POST DATE | 11 April 2023
Secara legal formal syari’i ibadah puasa merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seluruh orang beriman (QS. Al-Baqarah, 2: 183), “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Puasa ramadan adalah bulan yang suci karena momentum diturunkannya Alquran. Kitab suci sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas bagi petunjuk itu serta pembeda (furqan) yang hak dan batil (QS. Al-Baqarah, 2: 185).
Ibadah puasa bertujuan untuk membentuk ketakwaan setiap orang beriman. Orang yang berpuasa bukan sekadar menjalankan kewajiban agama, melainkan juga sebagai bentuk latihan rohani atau spiritual dalam mencapai tingkatan hidup yang lebih baik di sisi Allah guna meraih predikat orang bertakwa.
Karena itu, orang yang berpuasa senantiasa berupaya semaksimal mungkin untuk menghindari hal-hal yang dapat membatalkan ibadah puasanya, baik dari segi jasmaniah (seperti makan, minum, dan berjimak) maupun batiniah (menggunjing, memfitnah, menyakiti, mengadu domba, ujaran kebencian, menyebarkan hoaks, dan lain-lain) (Sanadmedia, 2022).
Bulan ramadan senantiasa menarik dikaji dalam perspektif apapun, termasuk dari aspek sosial. Muhammad Yunus (2019) mencatat dalam perspektif sosial puasa dapat dilihat dari multi-aspek. Puasa ramadan mempunyai dimensi dengan gaya hidup (life style), nilai-nilai kesadaran hidup, toleran, dan kebersamaan. Beriringan dengan itu tentu dimensi ketuhanan (ilahiyah) ibadah puasa sangat menonjol, sebab menjalankan puasa ini seperti perintah Allah Swt yang lain kepada orang beriman (rukun Islam).
Dimensi sosial berarti hadirnya segi kehidupan horizontal (hablum minannas). Kehidupan antar-sesama manusia. Tentu hubungan sesama manusia ini adalah bagian tak terpisahkan dari dimensi vertikal (hablum minallah). Cermin dimensi sosial ibadah puasa itu dapat terlihat pada banyak aspek. Misalnya saja, terlihat pada gaya hidup seseorang selama ramadan ini berubah, baik dari sisi berpakaian atau tata cara pergaulan.
Pakaian adalah hasil budaya manusia. Pakaian sebagai pembeda antara manusia dengan hewan. Pakaian juga berfungsi untuk menutup aurat agar segala sesuatu yang ada di dalam tubuh ini tidak diumbar untuk kemaksiatan. Karena itu, cara berpakaian seorang muslim tentu berbeda dengan orang non-muslim. Ramadan dapat menjadi penggerak umat bersama-sama memakai baju sesuai tuntunan syari’i. Bahkan pernak-pernik berubah selama ramadan ini.
Lebih dari sekadar gaya hidup, ramadan membawa keberkahan untuk semuanya. Ada kesadaran kolektif karena orang yang berpuasa dapat merasakan betul kondisi orang yang lapar dan dahaga. Selama ramadhan gairah bersedekah dan memberi kepada sesama sangat tinggi.
Dapat dilihat disetiap masjid pasti ada sajian menu buka puasa (iftor) bersama untuk jemaah yang jumlahnya puluhan sampai ratusan bahkan ribuan. Inilah bentuk pantulan kesadaran yang luar biasa.
Jauh dari itu adalah wujud toleransi yang nyata. Toleransi bukan berarti membolehkan orang melakukan seenaknya. Tetapi toleransi adalah saling menghargai, saling menghormati satu dengan lainnya. Toleransi yang sangat tinggi yang dapat ditemukan dalam ramadan ini adalah saling menolong dan menghormati. Sejatinya, warung-warung tutup dipagi dan siang hari.
Selain itu adalah terwujudnya kebersamaan. Enggan rasanya meninggalkan kesempatan berbuka bersama. Keluarga, kolega, teman sejawat, dan semuanya suka cita berkumpul untuk berbuka bersama.
Situasi dan kondisi yang tidak ditemukan di luar ramadan. Masjid-masjid penuh, warung makan penuh untuk merajut kebersamaan selama di ramadan ini. Sungguh ini anugerah-berkah yang luar biasa.
Bagaimana kewajiban puasa ini dapat menyelesaikan masalah yang berdimensi sosial? Target puasa adalah menjadi hamba yang bertakwa. Bertakwa berarti menjadi hamba Allah Swt yang paripurna. Menjadi hamba yang menjalankan risalah ketuhanan di muka bumi dan menjadi hamba yang taat.
Suasana demikian, tentu dapat mengantarkan suatu negari menjadi makmur penuh berkah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang subur dan makmur, adil dan aman). Sesuai misi QS Al-A’raaf, 7: 96, "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Menurut Damang (2012) di samping untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, orang berpuasa juga senantiasa berusaha membebaskan hasrat duniawi sebagai manusia yang seringkali tergantung pada kebutuhan fisik semata. Karena sesungguhnya dalam diri insan ada hasrat jiwa dan jasmaniah.
Hakikat teologi ramadan, dengan berpuasa tidak hanya melatih “hasrat baik” dari kepentingan jiwa saja. Bahkan lebih jauh dari itu, puasa adalah aksi kesadaran sosial. Sebuah aksi kesadaran humanis. Kesadaran dalam konteks teologi sosial.
Dengan berpuasa orang dapat merasakan “menderitanya’ menahan lapar yang lebih banyak diperankan orang miskin. Dengan berpuasa seorang penguasa akan sama kegiatannya dengan seorang rakyat jelata. Seorang yang kaya akan sama rasanya menahan lapar dan dahaga dengan orang miskin.
Sebab itu, manusia diperintahkan untuk memberi buka puasa pada orang-orang yang berpuasa. Kemudian diganjar dengan amal yang sama dengan orang yang berpuasa, tanpa mengurangi sedikit pun amal-ibadahnya orang yang berpuasa.
Bulan puasa penuh warna, karena momentum bulan puasa adalah momentum waktu bagi penguasa, orang kaya, tidak lagi menghamburkan uang melaksanakan buka puasa di hotel berbintang.
Bagi Ayus Mahrus El-Mawa (2020) sepatutnya berpuasa itu tidak hanya pada bulan ramadan semata. Puasa dapat pula dilakukan di luar bulan ramadan. Semua itu bergantung jenis puasanya.
Dalam perspektif teologis, niat atau tujuan puasa akan berimplikasi karena ibadah kepada Allah Swt. Berbeda halnya jika berpuasa diniatkan untuk diet atau kecantikan atau lainnya. Apa itu mungkin? Tentu saja sangat mungkin.
Seseorang menghindari makan dan minum seharian atas nama kecantikan atau ketampanan, kesehatan atau lainnya. Bagi mereka yang tidak mendalami agama dengan sepenuh hati, tentu saja kadang lupa bahwa itu bagian dari ibadah puasa.
Dalam hal itu, nuansa teologis menjadi penting, karena berpuasa -terutama bagi puasa yang wajib dan sunah, aspek teologi ini bukan sekadar menjalankan titah Allah dan Rasul-Nya. Tetapi lebih dari itu terdapat aspek kemanusiaan yang melekat di dalamnya. Sebab, ibadah kepada Allah sesungguhnya tidak ada yang tak terpisahkan satu sama lainnya (komprehensif).
Mengutip Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi (w. 1380 H/1961 M), salah satu hikmah yang terkandung dalam puasa, yakni mengingatkan pelakunya pada kondisi orang-orang fakir sehingga turut memberikan simpati dan rasa kasih sayang terhadap sesama. Sebaliknya, seseorang yang tidak pernah merasakan kesulitan, tentu tidak akan pernah merasakan penderitaan yang dialami orang lain.
Orang yang tidak pernah lapar pasti tidak akan pernah merasakan kelaparan yang diderita orang lain. Ringkasnya hanya orang yang pernah merasakan sakit yang dapat merasakan kesempitan dan kepedihan.
Kewajiban berpuasa bagi orang beriman di bulan ramadan bertujuan untuk melatih solidaritas sosial, yakni merasakan penderitaan orang-orang yang kelaparan. Dimensi ibadah puasa adalah adanya dituntut untuk bersikap empati dan melatih kepekaan terhadap kaum mustadhafin (orang-orang lemah) yang tertindas oleh kaum borjuis dan kapitalis.
Nilai transformasi sosial dalam ibadah puasa ini dipertegas Nabi Muhammad Saw dalam salah satu hadisnya: “Barang siapa memberi makan orang berpuasa, baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala sedikit pun dari orang yang berpuasa itu.” (HR. Tirmizi).
Karena itu, hakikat ibadah puasa dalam sudut pandang dimensi sosial bukan semata-mata kewajiban yang harus dilaksanakan orang beriman. Akan tetapi, lebih dari itu sebagai bentuk kepedulian dan keterlibatan sesama manusia dalam merasakan kesengsaraan orang lain, terutama kelompok yang lemah, miskin, dan termarginalkan.
Puasa sepatutnya dapat menjadi senjata/tameng melawan segala penindasan dan eksploitasi yang mengakibatkan maraknya kemiskinan serta ketidakadilan yang ada.
Bagi M. Ihsan Darwis (2023) sepatutnya ibadah puasa ramadan bukan sekadar meninggalkan bekas spiritual bagi sebagian umat. Ibadah puasa terdapat di dalamnya aspek sosial dalam realitas kehidupan sosial. Sulit rasanya melupakan momentum aktivitas sosial yang fenomenal, kecuali menggunakan waktu untuk berkontribusi secara sosial di bulan ramadan.
Ibadah puasa ramadan bukan hanya sekadar wacana aspek realitas belaka, sebab di dalamnya penuh keberkahan. Ramadan memberikan banyak harapan dalam konteks teologis dan sosial. Jika itu diaplikasi dalam realitas sosial, tentu dapat terhindar dari keumungkinan: “Betapa banyak orang yang berpuasa, yang diperolehnya dari puasa itu, kecuali sekadar lapar dan dahaga saja” (HR. Ibn Khuzaimah dan Tabrani).
Kata Mohammad Farid Fad (2021) ibadah puasa momen perekayasaan hasrat, meninggikan suara otentik nurani, sembari meminimalkan desakan syahwat. Ramadan adalah waktu yang tepat untuk menyuburkan rohani keimanan. Kehadirannya adalah saat yang tepat untuk mengambil interval dari aktivitas keseharian yang penuh riuh. Hidup yang serba-diselubungi kata mengejar (atau dikejar?) deadline hidup.
Ibadah ramadan setidaknya dapat menjadi ruang mengambil jeda dan jarak atas rutinitas hidup setelah sebelumnya larut dalam berebut ‘hidup’. Hanyut dalam berhala modernitas yang bernama materi (hedonisme).
Tak lupa, dalam berpuasa, orang beriman juga dididik untuk senantiasa memupuk spirit berbela rasa-teologi sosial. Ibadah puasa adalah waktu untuk memperkuat solidaritas dan mengencangkan sabuk kohesi sosial publik.
============
Sumber: Waspada, Jumat, 14 April 2023, hlm. B4