POST DATE | 25 September 2017
Pesta demokrasi bernama Pemilu 2009, tinggal menghitung hari. Apabila dicermati pesta rakyat kali ini sungguh menarik. Betapa tidak, karena kontestan pemilu begitu banyak dengan jumlah calon legislatif ribuan orang. Kontestan pemilu sebanyak 38 partai (bahkan di NAD masih ada 6 lagi partai lokal).
Memang yang namanya pesta baru asyik dan semarak kalau diikuti banyak orang. Jadi, pesta demokrasi makin asyik manakala disokong dengan jumlah kontestan sebanyak 44 partai. Makin asyik lagi, karena usai pesta itu bakal terpilih anggota legislatif (aleg) baru baik di DPR, DPRD dan DPD.
Pemilihan umum adalah proses seleksi ideal guna mencari wakil di legislatif. Bagi konstituen memilih wakil bukan sekadar contreng, sebab bakal dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Ketika memilih dan menggunakan hak pilih itu, maka pastikan hak itu dipergunakan dengan benar. Memilih dan memilah wakil yang benar, dan yang mau mengemban amanah.
Pilih calon anggota legislatif yang memiliki karakater kuat. Jangan pilih caleg dengan gaya politik machiavelistik dan materalistik yang menghalalkan segala cara mencapai tujuannya. Pastikan caleg yang tidak sekadar peduli, tetapi berpihak pada kepentingan konstituen. Memilih caleg yang tidak mau korupsi dan menggadaikan kepercayaan konstituennya. Lebih penting lagi, memilih caleg yang tidak mau korupsi.
Karena dalam konteks politik, gerakan antikorupsi dan pembentukan pemerintahan yang bersih juga harus menjadi agenda politik dalam Pemilu 2009. Seluruh partai politik didesak dan didorong agar memiliki komitmen yang tinggi untuk pemberantasan korupsi dan lahirnya kepemimpinan nasional yang kuat dan bersih.
Gerakan anti-politisi busuk juga harus diletakkan dalam konteks kontrol dan penguatan fungsi partai politik dalam pemberantasan KKN serta lahirnya rezim pemerintahan baru hasil Pemilu 2009 yang bersih KKN serta membawa Indonesia keluar dan krisis menuju fase baru yang lebih berkemajuan.
Indonesia ke depan memerlukan elit-elit nasional yang berkarakter kuat, bermoral tinggi, tegas dalam mengambil keputusan dan bersikap, memiliki visi yang luas, mempunyai kemampuan kepemimpinan yang berkualitas, dan benar-benar mencintai rakyat sebagaimana watak negarawan. Bukan para elit pemulung atau aji mumpung, bermental lembek, dan kepemimpinan di bawah standar.
Perilaku Buruk
Terdapat contoh buruk terkait perilaku buruk anggota legislatif episode hasil pemilu 2004. Setidaknya publik sering dikejutkan berita media massa tentang perilaku pejabat (ambtenaar) yang sangat memalukan.
Ada korupsi, nepotis, bahkan ‘kado’ perempuan. Tidak hanya Eksekutif dan Legislatif, yang selama ini memang dikenal korup. Pejabat Yudikatif, yang mestinya menjadi pagar perilaku semua pejabat yang menjalankan roda pemerintahan negeri ini ikut menjadi ‘tikus’ yang tak kalah rakus.
Celaka dua belas, para pejabat itu tidak cukup puas dengan hasil korupsi yang berupa uang dan sejumlah kekayaan lain. Perempuan yang mestinya mereka lindungi sebagai pengejawantahan penyamaan martabat dengan kaum lelaki, malah ikut dilumat menjadi obyek pemuas nafsu setan mereka. Tidak kurang dari Al Amin Nasution, Max Moein, Yahya Zaini, yang semuanya adalah anggota Dewan yang terhormat.
Ketika kasus Yahya Zaini dengan Maria Eva mencuat, tahun lalu, seorang anggota DPR RI dari PDIP, Permadi, mengatakan bahwa munculnya persoalan itu merupakan apes-nya Yahya. Sebab, sebenarnya tak terhitung lagi jumlah anggota Dewan yang berperilaku seperti Yahya Zaini. Bahkan ada yang berani melakukan di ruang kerja, di gedung DPR.
Kelakuan para ambtenaar seperti itu sebenarnya bukan lagi asing bagi rakyat jelata. Sebab, mereka sesungguhnya yang menjadi korban ulah pejabat. Mulai soal mengurus KTP sampai soal berbagai perijinan, tak luput dari ‘sogokan’ yang berupa uang, fasilitas, bahkan perempuan. Dan itu sejak dulu.
Namun tak satu pun rakyat yang berani mengungkap persoalan itu ke permukaan. Mau lapor ke aparat penegak hukum, ternyata setali tiga uang, sama saja. Yang terjadi kemudian hanya bisik-bisik. Maka jadilah ‘rahasia umum’.
Parahnya moral ambtenaar yang semakin jauh dari norma agama itu sebenarnya dipicu oleh banyak sebab. Selain nepotis, yang lebih pokok adalah terjadinya pergeseran nilai yang mengangkat status sosial seseorang.
Dulu, seseorang dinilai berhasil ketika mampu berperilaku agamis, moralis, dan berpikiran cerdas. Kini, nilai itu bergeser, dan menjadikan kekayaan materi menjadi acuan keberhasilan. Maka kemudian kekayaan materi menjadi sasaran utama pengejaran seseorang, sebagai upaya menaikkan status sosial.
Tak heran bila kemudian banyak ditemui uang menjadi modal utama mencapai kekuasaan formal. Tentu dalam perjalanan berikutnya, para ambtenaar akan mencari uang untuk mengembalikan modal plus keuntungan. Tak peduli dari mana pun asalnya. Pandangan menjadi silau, tak tahu mana hak negara, hak rakyat, atau hak diri. Semua menjadi kabur.
Kalau kita mau jujur, untuk memutus mata rantai lingkaran kejahatan itu tidaklah terlalu sulit. Sebab, muara dari semua persoalan itu tergantung pada moral. Ketika moral (agama) menguasai setiap insan bangsa ini, tentu kejahatan birokrasi bisa diminimalisir. Dan itu bisa dimulai dari proses pendidikan di sekolah-sekolah sampai pada proses rekrutmen ambtenaar.
Moral perlu ditekankan dalam semua lini kehidupan bangsa ini. Lebih-lebih polisi, jaksa, dan hakim, sangat memerlukan pengedepanan moral sebagai bekal. Demikian juga dengan semua Eksekutif dan Legislatif.
Tanpa landasan moral mumpuni, para penguasa itu justru yang menjadi biang keladi kerusakan bangsa ini. Bukan rakyat jelata. Nah, kalau seperti ini masih berminat ikut memilih? Entahlah...!?
========
Sumber: Sumut Pos, 31 Maret 2009