post.png
Kriminalisasi.jpg

Kriminalisasi dan Negara Totaliter

POST DATE | 01 Agustus 2017

Konflik Komisi Pemberantasan Korupsi vs Polri melambungkan terminilogi kriminalisasi. Uniknya masing-masing pihak yang berseteru saling menyematkan sebutan kriminalisasi itu ke pundaknya. Masalahnya dari pihak KPK, Bareskrim Markas Besar Polri telah menjadikan dua (mantan) pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka. Badan Reserse Kriminal Mabes Polri telah mendudukkan Abraham Samad (AS) sebagai tersangka,  menyusul Bambang Widjojanto (BW) yang lebih duluan ditetapkan sebagai tersangka.

Sebaliknya ada pula pihak yang menyebut kalau yang sedang dikriminalisasi saat ini sesungguhnya bukanlah KPK melainkan Polri melalui penetapan (calon Kapolri pada waktu itu) Budi Gunawan sebagai tersangka. Jadi, kriminalisasi itu bukan pada KPK, tetapi kepada Polri lewat Budi Gunawan, dan seterusnya.

Prokontra penetapan para tersangka, dan begitu pula penetapan AS dan BW adalah proses saling mengunci lewat term kriminalisasi. Terlepas dari kontroversi seteru KPK vs Mabes Polri, apa sesungguhnya makna kriminalisasi itu?

Untuk menerjemahkan makna itu Soerjono Soekanto (1981: 62) mengatakan kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana namanya. 

Henry Campbell Black (1979: 337) menafsirkan kriminalisasi sebagai membuat suatu perbuatan menjadi perbuatan kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara kerja atas namanya. Senada dengan itu pula Soetandyo Wignjosoebroto (1993: 1) mendefinisikan kriminalisasi sebagai suatu pernyataan bahwa perbuatan tertentu harus dinilai sebagai perbuatan pidana yang merupakan hasil dari suatu penimbangan-penimbangan normatif (judgments) yang wujud akhirnya adalah suatu keputusan (decisions).

Akhirnya  Sudarto (1986: 31), mengunci makna kriminalisasi sebagai proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya Undang-Undang, dan karenanya perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana.

Jadi, kriminalisasi adalah tindakan atau penetapan suatu perbuatan biasa -sebelumnya bukan tindakan kriminal- sebagai perbuatan kriminal, sehingga dapat dipidana berupa sanksi hukum oleh pemerintah. Atau secara sederhana dapat dimaknai adanya perubahan nilai yang menyebabkan sejumlah perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan yang tidak tercela dan tidak dituntut pidana, berubah menjadi perbuatan yang dipandang tercela dan perlu dipidana.

 

Secara normatif lawan kata kriminalisasi adalah dekriminalisasi. Dekriminalisasi terjadi karena perubahan sosial, perbuatan-perbuatan tertentu yang dulu dikualifikasikan sebagai perbuatan tercela atau merugikan masyarakat, kini dianggap sebagai perbuatan yang wajar dan tidak tercela. Dengan kata lain, dekriminalisasi adalah suatu proses tatkala suatu perbuatan yang merupakan kejahatan karena dilarang dalam perundang-undangan pidana, tetapi kemudian pasal yang menyangkut perbuatan itu dicabut dari perundang-undangan. Oleh itu, perbuatan itu bukan lagi kejahatan.

Negara Totaliter vs Demokratis

Dalam pandangan Salman Luthan (2009) ada perbedaan persepsi sangat tajam dalam memaknai jenis perbuatan yang dapat dikriminalisasi. Ada jenis perbuatan yang dapat dikriminalisasi tersebut bukan hanya meliputi perbuatan yang secara esensial mengandung sifat jahat, tetapi juga mencakup perbuatan netral yang secara hakiki tidak mengandung unsur jahat.

Perbedaan tafsir muncul disebabkan adanya perbedaan nilai dan norma yang dianut oleh kelompok-kelompok masyarakat, baik karena pengaruh latar belakang agama dan budaya, maupun karena pengaruh latar belakang pendidikan dan kelas sosial dalam masyarakat. Perbedaan nilai dan norma mempengaruhi penilaian terhadap perbuatan apa yang patut dikriminalisasi dan berpengaruh juga terhadap penilaian atas gradasi keseriusan perbuatan yang dikriminalisasikan.

Beliau menambahkan bahwa kompleksitas kriminalisasi juga tampak dalam beragamnya pilihan instrumen pengaturan kehidupan masyarakat karena sebenarnya hukum pidana hanya satu bagian saja dari instrumen pengaturan kehidupan sosial yang tersedia.

Instrumen pengaturan kehidupan sosial lainnya adalah hukum perdata, hukum administrasi, moral, agama, disiplin, dan kebiasaan. Hukum pidana tidak boleh ditempatkan sebagai instrumen pertama (primum remedium) untuk mengatur kehidupan masyarakat, melainkan sebagai instrument terakhir (ultimum remedium) untuk mengontrol tingkah laku individu dalam kehidupan bersama. Karena itu, penggunaan hukum pidana untuk mengatur masyarakat mengenai aktivitas tertentu bukan suatu keharusan, melainkan hanya alternatif dari instrumen-instrumen pengaturan yang tersedia.

Soal kasus Abraham Samad misalnya. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moch. Mahfud MD menilai terkait dugaan pemalsuan dokumen yang dilakukan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu, bukanlah pelanggaran serius (mala prohibita). Oleh itu, menurut Moch. Mahfud MD harus dibedakan konsepsi antara “mala insa” dengan “mala prohibita”.

Menurut Moch. Mahfud MD, mala insa dan mala prohibita adalah dua pelanggaran yang bertolak belakang. Mala insa adalah melakukan tindakan pelanggaran hukum selain melanggar aturan resmi juga melanggar aturan dalam masyarakat. Mala prohibita pelanggaran aturan tetapi sebenarnya tidak merugikan apa-apa. Jadi, seandainya prohibita (kalau hal-hal sepele) itu dijadikan kasus kriminal serius, maka (jumlahnya) bisa ratusan ribu di negeri ini (Kompas, 6/2/15). Tentu kepolisian akan kerepotan sendiri memeriksa dan menyidik atau menangani kasus yang terkesan sepele itu.

Padahal dalam perubahan sosial, hukum pidana harus digunakan secara hemat karena sanksi pidana merupakan sanksi hukum yang paling keras dan dapat menimbulkan stigma bagi orang yang dijatuhi sanksi tersebut. Penggunaan hukum pidana untuk mengatur aktivitas masyarakat menunjukkan kecenderungan berlebihan di negara-negara totaliter dan relatif hemat di negara-negara demokratis. Hukum pidana harus digunakan secara hemat bila tertib sosial berjalan secara baik, dan dapat digunakan secara berlebihan bila kondisi sosial tidak tertib hukum merupakan resultante dari perubahan masyarakat.

Atas dasar itu, dalam kasus KPK vs Polri (Komjen Budi Gunawan) dapat dinilai apakah proses penanganannya melalui pendekatan negara totaliter atau negara demokratis? Jika hukum pidana diobral dalam mengatur aktivitas masyarakat bermakna negara cenderung masuk dalam bingkai totaliter.

Pilihan penggunaan model pendekatan negara totaliter atau negara demokratis untuk mengatur aktivitas masyarakat sangat memengaruhi susunan masyarakat baik sendi-sendi kehidupan bersama maupun perubahan nilai-nilai budaya. Bahkan secara khusus memengaruhi alam pikiran, mentalitas dan jiwa penghuni suatu negara.

Konteks penegakan hukum dalam ritme perubahan sosial, penggunaan hukum pidana semestinya penguasa negara harus hemat bila tertib sosial masih berjalan dengan baik. Sebaliknya penguasa negara boleh menggunakan hukum pidana jika kondisi sosial sudah tidak tertib. Pertanyaan, apakah kriminalisasi dilakukan karena sudah tidak tertib? Atau kriminilasasi terjadi karena ada kepentingan untuk membawa negara ke arah penguasa otoriter? Jika tidak, mengapa pelbagai bentuk kriminalisasi penguasa negara digunakan sebagai senjata untuk meredam pemberantasan korupsi di negeri ini?

 

=========

Sumber: Medan Bisnis,   23 Februari 2014



Tag: , , ,

Post Terkait

Komentar