POST DATE | 30 April 2018
Kasus hukum yang terjadi di Indonesia, seringkali menimbulkan pendapat pro dan kontra yang kemudian mencuat menjadi bahan perbincangan publik. Salah satu penyebabnya hakim seringkali mempunyai persepsi maupun penafsiran yang berbeda dalam menangani suatu kasus. Padahal sebenarnya landasan hukum dan aturan main (rule of game) yang digunakan sama, sementara penafsiran ini berdalih sebagai wujud dari kebebasan hakim.
Memang untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara dilindungi dan diberi kekuasaan yang merdeka dan bebas oleh negara dari berbagai intervensi dari pihak manapun dan dalam bentuk apapun. Wewenang tersebut berfungsi sebagai jaminan ketidakberpihakan hakim kecuali terhadap hukum dan keadilan demi terselenggaranya negara hukum (Fahmiron, 2016).
Peradilan dengan kekuasaan yang merdeka dan bebas sebagai jaminan ketidakberpihakan hakim disebut dengan independensi kekuasaan peradilan (Bagir Manan, 2005).
Merujuk pada realitas yang ada menurut Benyamin Mangkudilaga dalam Antonius Sudirman tekanan atau gangguan atas independensi tidak hanya datang dari aktor politik, seperti jajaran pemerintah (eksekutif), atau politisi (legislatif), tapi juga banyak pihak lain, seperti: (a) mereka yang punya pengaruh karena materi (kuat dalam soal materi), (b) pengaruh karena mempunyai jabatan, (c) kuat karena mempunyai kekuatan fisik (massa), pihak yang mampu membuai hakim dan jajaran peradilan lainnya dengan bujukan nafsu maksiat dan lain sebagainya (Antonius Sudirman, 2007).
Karena itu, sikap independen dan menjauhkan diri dari pengaruh apapun, siapapun dan dalam situasi apapun adalah bersifat niscaya (mutlak) sebagai jaminan independensinya peradilan/hakim.
Jaminan independensi peradilan sejalan dengan maksud The Bangalore Principles of judicial Conduct. Dalam The Bangalore Principles itu, tercantum adanya 6 (enam) prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, yaitu prinsip-prinsip independensi (independence), ketidakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan (propriety), kesetaraan (equality), dan kecakapan dan kebersamaan (competence and diligence).
The Bangalore Principles menegaskan bahwa independensi kekuasaan kehakiman mempunyai aspek “individual” dan “institusional”. Dalam independensi individual, terdapat dua cara untuk menjamin independensi tersebut.
Pertama, seorang hakim harus dilindungi dari ancaman, sehingga tidak takut atau ragu dalam proses pengambilan keputusan.
Kedua, metode seleksi hakim dan prinsip etika yang diberlakukan kepada mereka, harus dibangun sedemikian rupa untuk meminimalkan risiko korupsi dan pengaruh dari luar.
Prinsip-prinsip tentang independensi lembaga peradilan juga tercantum pada instrumen internasional Basic Principles on the Independence of Judiciary, 1985 dan disahkan dalam resolusi Majelis Umum PBB No. 40/32 tanggal 29 November 1985 dan No. 40/146 tanggal 13 Desember 1985.
Prinsip independensi lembaga peradilan memberikan hak dan mengharuskan lembaga peradilan untuk memastikan bahwa proses peradilan dilaksanakan secara adil dan bahwa hak-hak para pihak dihargai.
Richard D. Aldrich dalam Efik Yusdiansyah (2011) membagi kekuasan kehakiman yang merdeka ke dalam dua pengertian, yaitu: kemerdekaan personal (personal independent) dan kemedekaan substantif (substantive independent).
Independensi personal dan substantif bertujuan untuk menghindari pengaruh baik bersifat internal maupun eksternal; baik secara politik maupun secara ekonomi. Kewajiban hakim dalam menjalankan fungsinya hanya berpedoman kepada aturan-aturan hukum (Fahmiron, 2016).
Untuk memastikan independensi tersebut diperlukan imunitas yudisial sebagai syarat mutlak tegaknya kemandirian peradilan (independence judiciary).
Kemandirian peradilan merupakan inti dari tegaknya hukum. Karena itu imunitas yudisial wajib dipertahankan dan ditegakkan bukan saja oleh para hakim dan lembaga negara tetapi juga oleh pencari keadilan (Artidjo Alkostar, 2013).
Bagir Manan (2005) menyatakan sesunguhnya independensi sudah menjadi suatu hal yang melekat bahkan menjadi salah satu sifat kekuasaan kehakiman. Karakterisitik utama lembaga peradilan yang independen, yakni: kekuasaan kehakiman adalah badan yang merdeka lepas dari campur tangan kekuasaan lain; dan hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan asas pemisahan kekuasaan, daripada pembagian kekuasaan.
Urgensi membangun dan mempertahankan independensi adalah dalam rangka memulihkan kepercayaan publik dan membangun peradilan yang berwibawa (Syarif Mappiasse, 2015).
Kebebasan hakim ini menjadi substansi independensi peradilan. Peradilan akan tetap terjaga kredibilitas dan kewibawaannya bilamana independensinya dapat dijaga oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini hakim. Independensi ini di antaranya ditunjukkan dengan melakukan penafsiran atau interpretasi hukum tanpa dipengaruhi dan dirusak oleh kepentingan politik, ekonomi, dan aspek lainnya, yang diorientasikan untuk menegakkan keadilan (Hikmawanto, 2012).
Meluruskan Makna
Substansi utama negara hukum adalah kekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka, mandiri atau independen. Dengan begitu, dapat dipastikan tanpa terjaminnya independensi kekuasaan kehakiman maka sudah tentu akan runtuhlah fondasi suatu negara hukum.
Kebebasan hakim mempunyai dua sisi yaitu bebas dalam arti terlepas dari pengaruh kekuasaan lain dan juga bebas untuk mempersepsi dan menginterpretasi hukum dan mengadili menurut persepsi dan interpretasinya.
Independensi hakim itu pantulannya dapat dilihat pada putusan hakim. Karena itu, putusan hakim, khususnya bagian pertimbangan hukum dan amar putusan adalah sebagai mahkota dari hakim.
Kesucian mahkota hakim itu dapat dijaga atau tidak, berkaitan dengan pertanyaan, apakah suatu putusan, khususnya bagian pertimbangan hukum dan amar putusannya telah didasarkan dan diputus berdasarkan peristiwa, fakta, doktrin, teori dan filsafat hukum. Bagaimana pula cita hukum (rechts idee) putusan tersebut yang berpucuk pada hukum, keadilan dalam perspektif hak asasi dan kepentingan publik (sebagai pantulan hukum yang hidup dimasyarakat).
Secara hakikat putusan pengadilan (hakim) secara ideal harus mewujudkan harapan pencari keadilan. Putusan hukum hakim yang mencerminkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat. Untuk itu ada beberapa unsur yang harus dipenuhi dengan baik dalam putusan hakim.
Meminjam Gustav Radbruch dalam Sudikno Mertokusumo (2004) idealnya dalam suatu putusan memuat tiga unsur, yaitu keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit).
Namun memang bukan hal yang mudah untuk dapat mengakomodir ketiga unsur tersebut, karena bisa terjadi perbedaan dalam menentukan aspek mana yang seharusnya menjadi pertimbangan utamanya (Hikmawanto, 2011).
Secara ideal, prinsip independensi peradilan melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya.
Kemandirian peradilan bukanlah kebebasan absolut atau tanpa batas, tetapi kemandirian yang didasarkan oleh norma yuridis, kode etik profesi, dan norma moral. Bukti kemandirian peradilan ditentukan oleh peran hakim dalam menangani atau menyelesaikan perkara hukum, yang selain berdasar keyakinannya, juga tidak karena adanya pengaruh dari kekuatan yang berasal dari pihak manapun.
Dalam posisi ini, jelas peran lembaga peradilan sangat menentukan, jika ia mampu menunjukkan kinerjanya sebagai pilar negara hukum yang diharapkan masyarakat. Menurut Hikmawanto, independensi peradilan merupakan kunci utama yang menentukan wajah hukum. Sebab itu, independensi peradilan ditentukan oleh model kinerja hakim (Hikmawanto, 2012).
Kebebasan dalam menjatuhkan putusan harus benar-benar ditunjukkan sebagai kebebasan yang berdasarkan hati nurani, dan kebenaran. Bukan putusan dengan pertimbangan kepentingan personal atau tendensi yang berurusan dengan kepentingan mendapatkan uang, penghargaan, atau janji jabatan tertentu.
Harus disadari bahwa kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungan-jawab atau akuntabilitas, yang kedua-duanya itu, independensi dan akuntabilitas pada dasarnya merupakan kedua sisi koin mata uang saling melekat.
Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Mekanisme akuntabilitas tidak bisa dilihat sebagai ancaman terhadap independensi, melainkan lebih untuk menumbuhkan kepercayaan publik terhadap hakim dan peradilan.
Sebagaimana dalam sistem demokrasi dikenal suatu adagium tidak ada kekuasaan tanpa akuntablitas. Semua cabang kekuasaan negara harus dapat dipertanggungjawabkan. Hakim dan peradilan bukanlah pihak yang dikecualikan dari mekanisme akuntabilitas ini.
Jika tidak, menurut Brian Z. Tamanaha dalam Oce Madril (2011), kekuasaan hakim tersebut akan berujung pada penyalahgunaan kekuasaan. Pada titik inilah, rule of law (ketentuan hukum) berubah menjadi rule by judges (ketentuan hakim).
Jadi, tiada pilihan lain, hakim haruslah akuntabel. Putusan dan perilakunya harus dapat dipertanggungjawabkan secara publik. Putusan pengadilan yang berkualitas tentunya berasal dari para hakim yang berkualitas dan mempunyai kredibilitas yang baik.
Mekanisme akuntabilitas tidak hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban, melainkan juga untuk memperkuat independensi dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Karena itu, dalam hal konstruksi perilaku hakim, tameng independensi hakim tak berarti dalam ranah perilaku. Hakim tidak boleh di atas hukum. Sebab independensi hakim sebagai individu berada dalam pikiran dan nuraninya yang tercermin dalam putusannya.
Namun bukan berarti putusan pengadilan tanpa akuntabilitas hukum yang tidak dapat dikoreksi atau dinilai melainkan terdapat mekanisme koreksi yudisial.
Perlu dipahami, semata-mata memercayakan independensi hukum dan keadilan di atas pundak tertentu merupakan suatu kenaifan. Sebab tak ada jaminan sama sekali bahwa hal itu akan senantiasa terwujud. Independensi tanpa batasan berpotensi terjadinya kekuasaan yang sewenang-wenang.
Batasan kemandirian ini bukan dimaksudkan untuk membatasi atau menghilangkan kebebasan hakim, tetapi mengawal kebebasan hakim supaya tidak terjadi “tirani peradilan (Burhanuddin, 2011).
==============
Sumber: Waspada, Rabu, 9 Mei 2018