POST DATE | 16 Desember 2018
Juru bicara Komisi Yudisial dilaporkan ke polisi karena mengungkap pungutan terhadap hakim. Mahkamah Agung semestinya mawas diri. Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya seharusnya mengabaikan kasus juru bicara Komisi Yudisial, Farid Wajdi, yang dituduh mencemarkan nama.
Pernyataan terlapor yang dimuat di media massa tidak layak dibawa ke ranah hukum. Ucapan Farid tentang adanya iuran hakim untuk kejuaraan tenis justru merupakan bahan yang berguna bagi Mahkamah Agung untuk membenahi diri. Kalaupun berkeberatan terhadap pernyataan Farid, pelapor semestinya bersikap secara proporsional.
Para hakim yang mengatasnamakan Persatuan Tenis Warga Pengadilan MA tak perlu melapor ke polisi. Mereka cukup menyampaikan hak jawab atas ucapan Farid yang dimuat harian Kompas pada pertengahan September lalu itu. Koran tersebut tentu akan memuatnya dan publik pun mendapat gambaran yang lebih utuh mengenai pungutan hakim. Jika belum puas, mereka masih bisa pula mengadu ke Dewan Pers.
Pelaporan ke polisi justru mengesankan adanya upaya kriminalisasi terhadap Farid. Apalagi komisioner Komisi Yudisial ini hanya mengungkap keluhan dari sejumlah hakim di daerah soal iuran untuk kejuaraan tenis Piala Ketua Mahkamah Agung yang digelar di Bali pada September lalu. Hakim di daerah pun mengeluhkan pungutan untuk kegiatan lain, seperti merayakan hakim tinggi yang pensiun. Dalam pemberitaan itu, Farid juga menyatakan Komisi Yudisial sedang menginvestigasi keluhan yang bisa mengganggu akuntabilitas dan kredibilitas lembaga peradilan tersebut.
Kepolisian semestinya berhati-hati menerapkan ”pasal karet” pencemaran nama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Karena terlalu lentur, aturan ini mudah disalahgunakan. Polisi sebaiknya pula menghormati Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Kepolisian RI Nomor 2 Tahun 2017.
Sesuai dengan kesepakatan ini, Kepolisian harus berkoordinasi dengan Dewan Pers sebelum menangani kasus yang berkaitan dengan pers. Polisi semestinya justru mendorong agar pelapor kasus Farid menempuh jalur penyelesaian di Dewan Pers.
Menghadapi kasus pelaporan itu, Komisi Yudisial diharapkan tidak gentar. Lembaga ini harus tetap melanjutkan investigasi berbagai pungutan terhadap hakim. Persoalan laten ini sudah terjadi saat pengelolaan hakim masih di bawah Kementerian Kehakiman.
Setelah semua urusan hakim diambil alih oleh MA, persoalan serupa masih muncul seperti diungkap dalam buku Problematika Hakim dalam Ranah Hukum, Pengadilan, dan Masyarakat di Indonesia yang diterbitkan Komisi Yudisial tahun lalu.
Buku tersebut menyoroti antara lain urusan mutasi dan promosi yang kurang transparan serta tunjangan hakim yang tergerus berbagai pungutan. Iuran untuk Persatuan Tenis Warga Pengadilan pun telah disinggung dalam buku itu.
Semua hakim wajib menyumbang walaupun tidak gemar bermain tenis. Diungkap pula dalam buku itu: ”Dalam berbagai pungutan, MA menekan pengadilan tinggi, sementara pengadilan tinggi menekan pengadilan negeri.”
Mahkamah Agung semestinya justru memanfaatkan keluhan seperti itu dan pernyataan Farid sebagai bahan untuk berintrospeksi diri. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab membina para hakim, Mahkamah harus ikut memerangi pungutan yang tidak perlu. Pelaporan atas pernyataan Farid justru mengesankan adanya upaya menutup-nutupi praktik tak elok yang berpengaruh terhadap kesejahteraan dan integritas hakim.
===============
Sumber: . https://majalah.tempo.co/…/15…/buruk-mahkamah-komisi-disasar.