POST DATE | 19 November 2017
“Wahai orang-orang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan jadilah kamu (hidup) bersama orang-orang yang jujur” (QS. At-Taubah, 9: 119).
Abdullah bin Dinar mengisahkan bahwa suatu hari dia berjalan bersama Amirul Mukminin Khalifah Umar bin Khattab dari Madinah menuju Makkah. Di tengah perjalanan beliau bertemu dengan seorang anak gembala. Lalu, timbul dalam hati Khalifah Umar untuk menguji kejujuran dan keamanahan si anak gembala itu.
Selanjutnya, terjadilah dialog berikut ini. ''Wahai anak gembala, juallah kepadaku seekor anak kambing dari ternakmu itu!'' ujar Amirul Mukminin.
''Aku hanya seorang budak,'' jawab si gembala.
Umar bin Khattab berkata lagi, sambil membujuk: “Kambing itu amat banyak. Apakah majikanmu tahu jumlahnya? Apakah dia suka memeriksa dan menghitungnya?”
Dijawab oleh anak tersebut dengan mantap: “Tidak, majikanku tidak tahu berapa ekor jumlah kambingnya. Dia tidak tahu berapa kambing yang mati dan berapa yang lahir. Dia tidak pernah memeriksa dan menghitungnya.”
Umar bin Khattab terus mencoba membujuk: “Kalau begitu hilang satu ekor kambing, majikanmu tidak akan tahu. Atau katakan saja nanti pada tuanmu, anak kambing itu dimakan serigala. Ini uangnya, terimalah! Ambil saja buat kamu untuk membeli baju atau roti.”
Anak gembala tetap tidak terbujuk dan mengabaikan uang yang disodorkan oleh Umar.''
Anak gembala tersebut diam sejenak, ditatapnya wajah Khalifah Umar bin Khattab, lalu keluar dari bibirnya perkataan yang menggetarkan hati Khalifah Umar, ''Jika Tuan menyuruh saya berbohong, lalu di mana Allah? Bukankah Allah Maha Melihat? Apakah Tuan tidak yakin bahwa Allah pasti mengetahui siapa yang berdusta?''
Itulah sekelumit makna integritas dan tentu masih banyak percikan perilaku yang menunjukkkan keluhuran integritas. Integritas (integrity) bermakna kejujuran, ketulusan hati, keutuhan dan sempurna, tidak ada cacat.
Lawan dari integritas adalah hipocricy atau kemunafikan. Tetapi lawan kata integritas yang paling tepat bagi Stepen L. Carter (1999) adalah korupsi, yakni lolosnya segala sesuatu yang diketahui keliru.
Dalam literatur Islam, istilah yang dekat untuk term 'integritas' adalah ihsan, yakni yang membawa kepada kesadaran atas segala tindakan perilaku hidup dalam kehidupan yang senantiasa merasa diri ini diawasi oleh Allah Sang Khalik. Sikap ihsan (seseorang yang berintegritas) akan melakukan segala sesuatu dengan baik dan benar, kendati tak seorangpun melihat atau tahu apa yang dilakukannya.
Integritas merupakan unsur fundamental bagi seseorang. Integritas memberikan kuasa kepada kata-kata, memberikan kekuatan bagi rencana-rencana dan memberikan daya (force) bagi tindakan. Integritas adalah sikap teguh pada seperangkat aturan moral atau kode etik, tanpa tergoyahkan dan tetap kokoh (istiqomah), utuh, serta tidak mendua hati.
Celli Rossa mengutip Andreas Harefa (2008) menjelaskan bahwa integritas itu dapat diartikan menjadi tiga tindakan kunci (key action) yang dapat diamati (observable) yaitu:
Pertama, menunjukkan kejujuran (demonstrate honesty), yaitu bekerja dengan orang lain secara jujur dan benar, menyajikan informasi secara lengkap dan akurat.
Kedua, memenuhi komitmen (keeping commitment), yaitu melakukan apa yang telah dijanjikan, tidak membocorkan atau mampu rahasia.
Ketiga, berperilaku secara konsisten (behave consistently), yaitu menunjukkan tidak adanya kesenjangan antara kata dan perbuatan.
Dari integritas itu kemudian memantul sikap konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan serta prinsip. Integritas bertautan pula dengan sikap kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Termasuk juga keluhuran integritas, yakni kesediaan untuk menegakkan keadilan (QS. An-nisa’, 4: 135).
Tetapi Stepen R. Covey (2006) masih membedakan makna kejujuran dan integritas. Menurutnya kejujuran itu berarti menyampaikan kebenaran, dan ucapannya sesuai dengan kenyataan. Lalu, integritas membuktikan tindakannya sesuai dengan ucapannya. Orang yang memiliki integritas dan kejujuran akan menunjukan otentitas dirinya sebagai orang yang bertanggung-jawab dan berdedikasi.
Orang yang berintegritas dipercayai karena ucapannya juga menjadi tindakannya. Berintegritas karena mulut dan hatinya tidak bertengkar. Tiada pertentangan sikap, karena memiliki pendirian dan punya komitmen dalam setiap amalannya (QS. Fushilat, 41: 30).
Kualitas integritas terlihat pada keutuhan yang berasal paduan kejujuran dan konsistensi (QS. Al-Baqarah, 2: 42). Orang yang berintegritas akan mendapat kepercayaan dari orang di sekelilingnya, komunitasnya atau dari siapapun yang mengenal karakternya (QS. Al-Anam, 6: 82).
Orang yang berintegritas tidak akan mengorbankan diri, kemuliaan profesi dan jabatan hanya untuk uang, jabatan atau untuk kepentingan sesaat. Keteguhan sikap demikian melahirkan sikap profesional yang memiliki kualitas dan integritas tinggi.
Secara aktual guna mendukung penguatan integritas diperlukan pula penguatan etika. Perlu dipahami bahwa etika terkandung tidak hanya dalam ajaran agama dan ketentuan hukum, tetapi juga dalam social decorum berupa adat istiadat dan nilai luhur sosial budaya. Etika tidak berkaitan dengan pembuatan regulasi, sebab faktanya semakin banyak peraturan dibuat, semakin jauh manusia itu dari keadilan (Cicero, filosof Romawi kuno).
Azyumardi Azra (2017) menjelaskan sepatutnya etika mesti dipahami sebagai sejumlah bentuk perbuatan baik atau kebajikan yang mesti dijalankan dan perbuatan buruk yang mesti ditinggalkan seperti: baik dan buruk; benar dan salah; kebajikan dan kemungkaran; manfaat dan mudarat; kehati-hatian dan kelalaian; karakter dan keurakan.
Selain itu, jika merujuk pada etika pada kearifan masyarakat sesungguhnya terdapat banyak nilai budaya -yang sering tumpang tindih dan berpadu dengan nilai dan ajaran agama- seperti etos kerja yang tinggi untuk menjalankan tugas sebaik mungkin; disiplin dalam pelaksanaan pekerjaan dan tugas; jujur dalam pelaksanaan tugas; amanah dalam memegang setiap tanggung jawab; bertanggung jawab (akuntabel) dalam tugas; adil dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai masalah; malu melakukan kesalahan; dan patuh pada tatanan hukum, ketentuan dan ketertiban.
Masalahnya dalam prakteknya nilai-nilai tersebut tidak bisa berdiri sendiri, sebab etika lebih merupakan himbauan moral daripada kewajiban yang mesti dilaksanakan lengkap dengan sanksi-sanksi hukumnya.
Karena itu, aktualisasi nilai-nilai itu selain memerlukan sosialisasi dan pembudayaan terus menerus, juga meniscayakan dukungan penegakan hukum konsisten, yang memiliki kekuatan memaksa, sehingga nilai-nilai tersebut benar-benar teraktualisasi dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara bangsa.
Pantulan integritas terlihat pada pemuliaan hidup yang menempatkan manusia dalam hidupnya yakni senantiasa berbuat untuk kemaslahatan manusia. “Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat untuk manusia lainnya” (HR. Thabrani dan Daruquthni).
Jadi, dari keluhuran integritas pribadi tecermin pola pikir, sikap jiwa, dan gerakan hati nurani seseorang yang dimanifestasikan dalam ucapan, tindakan dan perilaku: jujur, konsisten, berkomitmen, objektif, berani bersikap dan siap menerima risiko, serta disiplin dan bertanggung jawab (Abdullah Hehamahua, 2016).
Analogi keluhuran integritas menjadi hilang manakala seseorang 'berkompromi' dengan tema-tema kejahatan, keburukan, dan hal-ihwal yang bersifat kerusakan. Tentu lebih celaka lagi, jika seseorang terdengar baik dalam berteori namun ternyata yang diperbuat jauh panggang dari api. Membiarkan pecah kongsi otak, mulut dan hati.
Akhirnya meminjam Faisal Basri (2015) integritas tidak akan hadir hanya dengan dipidatokan. Masyarakat berintegritas tidak muncul karena menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah. Melainkan, integritas akan mengemuka jika terinternalisasi lewat mekanisme insentif dan disinsentif dan dipancarkan oleh para pemimpin formal dan informal.
Integritas adalah sebuah keunggulan diri pribadi yang menjadikan seseorang hidup lebih sehat dan tanpa beban, karena mereka menjalankan hidupnya jauh dari aneka kepura-puraan dan kepalsuan. Keluhuran integritas bakal terlihat kepada perilaku kesalihan ibadah (hablumminallah), kesalihan sosial (hablumminannas), dan kesalihan politik atau kesalihan kepemimpinan (siyasah) dari seseorang, komunitas atau pemegang mandat profesi atau pejabat publik.
Faisal Basri melanjutkan bahwa catatan sejarah menukilkan banyak para penegak hukum yang berintegritas. Banyak guru yang penuh dedikasi dan berkarakter, dan banyak pemimpin bangsa yang berkepribadian terpuji. Banyak kepala daerah yang melakukan pembaruan nyata tanpa kerap mengampanyekan dirinya di media massa.
Satpam atau pembersih kantor yang menyerahkan jutaan uang yang ditemukannya ketika bertugas karena merasa bukan haknya. Benih-benih integritas ada dalam masyarakat maupun pribadi-pribadi manusia Indonesia.
Namun benih-benih kebaikan itu tertutup oleh praktek-praktek tak terpuji yang setiap hari dijumpai, terutama yang dipamerkan para penegak hukum dan elit pemimpin. Wallahu a'lam bishshawab!
Bagi pribadi yang tidak berintegritas berpotensi mengalami nasib malang dalam perjalanan hidupnya jika tidak mau berbenah diri. Bagi yang hanya memikirkan diri sendiri, tidak memupuk modal sosial atau tidak peduli terhadap sekelilingnya -apalagi terhadap kelompok masyarakat yang lemah- sangat berpotensi mengalami ekslusi sosial.
Tidak ada yang menolong ketika menghadapi kesulitan, dan ketika tiba ajalnya tak banyak sanak famili dan handai taulan yang mengantarkan jasadnya ke penguburan. Na'udzubillahi min dzalik!
==============
Sumber: Majalah Komisi Yudisial, Edisi Oktober-Desember 2017