post.png
keadaban-digital.jpeg

Puasa dan Keadaban Digital

POST DATE | 13 Maret 2024

Kini tradisi dan syiar puasa ramadan makin sempurna dengan sokongan geliat teknologi yang ikut menguatkan eksistensi agama dan memudahkan pemeluknya memahami serta menjalankan pesan-pesan agama. Saat puasa, tautan silaturahim yang dianjurkan agama lebih gampang dilakukan lewat situs jejaring sosial seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter/X, TikTok dan akun media sosial lainnya.

Secara historis menurut Rudy Irawan (2020) perkembangan internet mengalami percepatan sejak pertengahan 1990-an. Vatikan meluncurkan website resmi pada 1995 (www.vatican.va), dan ketika itu Paus Paulus II menyebut potensi internet sebagai new evangelization (penginjilan baru).

Di Indonesia Muhammadiyah lebih dulu memiliki website (1997), lalu diikuti Nahdlatul Ulama (1999). Dari sekian banyak website keagamaan di internet, Christoper Helland (2000) membaginya ke dalam dua kelompok, yaitu sebatas penyedia informasi (religion online) dan menawarkan informasi plus interaktivitas (online religion).

Dewasa ini model yang pertama sudah ketinggalan zaman, internet kini dibanjiri oleh situs-situs dengan platform user-generated content (konten buatan para pengguna internet). Para pengguna internet berperan sebagai konsumen sekaligus produsen informasi. Berbagai perkembangan tersebut menggiring pada sejumlah konsekuensi sebagai berikut.

Pertama, generasi internet memiliki caranya sendiri dalam mencari, memahami dan mengekspresikan paham keagamaan. Kedua, makin horizontal dan interaktif web, akan semakin kuat membetot perhatian publik internet. Karena itu organisasi keagamaan memersepsi internet sebatas media informasi vertikal, akan semakin cepat kehilangan pengaruh pada generasi millennial/digital. Ketiga, internet banyak berfungsi sebagai “pasar bebas” tempat bertemunya spiritual entrepreneur (wirausahawan spiritual) dan religious seekers (pencari kebenaran agama).

Relasi perilaku dunia maya dan dunia nyata digambarkan Dodo Murtado (2023) dengan mengutip Muhammad Ali Ramdhani. Dodo Murtado mengatakan ketika seseorang masuk pada dunia digital, sesungguhnya ia sedang melaksanakan apa yang terjadi di dunia nyata.

Membangun digital culture saat berada di dunia digital dapat menjadi instrumen mitigasi diri agar tidak terbawa arus kemarahan yang diciptakan orang lain atau akun anonim dengan tujuan dan agenda yang telah didesain.

Douglas dan Mc Garty menjelaskan dampak anonimitas di dunia maya, menggambarkan bagaimana pengguna akun yang berperilaku anonim memiliki peluang besar untuk menyampaikan ucapan kasar dan emosional (Chang, 2008). Saat ini, tranformasi digital semakin melompat jauh. Dari dunia riil orang-orang mencoba melarikan diri ke meta, dunia buatan, dunia yang tidak diraba, dirasa. Semisal air di dunia meta, dengan mata dan perangkat okulus, pengguna dapat meraba bahwa ini adalah air, pengguna akan segera ke dunia meta dengan segala problema buatannya.

Dunia meta, interaksi emosional manusia semakin tidak alami (artifisial), tidak lagi dihayati karena ada transmisi perasaan, ada persentuhan dan perjumpaan mata, getaran hati secara langsung. Persentuhan emosi akan semakin jauh dan tawar, padahal momen antar orang berbicara, bertatap mata, dan membaca gestur fisik langsung, seseorang akan cepat mengendapkan emosinya bila ada silang pendapat.

Religiusitas vs Keadaban Digital

Jika melihat indikator keberagamaan, terutama ketaatan beribadah, Indonesia termasuk salah satu negara yang paling “religius” di Asia, bahkan di dunia. Berdasarkan sejumlah riset, seperti yang dilakukan oleh Riaz Hassan (guru besar Emiritus di Flinders University Australia), Indonesia—bersama enam negara berpenduduk Muslim terbesar lainnya: Malaysia, Pakistan, Mesir, Turki, Iran dan Kazakhstan—merupakan negara paling “agamis” di dunia.

Menurut survei tersebut, 90 persen dari penduduk Muslim di negeri ini menyatakan beriman kepada Tuhan dan hari kiamat. Selain itu, 96 persen penduduk Muslim menyatakan menjalankan shalat lima waktu dan puasa Ramadhan (Malaysia dan Mesir 90 persen; Pakistan dan Iran 60 persen, dan Turki 33 persen). Data tersebut menggambarkan betapa tingginya tingkat kesalehan individual bangsa ini.

Begitu pun Masdar Hilmy (2022) membuat daftar pertanyaannya, apakah bangsa Indonesia merasa bangga dengan julukan sebagai bangsa yang religious itu? Apakah julukan tersebut membuat bangsa Indonesia lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam konteks keadaban publik? Inilah kira-kira persoalan mendasar keberagamaan yang patut direfleksikan bersama. Ada ambivalensi, paradoks atau disparitas antara keberagamaan individual (hablun minallah) di satu sisi dengan keberagamaan publik (hablun minannas) di sisi lain.

Kata Masdar Hilmy (2022) terasa ada paradoks dan disparitas tersebut dan itu dapat terpantul misalnya, dalam konteks keadaban publik (public civility). Keadaban publik dapat didefinisikan sebagai sikap atau perilaku yang menghargai, menghormati, dan peduli terhadap sesama, taat pada aturan dan norma sosial serta menerapkannya dalam kehidupan kolektif. Dalam konteks kehidupan beragama, keadaban publik merepresentasikan kesalehan horizontal (hablun minannas). Dengan indikator-indikator semacam ini, bagaimana melihat wajah keadaban publik itu?

Kenyataan tiadanya korelasi antara keduanya dapat dilihat, misalnya, dari para pelanggar rambu lalulintas yang berakibat pada tingginya angka kecelakaan di jalan raya; tingginya tingkat kriminalitas seperti pencurian, perampasan, penjembretan, penipuan, pembunuhan hingga intoleransi/konflik sosial dan tawuran antarwarga.

Belum lagi jika mencermati jagat media sosial yang dipenuhi dengan ujaran kebencian (hate-speech), perundungan, penipuan hingga berita bohong alias hoaks. Melihat realitas semacam ini, etika warganet (netizen) masih jadi tanda tanya besar. Terkait dengan etika warganet di Indonesia, konon Indonesia digolongkan sebagai negara paling tidak beradab se-Asia.

Realitas ini tecermin dari hasil survei yang dilakukan oleh Microsoft pada tahun 2021 dengan data survei tahun 2020. Microsoft mengeluarkan Indeks Keadaban Digital (Digital Civility Index/DCI) yang menilai perilaku pengguna internet dari 32 negara di dunia. Dalam laporan mereka, warganet Indonesia merupakan pengguna internet dengan tingkat keadaban paling buruk nomor 29 di dunia dan terburuk di Asia. Posisi Indonesia hanya lebih baik dari Meksiko, Rusia dan Afrika Selatan. Adapun Singapura dan Taiwan merupakan dua negara di Asia Pasifik dengan tingkat keadaban digital tertinggi di dunia.

Data itu menandakan keadaban bangsa Indonesia paling rendah. Hasil survei keadaban digital itu sungguh paradoks. Selama ini bangsa Indonesia dikenal ramah, sopan, santun, dan berkebudayaan tinggi. Mencermati data itu Abdul Mu’thi (2022) mengatakan dari sudut pandang agama dan pendidikan, survei keadaban digital mengingatkan betapa bangsa Indonesia sekarang juga sudah jauh berubah.

Apabila membaca suatu berita, publik dengan mudah menemukan komentar yang sangat kasar, kotor, vulgar, dan jauh dari kesantunan. Situasi yang sungguh mencemaskan!  Perilaku yang buruk itu tidak hanya mencerminkan rusaknya keadaban, tetapi juga berpotensi merobek/mengoyak jahitan kerukunan bangsa.

Dienul Islam mengajarkan agar manusia senantiasa bertutur kata, bersikap, dan berperilaku terpuji. Berulangkali Alquran memerintahkan agar manusia bertutur kata mulia, baik, benar, lembut, bernas, dan berbagai ekspresi yang mendamaikan. Alquran melarang manusia membuang waktu percuma dengan perkataan dan perbuatan yang tidak berguna. Seorang mukmin akan meraih sukses, kebahagiaan, dan kemenangan bila meninggalkan perkataan dan perbuatan sia-sia (Al-Mukminun, 23: 3).

Nabi Muhammad mengajarkan agar umatnya meninggalkan qaul al-zur: perkataan yang kasar, kotor, dan tidak bermanfaat. Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa berkata dan berbuat al-zur (padahal dia sedang berpuasa), maka Allah akan mengabaikan perbuatan, walaupun dia tidak makan (lapar) dan minum (dahaga) (HR. Imam Bukhari dari Abu Hurairah). Maknanya, puasa seseorang akan sia-sia atau tidak sempurna.

Secara umum puasa itu mengendalikan secara fisik atau jasmani, makan, minum, memelihara kata-kata, dan memelihara hati dalam batas waktu tertentu dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan tujuan menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani. Puasa adalah salah satu upaya atau mekanisme kontrol diri untuk mendekatkan hamba kepada Allah Swt.

Puasa ramadan ialah momentum untuk membangun keadaban digital. Hakikat berpuasa tidak sekadar menahan diri dari makan, minum, bersetubuh, dan perbuatan yang membatalkan. Puasa juga berarti berhenti memaki, mencaci, menebarkan kebohongan, provokasi kebencian, perundungan, dan berbagai perbuatan yang merugikan.

Perilaku santun bermedsos butuh kecerdasan emosi, kecerdasan menimbang, kemampuan eksploratif. Perilaku seseorang bermedsos secara tidak langsung mencirikan kepribadian dan kemampuan nalar orang tersebut. Kebijaksanaan dan kesantunan bermedsos mutlak dibutuhkan agar teknologi dapat lebih bermanfaat positif dan maslahat.

Untuk kemaslahatan bangsa perlu dipedomani syair Arab berbunyi, “Innamal umamul akhlaqu ma baqiyat, wa inhumu dzahabat akhlaquhum dzahabu (Hidup dan bangunnya suatu bangsa tergantung pada akhlaknya, jika mereka tidak lagi menjunjung tingi norma-norma akhlakul karimah, maka bangsa itu akan musnah bersamaan dengan keruntuhan akhlaknya).”

============

Sumber: Waspada, Jumat, 15 Maret 2024, hlm. B3



Tag: Puasa, , , , , , ,

Post Terkait

Komentar