post.png
wakil_tuhan.jpg

‘Wakil Tuhan’ di Pusaran Korupsi

POST DATE | 29 Oktober 2024

Entah siapa yang memulai menyebutkan seorang hakim adalah ‘wakil Tuhan’ di muka bumi. Tak hanya disebut ‘wakil Tuhan’, dalam persidangan majelis hakim pun mendapatkan panggilan istimewa ‘Yang Mulia’ (Ade Alawi, 2022). Sebutan tersebut menyiratkan kedudukan hakim yang terhormat dibandingkan profesi atau jabatan lain (Nurhadi, 2022). Jabatan hakim dikategorikan pula sebagai profesi yang paling beruntung, karena memiliki kekuasaan yang menentukan nasib seseorang, sehingga tidak heran hakim disebut sebagai ‘wakil Tuhan’ di muka bumi.

Sebutan “wakil Tuhan” sesungguhnya tidak pernah muncul dalam peraturan resmi mana pun. Sebagai wakil Tuhan di planet bumi, setiap putusan hakim wajib mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman). Melalui penyebutan irah-irah tersebut, hakim tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, diri sendiri, atau pencari keadilan.

Lebih dari itu, hakim bertanggung jawab kepada Tuhan. Hakim adalah kawal terakhir penegakan hukum. Sejak disumpah, diubun-ubunnya telah dipatrikan tulisan secara tegas: fiat justicia ruat coelum (keadilan harus tetap ditegakkan, walau langit runtuh). Ini kodrat hakim! (Ahmad Z. Anam, 2015).

Farid Wajdi (2017) mengatakan makna kalimat tersebut haruslah benar-benar menjadi pedoman dan dasar setiap hakim dalam mengambil keputusan sebuah perkara yang dihadapkan padanya. Membuat putusan tentu tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada pimpinan atau atasan saja, melainkan harus mampu dipertanggungjawabkan kepada para pencari keadilan, agama, dan tentu saja kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hakim sebagai aktor utama di lembaga peradilan harus mampu membuat keputusan pengadilan yang seadil-adilnya.

Sebagai aktor utama, seorang hakim ialah sosok yang istimewa, mulai tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga Mahkamah Agung. Selain itu, ada pula hakim yang bekerja menangani sengketa ketatanegaraan, yakni hakim Mahkamah Konstitusi. Selain seorang pengadil, hakim ialah seorang negarawan. Mereka ialah sosok yang berani mengenyampingkan urusan pribadinya demi memberikan putusan yang adil. Mereka ialah orang-orang yang memilih jalan kesunyian. Jauh dari hiruk-pikuk kehidupan masyarakat yang seringkali memberikan banyak godaan duniawi yang menyesatkan (Ade Alawi, 2022).

Hakim ialah profesi yang mulia (officium nobile). Integritas dan komperensi seorang hakim ialah harga mati. Dua hal ini yang melindungi mahkotanya dalam menjalankan tugas. Jika tidak memiliki kedua modal tersebut, jangan mengharapkan para hakim dapat membersihkan wajah peradilan.

Yang ada mereka mengotori lembaga peradilan, seperti dua Hakim Agung Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh, yang telah diputuskan terbukti bersalah melalui putusan hakim. Jejak kedua hakim tersebut bukan yang pertama kali di Mahkamah Agung. Benteng keadilan terakhir sudah roboh! Hal yang sama pernah terjadi di Mahkamah Konstitusi, seperti yang menimpa mantan ketuanya, Akil Mochtar dan hakim MK Patrialis Akbar.

Hakim di Pusaran Korupsi

Trio hakim Pengadilan Negeri Surabaya membuat heboh setelah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) kasus suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur, terdakwa perkara pembunuhan Dini Sera Afrianti, Rabu (23/10/2024). Ketiga hakim itu terjaring OTT Kejaksaan Agung. Ketiga hakim tersebut adalah Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo. Ketiganya kini telah ditetapkan tersangka dan ditahan (https://www.detik.com/jatim/hukum-dan-kriminal/d-7607405/hakim-pn-surabaya-ini-pernah-kena-ott-suap-tapi-cuma-dibui-5-tahun).

Tak hanya trio hakim itu, belitan kasus yang sama juga menjerat bekas pejabat Mahkamah Agung ZR. Ia juga diduga terlibat sebagai makelar kasus dalam banyaak pengurusan perkara di MA dari 2012 hingga 2022. Nama ZR, makin disoroti lantaran tim Kejaksaan Agung menemukan uang hampir Rp1 Triliun. Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar menuturkan kegiatan makelar kasus yang dilakukan ZR telah membuatnya menerima uang sebesar hampir Rp1 triliun.

ZR pada saat menjabat sebagai Kapusdiklat diduga menerima gratifikasi pengurusan perkara-perkara di MA dalam bentuk uang, ada yang rupiah dan ada yang mata uang asing. Total jika dikonversi dalam bentuk rupiah sejumlah Rp920.912.303.714. Tak cuma uang tunai, penyidik Kejagung menemukan puluhan kilogram emas ketika menggeledah kediaman ZR (https://www.tribunnews.com/nasional/2024/10/26/selain-zarof-ricar-ini-daftar- penegak-hukum-yang-jadi-makelar-kasus-ada-hakim-agung).

Kegiatan penangkapan itu hanya berselang sehari setelah Ketua Mahkamah Agung baru, Sunarto, melaksanakan Pengucapan Sumpah di hadapan Presiden Prabowo Subianto. Penangkapan tersebut terkait dugaan suap dalam vonis bebas yang diberikan kepada Gregorius Ronald Tannur. Ketiga hakim PN Surabaya yang ditetapkan tersangka merupakan majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Ronald Tannur di tingkat pertama dalam kasus pembunuhan Dini Sera Afriyanti.

Ketiganya membebaskan Ronald Tannur dari segala dakwaan. Ironisnya, penangkapan ini juga dilakukan belum genap sepekan setelah pemerintah menaikkan gaji pokok hakim sebesar 30 persen dan tunjangan jabatan hakim 40 persen sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2024 Tentang Revisi Ketiga Peraturan Pemerintah 94 Tahun 2012 Tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim di Bawah Lingkungan Mahkamah Agung. 

Kegiatan tangkap tangan terhadap hakim kembali menyingkap praktik kotor yang terjadi dalam institusi pengadilan. Selain juga menambah beban bagi para penegak hukum untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan membuktikan masih adanya persoalan profesionalisme dan integritas di kalangan hakim/aparat peradilan. Kasus di atas menambah daftar panjang pejabat pengadilan yang terjerat kasus hukum.

Jika mengutip Sebastian Pompe pernah buku menulis “The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse” dan kemudian diterjemahkan dengan judul “Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung”. Buku itu menguraikan salah satunya terkait kisah korupsi yang sangat parah atau kronis di MA sehingga menyimpulkan institusi MA telah runtuh dan hancur. Memodifikasi bahasa Pompe, bahwa masifnya suap terhadap pengadilan dapat memunculkan kondisi: Runtuhnya Institusi Pengadilan (Allan Fatchan GW, 2018).

Bagi Allan (2018) penyebutan runtuhnya institusi pengadilan bukanlah hal yang berlebihan. Selama ini, tidak hanya kasus suap yang ternyata menjadi permasalahan. Bagir Manan (Ketua MA 2001-2008) dalam forum “Tantangan Independensi Hakim Dari Perspektif Kelembagaan Peradilan di Indonesia” membeberkan sejumlah permasalahan yang sampai saat ini terjadi terkait hakim.

Beberapa masalah itu antara lain, ada hakim yang berani mengubah lamanya pidana badan yang sudah diputus majelis menjadi lebih ringan; petunjuk bukan bukti fakta; dan ada hakim yang gemar nongkrong di cafe atau restoran sampai larut malam. Kalau ke daerah lebih banyak di lapangan golf daripada berdiskusi dengan para hakim.

Jika merujuk pada data yang dikeluarkan KPK jumlah hakim yang melakukan tindak pidana korupsi (2010-Juli 2022) di lingkungan MA dan lembaga peradilan yang di bawahnya adalah sebanyak 23 orang belum termasuk Hakim Agung SD dan hakim yudisial di MA (databoks, 27/09/2022). Penangkapan trio hakim PN Surabaya tentu menambah daftar para hakim di pusaran korupsi. Peristiwa ini kian memperlihatkan kondisi lembaga kekuasaan kehakiman benar-benar mengkhawatirkan. Kasus ini juga setidaknya menambah panjang daftar hakim yang terjerat korupsi.

Sebut saja sekadar contoh daftar nama seperti: Amir Fauzi, arsip kompas, Asmadinata, Dermawan Ginting, Dewi Suryana, hakim, Herman Allositandi, Heru Kisbandono, Ibrahim, Imas Dianasari, Irwan, Iswahyu Widodo, Janner Purba, Kartini Julianna Mandalena Marpaung, Kayat, korupsi, koruptor, Merry Purba, Muhtadi Asnun, Pasti Serefina Sinaga, Pragsono, Ramlan Comel, Setyabudi Tejocahyono, Sudiwardono, Syarifuddin Umar, Toton, Tripeni Irianto Putro, sebagai hakim yang ada di pusaran korupsi (Shanty Yulia, 2021) dan sejumlah nama lainnya.

Budi Rahman Hakim (2021) mengatakan seorang bijak mengatakan, "seorang terjatuh seringkali bukan karena tersandung batu besar melainkan karena terpeleset kulit pisang... Tersedak tenggorokan itu bukan oleh tulang sapi tetapi oleh duri ikan..." Apa maksud di balik metafora kulit pisang dan duri ikan itu? Dalam kehidupan kariernya, seorang pesohor yang menapaki tangga sukses lalu terjatuh, seringkali bukan karena terbelit persoalan besar-besar. Justru karena kecakapannya menundukkan masalah-masalah besar inilah ia jadi seorang besar.

Namun, tiba saat ia terjatuh, musababnya karena terantuk masalah kecil yang disepelekan. Mengapa para hakim wakil tuhan, Yang Mulia itu tidak belajar dari banyak kasus sebelumnya? Para hakim itu, bukan hakim pemula, tetapi hakim senior, telah mengalami lika-laku jabatan hakim, mengapa mereka seperti antrean untuk di OTT?  Pertanyaannya, kok masih ada hakim-hakim yang berbuat seperti itu?

Yang pasti selama ini, independensi hakim justru menjadi impunitas untuk para oknum hakim/aparat peradilan, sehingga sangat urgen bahkan bersifat niscaya perlu diimbangi dengan akuntabilitas hakim dan peradilan. Produk hukum berupa putusan yang baik hanya dihasilkan dari hakim dan aparat peradilan yang etikanya dan integritasnya baik. Karena itu, kasus Gregorius Ronald Tanur, sepatutnya juga mendorong pendayagunaan hasil pengawasan etik oleh Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal ke arah yang lebih besar, yaitu pengaruhnya pada tingkat berikutnya, atau bahkan digunakan sebagai novum/bukti baru pada perkara lanjutannya.

Pimpinan Mahkamah Agung perlu ada langkah luar biasa untuk membersihkan praktik korupsi di sektor peradilan dan sekaligus untuk mengembalikan citra lembaga kekuasaan kehakiman di mata publik/pencari keadilan. Sangat tidak masuk akal, para pemutus keadilan yang seharusnya memiliki perilaku dan karakter terbaik justru tersangkut kasus korupsi, yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Semoga Mahkamah Agung dan para pemangku kepentingan lainnya menjadikan peristiwa ini sebagai momentum bersih-bersih lagi dan memperbaiki wajah peradilan serta menegaskan kembali betapa urgensi reformasi peradilan sebagai keniscayaan.

============

Sumber: Waspada, Jumat 1 November 2024, hlm. B3



Tag: , , , , , ,

Post Terkait

Komentar