POST DATE | 28 Agustus 2024
Farid Wajdi, Anak Petani yang Menjadi Praktisi Hukum
Pasca-mengemban tugas sebagai anggota Komisi Yudisial Periode 2015-2020, Farid Wajdi kembali ke akarnya. Akademisi sekaligus praktisi hukum itu terus menuangkan pemikiran lewat menulis. Dari situ, sudah lahir sederet buku tentang hukum. Di sela kesibukan mengajar, membimbing mahasiswa, melakukan advokasi, dan menulis, Farid memilih berkebun sebagai hobi yang tetap memberikan manfaat.
Bagaimana kabarnya, Pak?
Alhamdulillah baik dan senantiasa diberi kenikmatan tak terhingga oleh Allah SWT.
Setelah tidak lagi bertugas di Komisi Yudisial, apa saja kesibukan saat ini?
Saya kembali menekuni dunia akademis, mengajar, melanjutkan profesi advokat, dan mengasah otak-jari-dengan tetap menulis.
Bagaimana pandangan Bapak terhadap situasi hukum di Indonesia saat ini?
Sepakat dengan pendapat yang mengatakan kondisi penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia sedang krisis dan “sakit”. Fenomena ini terjadi karena aparat penegak hukum elemen penting dalam proses penegakan hukum-sering kali terlibat dalam kasus pidana, terutama korupsi. Implikasi nyata dari kondisi ini adalah hukum kehilangan rohnya, yakni keadilan.
Kekuatan jari jemari warganet dengan tagar No Viral No Justice sebagai bentuk dari situasi tatkala sesesorang harus memviralkan kasus hukum yang dialaminya untuk mendapat keadilan seutuhnya lebih efektif dibanding metode lain. Dan, sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini hukum ibarat sebuah pisau yang sangat tajam jika digunakan ke bawah, namun sangat tumpul jika digunakan ke atas.
Bapak termasuk pejabat publik yang rajin menulis buku, sejauh ini sudah berapa judul?
Mengutip hukama: “Menulis mengajarimu bahwa yang terucap bisa saja kamu lupakan. Namun, yang kamu tuliskan akan selalu ada”. Menulis itu jalan ninja dakwah! Beberapa tahun terakhir telah menulis lebih dari 10 buku sejak 2016 (selengkapnya pada grafis). Saat ini dalam proses penerbitan, yaitu buku terkait dinamika kewenangan Komisi Yudisial.
Selain buku-buku tentang hukum, apakah ada rencana menulis genre lainnya?
Sudah pernah coba menulis selain buku, jurnal, dan opini-artikel, tapi ternyata jari jemari “kaku” dan pikiran menjadi buntu, tak mampu menggerakkan tangan di luar bidang yang sudah ditekuni itu.
Kami lihat Bapak beberapa kali membagikan aktivitas berkebun?
Hahaha, sebagai anak petani memang tidak dapat lekang dari aktivitas berkebun, tapi tak lebih dari sekadar menyalurkan hobi dan mengisi waktu di sela aktivitas menulis, mengajar, dan membimbing mahasiswa.
Ada jenis tanaman spesifik yang paling Bapak sukai?
Pilihan tanaman tak terlalu selektif, cukup menyejukkan mata dan hati, menambah nilai estetika perkarangan rumah dan jika mungkin sekadar mencicipi pedasnya cabai atau sambal gurihnya terong. Hahaha.
Mengapa memilih berkebun?
Berkebun adalah aktivitas yang melibatkan penanaman dan perawatan tanaman. Selain hobi yang menyenangkan, berkebun juga memiliki manfaat besar bagi kesehatan dan lingkungan. Sepakat dengan ungkapan: “Melalui berkebun, kita belajar tentang kesabaran, kegigihan, dan keindahan proses tumbuh.”
Harapan terhadap hukum di Indonesia ke depannya?
Rangkuman ringkas tantangan besar dalam reformasi hukum Indonesia adalah lemahnya sistem peradilan. Lambatnya proses hukum, korupsi, keterbatasan sumber daya, dan kurangnya kemandirian hakim. Masalah lain, terbatasnya akses keadilan bagi masyarakat yang kurang mampu.
Mengutip para pakar hukum, tantangan penegakan hukum ke depan adalah harus mengedepankan profesionalitas, akuntabilitas, dan progresivitas. Jika tidak segera diatasi, praktik culas menjadikan hukum sebagai objek perdagangan beli keadilan alias praktik industri hukum menandai makin suramnya arah penegakan hukum ke depannya.
============
Sumber: Jawa Pos, Sabtu 20 Juli 2024, hlm. 18