POST DATE | 25 November 2019
Hukum ditegakkan antara lain oleh hakim-hakim yang bertugas di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung pada dasarnya adalah kerja tim, kumpulan hakim agung, bukan potret individual. Tetapi selalu ada yang menjadi bintang. Earl Warren salah satunya. Dalam buku yang diterbitkan untuk menghormatinya, The Supreme Court Under Earl Warren (1972: 3), Warren digambarkan sebagai ‘symbol of the (US Supreme) Court, literally its head, figuratively its heart’. Ini menggambarkan betapa pentingnya peran Warren pada masa ketika Amerika Serikat menghadapi masalah rasisme.
Prof. Jimly Asshiddiqie juga mengutip kalimat Warren ketika membahas hubungan antara hukum, etika, dan agama. Hubungannya dapat berupa ‘luar-dalam’ atau ‘luas-sempit’. Dalam relasi pertama, hubungan hukum, etika dan agama laksana nasi bungkus. Hukum itu adalah bungkusnya, sedangkan nasi beserta lauk pauknya adalah etika; dan segala zat protein, vitamin yang terkandung di dalamnya adalah agama.
Dalam hubungan kedua, etika lebih luas dari hukum yang lebih sempit. Karena itu setiap pelanggaran hukum dapat dikatakan juga merupakan pelanggaran etika, tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Etika itu lebih luas, bahkan dapat dipahami sebagai basis sosial untuk bekerjanya sistem hukum. Jika etika diibaratkan sebagai samudera, maka kapalnya adalah hukum. “Law floats in a sea of ethics”, kata Warren. (Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, 2014).
Ucapan Warren itu pula yang disitir Farid Wajdi ketika memberikan pengantar untuk buku lama yang kemudian direvisi: ‘Etika Profesi Hukum’. Farid, seorang akademisi yang kini menjadi komisioner Komisi Yudisial Republik Indonesia, memandang bahwa etika adalah persoalan yang selalu aktual, malah cenderung semakin diakui sebagaimana tampak pada terbentuknya institusi-institusi penegak kode etik. Kehadiran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), misalnya, membawa paradigm baru penegakan kode etik. Dari yang semula terkesan tertutup berselimutkan espirit d’corps menjadi terbuka.
Persoalan etika sudah lama mendapat perhatian kalangan hukum, di level nasional dan internasional. Semua profesi hukum memiliki kode etik yang harus ditaati. Dalam menjalankan profesi, selalu ada tantangan dan peluang yang membuka kemungkinan pelanggaran kode etik terjadi. Profesi hukum dihadapkan setidaknya pada lima tantangan. Pertama, kualitas pengetahuan professional hukum, penyalahgunaan profesi, kecenderungan profesi hukum menjadi kegiatan bisnis, penurunan kesadaran dan kepedulian sosial, serta kontinuitas sistem yang sudah usang. Melaksanakan etika dengan baik adalah jalan bagi profesi hukum dalam menghadapi semua tantangan itu (hal. 104-105).
Penegakan kode etik tak segampang yang dibayangkan, dan tak semanis rumusan kode etiknya. Acapkali sidang kode etik digelar sekadar menghindari seseorang dibawa ke proses persidangan ajudikasi di pengadilan. Sidang kode etik malah mungkin digunakan untuk membersihkan nama orang yang dituduh. Sidang kode etik seorang politisi, misalnya, memutuskan tidak ada pelanggaran, tetapi tak lama kemudian politisi itu tersandung perkara hukum yang serius. Ironisnya lagi, adakalanya etika dan hukum dipandang tidak punya hubungan, seolah-olah dua hal yang terpisah. Seorang advokat yang terkena OTT KPK, misalnya, langsung diproses pidana. Proses penegakan kode etiknya berjalan tertatih-tatih, malah mungkin terlupa.
Buku yang ditulis Farid ini, dari sisi substansi, sama dengan referensi sejenis yang sudah banyak diterbitkan. Yang sedikit berbeda, barangkali, adalah uraian tentang beberapa konsep yang berjejalin kuat dengan etika. Setidaknya, ada tiga konsep yang diuraikan pria kelahiran 2 Agustus 1970 itu: baik-buruk, keadilan, dan hak asasi manusia.
Pertanyaannya, mengapa ketiga konsep itu penting diuraikan dalam konteks etika profesi hukum? Baik buruk adalah ukuran yang acapkali kita pakai untuk menilai perbuatan manusia. Sesuatu dikatakan baik jika perbuatan tertentu menghasilkan sesuatu yang positif dan tidak melanggar norma yang berlaku. Sebaliknya, dikatakan buruk jika perbuatan menghasilkan sesuatu yang negatif dan melanggar norma yang berlaku. Tetapi perbedaan baik dan buruk itu terkadang samar, ia sesuatu yang bersifat relatif. Maka, dalam penegakan kode etik, masalah baik-buruk itu harus dinilai menggunakan ukuran-ukuran yang sudah disepakati para penyandang profesi hukum tertentu.
Demikian pula konsep keadilan. Keadilan mendapat perhatian yang luar biasa dari para sarjana sejak era Yunani-Romawi hingga sekarang. Keadilan itu juga relatif, bergantung perasaan etis setiap anggota masyarakat. Keadilan itu, kata Morris Ginsberg (2003), berlawanan kata dengan tiga hal. Pertama, pelanggaran hukum, penyimpangan, ketidaktepatan, ketidakpastian, keputusan yang tidak terduga, tidak dibatasi oleh peraturan. Kedua, sikap memihak dalam penerapan suatu peraturan. Ketiga, aturan yang memihak atau sewenang-wenang, termasuk diskriminasi yang tidak berdasar atau diskriminasi berdasarkan perbedaan yang tidak relevan. Sudah pasti, dalam penegakan kode etik, sikap diskriminasi harus dikesampingkan.
Buku ini juga mencoba menjawab pertanyaan umum: apa sih beda antara hukum dan etika? Warren telah memberikan perumpamaan yang baik. Farid mengelaborasinya dalam bentuk tabel untuk memudahkan pembaca memahami persamaan dan perbedaan keduanya, sekaligus menjadi bekal untuk memahami uraian-uraian selanjutnya (hal. 28-29).
Cuma, ekspektasi pembaca mungkin lebih dari sekadar uraian kode etik dari masing-masing profesi hukum: polisi, jaksa, hakim, advokat, dan notaris. Farid adalah komisioner Komisi Yudisial yang sudah beberapa tahun bergelut dengan isu pengawasan hakim dan penegakan kode etik. Kisah di balik layar penegakan kode etik berdasarkan pengalamannya mungkin akan menjadi pembeda penting buku ini dari buku-buku sejenis. Atau, jangan-jangan Farid sedang mempersiapkan buku lain yang berisi pengalaman bergelut dengan penegakan kode etik hakim.
Sebelum karya terbaru Farid datang, membaca buku terbitan Sinar Grafika ini dapat memperkaya pengetahuan setiap pembaca. Semoga…
==============
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dd3685adbf78/hukum-mengapung-di-samudera-etika/