post.png
farid-2.jpg

Berdakwah Lewat Jabatan

POST DATE | 03 April 2017

11:25 | Sunday, 11 October 2009
Farid Wajdi Lubis SH M.Hum//ISTIMEWA Farid Wajdi Lubis SH M.Hum//ISTIMEWA

Farid Wajdi Lubis SH MHum, Dekan Fakultas Hukum UMSU

Seabrek aktivitas dilakoni Farid Wajdi Lubis SH MHum. Di antaranya sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).
SELAIN aktif di bidang pendidikan formal, Farid menjadi Ketua Lembaga Hukum dan HAM PW Muhammadiyah Sumut, pengurus Kongres Advokat Indonesia (KAI) Sumut dan Ketua Bidang Advokasi Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Sumut.
Pekan lalu, bapak empat anak ini diangkat menjadi Dekan Fakultas Hukum UMSU. Bagaimana kehidupan masa kecil hingga obsesi ke depan dari Farid Wajdi Lubis SH MHum? Semua itu diungkapkannya kepada wartawan Sumut Pos, Deddi Mulia Purba di ruang kerjanya,
Rabu (7/10).

Apa cita-cita Anda semasa kecil?
Saya dilahirkan di Silaping pada 2 Agustus 1970 dengan menempuh pendidikan di SD Nomor 2 Ujung Gading. Saya melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah dan Madrasah Aliyah Muhammadiyah Tamiang.
Secara historis kekeluargaan, kami merupakan keluarga guru dan mubaligh. Bapak adalah guru madrasah yang juga menjadi mubaligh yang memberi ceramah dari satu masjid ke masjid. Sewaktu kecil tidak dapat memastikan apa cita-cita yang harus diraih. Yang penting, kehidupan kita mengalir seperti air.
Namun belakangan ingin menjadi guru. Darah guru mengalir kepada kami sehingga tak heran sudah ada tiga dari lima orang kami bersaudara, menjadi pengajar.
1Pendidikan tinggi dilalui di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan dan program magister diselesaikan pada pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Saat ini sedang mengikuti program S3 doktor di Universiti Sains Malaysia, Pulau Penang, Malaysia.

Setelah menjadi guru, apa yang Anda rasakan?
Ternyata menjadi guru memberi kenikmatan yang luar biasa. Ada penghargaan lebih kepada para guru. Ketika menjadi orang kaya ketika dihargai orang dengan ucapan terima kasih atas keberhasilan anak-anaknya.
Mengajar saat menjadi mahasiswa sudah menjadi asisten dosen.
Kebahagian lain adalah banyak sahabat. Ketika berada pada suatu tempat tertentu, dapat bertemu dengan murid dan alumni. Alhamdulillah selama ini, saya tak pernah kesepian karena memiliki banyak teman tersebut. Mereka adalah aset dan investasi yang luar biasa.
Setelah tamat diangkat menjadi dosen tahun 1997. Diberi sejumlah jabatan akademis seperti menjadi sekretaris dan kepala laboratorium Fakultas Hukum, kepala bagian hukum perdata, humanisasi negara dan hukum tata negara, sekretaris program magister ilmu hukum dan dekan.

Kini Anda telah menjadi dekan, bagaimana pola mengelola fakultas?
Saya termasuk orang yang berada digaris keras. Seperti tertib saat jam masuk dan jam keluar. Demikian pula dengan proses pembelajaran yang lebih banyak dilakukan secara otodidak.
Saya pernah ‘menyandera’ para mahasiswa supaya berani dan punya kemampuan untuk berkomunikasi di ruang terbuka dan tempat umum lainnya. Sehingga bagi sebagian orang, saya dianggap sebagai guru yang baik namun ada pula yang menilai sebagai guru yang killer.
Disiplin dan pelajaran otodidak merupakan kunci keberhasilan. Selain itu butuh kejujuran dan keberanian. Sesungguhnya kalau kita menggantungkan pada kemampuan seorang pengajar untuk melakukan transformasi nilai akan sangat terbatas.
Karenanya saya lebih cenderung memulai pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi, jaringan kerja sama dan buku yang ada. Ada suatu prinsip, kalau mau memiliki nilai lebih, harus belajar lebih keras sehingga tak sekadar yang diraih di bangku kuliah atau saat tatap muka yang hanya mencapai 50 persen.
Mendapatkan ilmu yang lebih banyak, harus dicari dengan kerja keras. Tidak boleh merasa cukup dengan ilmu yang didapatkannya apalagi saat ini dalam dunia persaingan kerja yang semakin tinggi.

Adakah kesulitan Anda ketika memberi motivasi tersebut ke mahasiswa?
Bagi saya, sepanjang mahasiswa mau tak menjadi hambatan. Alhamdullilah selama ini semua berlangsung dengan baik sehingga diharapkan mereka dapat menjadi calon birokrat, advokat atau usahawan yang sukses.
Menjadi guru harus menyadari ikhlas dan tidak boleh dendam kepada murid atau mahasiswa. Sebab dosen berperan sebagai orangtua. Dosen harus memiliki kemampuan untuk memberikan keteladanan dan tidak membeda-bedakan mahasiswa.
Memang memotivasi mahasiswa merupakan bagian paling susah. Namun hal itu harus bisa diatasi meski banyak hal unik. Saya harus melaksanakan pendekatan emosional dari hati ke hati dengan menjadikan mereka sebagai adik dan sahabat. Model pembelajaran akan berhasil apabila ada pendekatan dari hati ke hati tersebut.

Anda pernah mengurusi mahasiswa S-2 saat menjadi sekretaris pascasarjana dan kini mengurusi mahasiswa S-1. Apakah Anda tidak merasa ‘turun pangkat’ dengan jabatan baru?
Saya tidak merasakan hal demikian. Saya punya obsesi untuk advokasi pendidikan lebih mudah jika dimulai dengan menangani pendidikan S-1. Sehingga warna, corak, arah dan pola pendidikan diinjeksi melalui kurikulum S-1 apalagi untuk memutus mata rantai mafia peradilan.
Mafia peradilan akan dapat diputus, kalau tetap berpikir memberikan model-model pemikiran baru. Kita harus lakukan pencerahan kepada mereka yang baru S-1.
Di samping itu, dari sisi kepuasan, tentu ada sisi plus dan minus dari pola pendidikan di S-1 dan S-2. Termasuk dengan perbedaan jumlah mahasiswa yang lebih banyak di S-1 dan latar belakang profesi.
Mengelola S-1 dan S-2, tentu ada cara-cara tersendiri. Menghadapi mahasiswa S-2 lebih banyak menjadi sahabat, sedangkan di S-1 mendudukkan mereka sebagai anak dan lebih banyak memberi contoh keteladanan.
Memimpin FH UMSU dengan 1.700-an mahasiswa, itu memiliki tantangan tersendiri untuk meningkatkan kompetitif mahasiswa. Kalau ingin membentuk wajah FH UMSU yang lebih kompetitif dengan ahli hukum terkemuka di Indonesia dan manca negara.

Apa program utama Anda saat memimpin FH UMSU?
Program utama mengawinkan kebutuhan lapangan kerja dengan kepnetingan akademis kurikulum. Sehingga FH UMSU dapat menjadi kiblat bagi fakultas hukum lain di Sumut. Kita punya terobosan untuk peningkatan kurikulum lokal yang lebih membumi.
Di samping itu memperkuat mata kuliah yang khas seperti hukum kewarisan Islam, hukum ekonomi Islam, hukum perbankan Islam dan asuransi dan berbagai budaya Islam sehingga memberi ciri khas sendiri.

Setelah menjadi dekan, tentu Anda semakin sibuk. Bagaimana Anda membagi waktu dengan keluarga?
Kesibukan setelah menjadi dekan, kini lebih berbenah terutama untuk membaca situasi. Untuk mengatur semua kegiatan, diperlukan suatu manajemen waktu. Kegiatan di organisasi lain tetap dilaksanakan untuk memperkut basis advokasi masyarakat.
Saya menikah dengan Diana Susanti SH. Dari pernikahan ini, kami telah dikarunia empat anak yakni Muhammad Zein Azhari Wajdi Lubis, Khairunnisa Rezki Ramadhani Wajdi Lubis, Fathurrahman Al-Rasyid Wajdi Lubis dan Ahmad Fatahillah Al-Ghazali Wajdi Lubis.
Untuk mereka harus ada ada waktu jalan-jalan bersama ke Berastagi atau pinggir pantai untuk piknik dan wisata minimal sekali semester. Namun paling sering, bermain di sarana permainan pusat perbelanjaan. Belakangan ini, hak keluarga agak berkurang seiring dengan kesibukan saya menangani FH UMSU.
Mereka sejak kecil dibiasakan, mengunjungi keluarga terutama yang sakit atau meninggal sebagai proses pendidikan yang alamiah. Ini lebih aplikatif, dibandingkan dengan pendekatan ceramah.

Terhadap masa depan anak, apakah ada yang ingin mengikuti jejak Anda sebagai dosen dan penggiat publik?
Barangkali ada yang berniat menjadi notaris dan profesi lain yang berkaitan dengan bidang hukum. Karena anak paling besar masih kelas IV SD, saya belum sampai pada tahapan mereka harus menjadi apa. Bagi saya mereka, harus bisa memberi manfaat bagi orang lain. Saya akan memberi kebebasan kepada mereka untuk berkarir.
Sesuai dengan prinsip hidup, saya berhap mereka dapat menjadi manusia yang terbaik bagi orang lain dan ketidakadilan membikin perlawanan. Di satu sisi memberi manfaat yang besar bagi orang lain.

Apa kegiatan Anda dalam mengisi waktu luang?
Menulis adalah sarana mengkritik dan menggelitik kebijakan yang dianggap salah kaprah. Kumpulan tulisan diantaranya Repotnya Jadi Konsumen (Pirac-LKJ, 2003) dan Bunga Rampai Masalah Ketenagalistrikan di Indonesia (YLKI-The Ford Foundation, 2004). Selain itu mengisi waktu dengan membaca buku. (*)

———–

Tak Gentar Soroti Masalah
MELALUI berbagai wadah yang dilakoninya, Farid Wajdi Lubis SH MHum dikenal sebagai sosok akademisi, penggiat organisasi dan praktisi hukum yang tak gentar menyoroti berbagai masalah publik di Sumatera Utara.
Tahun 1999, Farid bersama teman mendirikan Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK). Lembaga ini bergerak di bidang advokasi dan edukasi kebijakan publik. Farid dianggap sebagai tokoh yang sering membela konsumen dan wong cilik lainnya.
Anak keempat dari lima bersaudara pasangan Kalim D Lubis dan Nurhalim Nasution, kini diberi amanah menjadi Dekan Fakultas Hukum UMSU. Ia pun tak meninggalkan kiprahnya sebagai Direktur LAPK dan masih aktif menyoroti masalah yang dihadapi konsumen termasuk pemadaman listrik.
Farid gigih membela konsumen yang terpinggirkan hak-hak publiknya adalah sebagai dakwah untuk melakukan amal makruf nahi munkar atau berbuat baik dan mencegah kemungkaran. Meski berhadapan dengan banyak lembaga pemerintah dan pejabat, Farid mengaku tak menghadapi banyak masalah.
‘’Dalam setiap pilihan yang dikerjakan apakah menjadi wartawan, guru atau dosen apalagi menjadi pegiat atau aktivis publik, tentu memiliki potensi tantangan dan ancaman yang lebih besar. Itu menjadi injeksi baru untuk lebih menyakinkan orang menjadi oposan. Risiko dan potensi itu bisa dillui dengan baik,’’ terang pria yang menyukai gulai ikan sale tersebut.
Ada pula anggapan pihak lain sebagai orang yang kurang kerjaan, cari popularitas dan lainnya. Dalam beberapa kasus yang ditanganinya, ia tak memperoleh hasil maksimal seperti gugatan di pengadilan beberapa waktu lalu.
Farid mengaku, pihaknya membuka mata publik terhadap kinerja instansi pemerintah yang belum maksimal sekaligus mengingatkan pemerintah mencari solusi terbaik untuk percepatan penyelesaian permasalahan yang terjadi bertahun-tahun.
Ia mengatakan. motivasi untuk memperjuangkan konsumen merupakan bentuk keterpanggilan sebagai akademisi dimana banyak masyarakat dikorbankan pengusaha dan pemerintah.
Selain itu, ia ingin ada harmonisasi antara ilmu yang didapat dengan realitas atau kenyataan di lapangan. ‘’Sebagai aktivis konsumen, ingin mewarnai kebijakan-kebijakan pemerintah demi kepentingan orang banyak,’’ terang Farid yang meraih gelar profesor sebagai gelar tertinggi akademik tersebut. (*)



Tag: Farid wajdi, Sumut pos, UMSU, LAPK

Post Terkait

Komentar