POST DATE | 16 Januari 2020
Oleh: Andryan, SH., MH
Dosen Fakultas Hukum UMSU
Etika lebih luas daripada hukum yang lebih sempit. Setiap pelanggaran hukum dapat dikatakan juga merupakan pelanggaran etika, tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Etika lebih luas, bahkan dapat dipahami sebagai basis sosial bagi bekerjanya sistem hukum.
Jika etika diibaratkan sebagai samudera, maka kapalnya adalah hukum. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, Earl Warren (1953-1969), yang mengatakan bahwa hukum mengapung di atas samudera etika. Hukum tidak mungkin tegak dengan keadilan, jika air samudera etika tidak mengalir atau tidak berfungsi dengan baik.
Perilaku etik dikaitkan dengan para pemangku jabatan-jabatan publik dan profesional yang sangat mengandalkan kepercayaan publik (public trust), maka pendekatan hukum seringkali terbukti kontra-produktif dalam menjaga kepercayaan tersebut. Seperti doktrin dalam ilmu hukum bahwa hukum pidana harus dilihat sebagai ultimum re-medium yakni sebagai upaya terakhir dalam menghukum seseorang yang melanggar ketentuan hukum setelah upaya-upaya lainnya telah habis atau tidak ampuh dalam memperbaiki perilaku seseorang.
Jimly Asshiddiqie (2014), menegaskan bahwa sebelum dilakukannya proses secara hukum, maka etika harus diberikan kesempatan untuk lebih dahulu difungsikan dengan baik. Hal ini dimaksudkan agar adanya upaya pembinaan yang bersifat mendidik. Jika suatu perbuatan terbukti tetapi tidak terlalu serius sebagai pelanggaran, maka sistem sanksi etika dapat memberikan teguran atau peringatan dengan maksud untuk mendidik, bukan menghukum dengan cara menyakiti yang bersangkutan.
Jika suatu pelanggaran tergolong serius, maka yang bersangkutan dapat diberhentikan dari jabatannya, dengan maksud bukan tertuju kepada yang bersangkutan sebagai bentuk pembalasan, melainkan dimaksudkan untuk menjaga kepercayaan publik terhadap institusi jabatannya.
Meskipun pada beberapa lembaga negara telah memiliki wadah untuk menegakkan etik para pemangku jabatan-jabatan publik, tetapi hingga kini lembaga-lembaga penegak kode etik masih bersifat tertutup dengan kewenangannya yang sangat terbatas. Bahkan, banyak diantaranya lembaga penegak kode etik tersebut masih bekerja secara konvensional dan belum dikontruksikan sebagai lembaga peradilan etik seperti lazim dalam dunia hukum.
Keadilan dan peradilan seakan hanya terkait dengan dunia hukum, bukan etika, sehingga tidak terbayangkan bahwa sistem norma etika tidak berfungsi dalam rangka menegakkan kemuliaan nilai-nilai keadilan.
Dalam sistem hukum dikenal adanya prinsip rule of law yang terdiri atas perangkat code of law (kitab undang-undang) dan court of law (pengadilan hukum). Oleh karenanya, dalam sistem etika juga perlu diperkenalkan adanya pengertian tentang rule of ethics yang terdiri atas perangkat code of ethics (kode etik) dan court of ethics (pengadilan etik).
Buku dengan judul "Etika Profesi Hukum" karya Farid Wajdi bersama Suhrawardi K. Lubis, dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat luas bahwa profesi harus berlandaskan etika. Oleh karenanya, etika profesi harus masuk dalam kurikulum pendidikan hukum, khususnya pada strata sarjana hukum.
Dalam buku ini, memuat pembahasan yang terbagi pada Enam Bab, dimulai dengan Pendahuluan (Bab 1), Profesi Hukum (Bab 2), Penegakan Kode Etik Profesi Hukum (Bab 3), Baik dan Buruk (Bab 4), Keadilan (Bab 5), Hak Asasi (Bab 6).
Sebagai pedoman dalam bertindak dan berperilaku, etika dirumuskan dalam bentuk aturan (code) tertulis secara sistematik dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat dibutuhkan akan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (comman sense) dinilai menyimpang dari Kode Etik.
Dengan demikian, kode etik dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok profesi itu sendiri sebagai upaya dalam menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan disisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalahgunaan keahlian (hlm. 7)
Hal yang menarik dalam buku ini, tidak hanya mengulas secara mendalam mengenai etika, tetapi juga menguraikan keadilan. Keadilan menurut penulis, bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Semua tindakan yang bercorak dan berujung ekstrem menjadikan ketidakadilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.
Nilai-nilai keadilan tersebut merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan dalam hidup bersama kenegaraan untuk mewujudkan tujuan ngara, yaitu mewujudkan kesejahteraan seluruh warganya serta melindungi seluruh warganya dan wilayahnya, mencerdaskan seluruh warganya (hlm. 194)
Apabila kita berbicara keadilan, maka tidak terlepas pula dengan hak asasi. Dalam pembahasan terakhir buku ini mengulas tentang hak asasi. Hak asasi manusia termasuk dalam hak mutlak, yaitu hak yang mesti diberikan kepada seseorang tertentu untuk melakukan sesuatu perbuatan.
Disebut hak mutlak, karena dapat dipertahankan terhadap siapa pun orangnya dan sebaliknya siapa pun harus menghormati hak tersebut (hlm. 207).
Dengan demikian, penulis buku menegaskan, profesi yang berlandaskan etika, harus pula berjalan secara beriringan dengan keadilan dan hak asasi manusia, sebagai bagian dalam mewujukan tujuan profesi.
Di tengah keterbatasan buku mengenai etika profesi khususnya dibidang hukum, buku karya Pimpinan Komisi Yudisial ini, menjadi referensi wajib bagi seluruh kalangan terlebih yang bergelut dibidang hukum. Profesi hukum yang memiliki tujuan mulia dalam menegakkan kemaslahatan umat manusia, dapat dilakukan apabila etika yang menjadi pijakan moral profesi hukum tersebut ditegakan.
Penegakan etika profesi dimulai dengan memberikan pengetahuan dalam disiplin pendidikan hukum agar terlahir sarjana hukum yang profesional dan beretika serta memiliki keahlian yang berkeilmuan dan mandiri sebagai bentuk pemenuhan warga masyarakat dalam pelayanan di bidang hukum.
===============
Sumber: Waspada, Sabtu 4 Januari 2020