan lagi, dalam konteks pidana, ketiga delik ini berkategori delik formil, jadi tidak perlu dibuktikan akan adanya akibat dianggap sudah sempurna perbuatan pidananya. Ketentuan delik formil ini, di masa lalu sering digunakan untuk menjerat pernyataan yang bersifat kritik.
Kedua, belum ada pembahasan detail tentang spamming. Dalam Pasal 16 UU ITE mensyaratkan penggunaan ’sistem elektronik’ yang aman dengan sempurna, namun standar spesifikasi yang bagaimana yang digunakan ? Apakah mengoperasikan web server yang memiliki celah keamanan nantinya akan melanggar undang-undang?
Ketiga, masih terbuka munculnya moral hazard memanfaatkan kelemahan pengawasan akibat euforia demokrasi dan otonomi daerah. Keempat, masih sarat dengan muatan standar yang tidak jelas, misalnya standar kesusilaan, definisi perjudian, interpretasi suatu penghinaan. Siapa yang berhak menilai standarnya?
Kelima, ada masalah yurisdiksi hukum yang belum sempurna. Ada suatu pengandaian dimana seorang WNI membuat suatu software khusus pornografi di luar negeri akan dapat bebas dari tuntutan hukum.
Keenam, dampak nyata UU ITE ini akan berhulu kepada bagaimana pelaksanaannya di lapangan. Semua stakeholder atau yang berkepentingan dengan undang-undang ini diharapkan tidak salah mengartikan pasal-pasalnya, tetapi juga tidak menyalahgunakannya.
Secara yuridis pencemaran nama baik memang memerlukan norma untuk menjaga jangan sampai terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum). Regulasi mengenai pencemaran nama baik lebih merupakan aturan kebijakan (legal policy) dan terjadinya penyalahgunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE lebih berkaitan dengan penegakan hukum (law enforcement), sehingga agak sulit untuk meniadakan norma itu. UU ITE diperlukan untuk melindungi masyarakat. Aturan itu diperlukan untuk melindungi hak masyarakat dari perbuatan buruk seperti fitnah dan penghinaan melalui internet. Secara filosofis, UU ITE didesain untuk mengantisipasi perkembangan teknologi informasi dan melindungi hak warga Negara.
Masalahnya secara empirik, Pasal 23 ayat (3) UU ITE itu seringkali menyimpang pada bagian penegakan hukumnya. Substansi pasal seringkali disalahgunakan karena memang multitafsir. Penerapan pasal itu telah meresahkan masyarakat karena membelenggu kebebasan orang untuk berekspresi. Setiap orang yang ingin menyatakan pendapat berpotensi untuk dijerat dengan UU tersebut. Bahkan, pasal ini seperti ‘spiral’ dan dapat memasung kebebasan berekspresi dalam mengeluarkan pendapat. Kejadian Prita dan Luna Maya adalah contoh buruk penegakan UU ITE itu.
Revisi UU ITE penting agar isi pasal tidak lagi dapat diterjemahkan secara bebas. Dengan begitu pasal itu tidak dapat menjerat orang yang memang tidak memiliki maksud buruk. Apalagi para penegak hukum di Indonesia lebih banyak melakukan pendekatan legalistik formal. Seringkali rasa keadilan diabaikan, demi menegakkan bunyi teks undang-undang. Lebih tragis lagi, awalnya UU itu hanya ditujukan untuk mengatur kegiatan bisnis melalui media elektronik. Namun, pelaksanaannya justru digunakan untuk menjerat orang-orang yang menyampaikan kekecewaan melalui blog, facebook, twiter atau e-mail.
Kalau revisi sulit dilakukan, maka para penegak hukum dapat melakukan dekriminalisasi pasal pencemaran nama baik itu. Demi keadilan hukum, pasal dimaksud tetap dibiarkan hidup, cuma dibuat seperti mati suri saja. Persis seperti Pasal 533 KUHP. Kalau tidak juga, mengutip pernyataan Menkominfo bahwa penerapan UU ITE harus memuat titik temu, harus seimbang, tidak terlalu ketat atau terlalu longgar. Di situlah mungkin seninya? ***
========
Sumber: Analisa, 2 Januari 2010