post.png
SIDANG_2024.jpg

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi

POST DATE | 15 April 2024

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Pilpres) atau sengketa Pilpres 2024 pada Jumat, 5 April 2024 lalu. Putusan MK soal sengketa Pilpres 2024 rencananya bakal dibacakan pada Senin, 22 April 2024 mendatang. Bagaimana prediksi putusan MK tersebut?

MK kerap disindir sebagai Mahkamah Kalkulator tiap kali menyidangkan hasil pemilihan umum, utamanya saat pemilihan presiden (pilpres). Namun, Nebby MR (2024) tidak sependapat dengan istilah tersebut, sebab bukti MK bukan sekadar "Mahkamah Kalkulator" adalah terdapatnya istilah TSM yang memiliki arti terstruktur, sistematis, dan masif dalam sistem hukum nasional. Istilah ini dilontarkan berkaca dari terbatasnya kewenangan MK dalam mengungkap dugaan kecurangan pelaksanaan pilpres saat itu. 

Pelanggaran atau kecurangan terstruktur adalah kecurangan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama. Penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu yang terdiri dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggaran Pemilu (DKPP).

Pelanggaran sistematis dimaknai sebagai pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Pihak yang merencanakan kecurangan sistematis bisa aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilu. Makna dari pelanggaran atau kecurangan masif adalah pelanggaran yang dampaknya sangat luas pada masyarakat terhadap hasil pemilu. 

Sama seperti kecurangan terstruktur dan sistematis, pihak yang melakukan kecurangan masif, yaitu bisa aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilu.
(https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220918214544-617-849481/mengenal-kecurangan-terstruktur-sistematis-dan-masif-di-pemilu).

Istilah 3 kecurangan atau pelanggaran TSM tersebut tak hanya menyasar kepada penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU, tapi juga ke peserta pemilu hingga pemerintah. Selain Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang mengatur pelanggaran atau kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif pada Pasal 286, aturan lebih rinci mengenai pelanggaran TSM tertuang dalam Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2018. 

Bivitri Susanti (2024) menguraikan sedikitnya 2 sebab terjadinya pelanggaran pemilu TSM. Pertama, kewenangan dan fasilitas termasuk anggaran negara terkait terbitnya kebijakan tertentu. Kedua, ada pengaruh yang lahir dari kewenangan misalnya kepala daerah tertentu menginstruksikan jajarannya untuk melakukan tindakan dalam rangka memberi keistimewaan atau menghalangi pasangan calon tertentu.

Agar tidak terjebak kepada persepsi minor tersebut, Herdiansyah Hamzah Castro (2024) berpendapat MK perlu melihat masalah proses penyelenggaran Pemilihan Umum (pemilu) dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk memutuskan hasil sidang sengketa Pilpres. Perkara pemilu itu semestinya meletakkan Mahkamah sebagai pihak yang tidak hanya memotret suaranya, tetapi juga memotret bagaimana atau dengan cara apa angka-angka itu diperoleh.

Itu menjadi pintu masuk apakah ada atau benar apa yang didalilkan oleh para pemohon soal pelanggaran yang bersifat TSM (https://nasional.kompas.com/read/2024/04/06/16084821/dinamika-rph-mk-diyakini-tak-mudah-pengamat-prediksi-putusan-akan-menyangkut).

Karena itu sepatutnya membuat MK tidak cuma mengadili hasil selisih suara. Adapun alasannya, seperti Pertama, yakni pada ketentuan Pasal 53 ayat (2) Peraturan MK 4 Tahun 2023, disebutkan secara eksplisit dalam hal dipandang perlu, MK dapat menambahkan amar selain yang ditentukan. MK tidak hanya dikunci untuk memutus permohonan mengenai hasil perolehan suara, tetapi juga di luar itu. Salah satunya dugaan kecurangan yang didalilkan para pemohon.

Kedua, dengan melanjutkan persidangan, termasuk memanggil para menteri dan ketua DKPP untuk bersaksi, sudah menegaskan jika MK tidak semata-mata memeriksa angka-angka perolehan suara, tetapi juga memeriksa dalil-dalil para pemohon berkenaan dengan dugaan kecurangan. Jadi, secara positif MK tidak hanya berkutat pada hal yang bersifat prosedural, namun juga menjadi tempat untuk memastikan keadilan pemilu pada level substantif.

Begitupun, penting untuk dicatat keputusan MK nantinya bersifat final and binding, bermakna putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang tidak ada ruang hukum untuk mengujinya lagi. Apapun putusan MK, harus dipahami tidak ada upaya hukum lain lagi!

Skenario Putusan

Seperti dilansir dari (https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=20188& menu=2) perkara PHPU tahun 2024 diwarnai adanya Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan untuk majelis hakim MK. Adapun tujuan Amicus Curiae ini dibuat untuk mencari keadilan dalam proses penyelesaian PHPU Tahun 2024 di MK. Para akademisi dan masyarakat sipil ini menjadikan diri sebagai Sahabat Pengadilan yang berada di belakang para hakim untuk memberikan putusan yang adil.

MK sebagai lembaga tertinggi dan para hakim memiliki tugas menjadi pintu gerbang keadilan. Hakim konstitusi juga harus memiliki independensi yang setinggi-tingginya karena itu ialah hak kodrati dari Tuhan, hakim mewakili Tuhan di dunia. Bahkan meskipun langit runtuh konstitusi dan demokrasi harus tetap dijaga di Indonesia.

Kesimpulan dan rekomendasi Amicus Curiae itu, antara lain KPU telah salah memaknai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang merupakan putusan pluralitas dalam menetapkan Calon Wapres (Cawapres Paslon 02). Penetapan Gibran Rakabuming Raka tidak memenuhi persyaratan sebagai cawapres, sehingga menjadikan MK harus menyatakan diskualifikasi Cawapres Pasangan Calon Nomor Urut 02.

Hakim adalah penjaga gerbang keadilan di dunia ini, tempat agung bagi pencari keadilan dan warga yang datang berseru-seru, mengharapkan terobosan hukum diciptakan, dan hukum tertinggi dilahirkan, yaitu keadilan bagi mereka yang lemah dan tanpa kuasa.

Tidak hanya itu sebagai bagian dari Amicus Curiae untuk MK, di tengah proses sidang sengketa PHPU, Presiden Kelima sekaligus Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri berharap proses sengketa hasil Pilpres 2024 di MK diliputi oleh keadilan dan kebenaran.

Dalam opini berjudul “Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi” dimuat di Harian Kompas, Senin, 8 April 2024, Megawati yang menyebut dirinya sebagai "seorang warga negara Indonesia". Megawati menulis, hakim MK mesti bersikap negarawan karena bertanggung jawab terhadap terciptanya keadilan substantif dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara sebagai hal yang paling utama.

Keadilan dalam perspektif ideologis harus dijabarkan ke dalam supremasi hukum. Budaya hukum, tertib hukum, institusionalisasi lembaga penegak hukum, dan keteladanan aparat penegak hukum menjadi satu kesatuan supremasi hukum. Sumpah presiden dan hakim MK menjadi bagian dari supremasi hukum. Namun, bagi hakim MK, sumpah dan tanggung jawabnya lebih mendalam dari sumpah presiden. Presiden adalah pihak yang wajib bertanggung jawab mempraktikkan etika dalam bernegara.

Dari semua proses yang ada, bagaimana kemungkinan skenario putusan MK soal perkara pilpres 2024? Pakar Kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini dalam (https://nasional.tempo.co/read/1855057/3-prediksi-putusan-mk-soal-sengketa-pilpres-2024-pakar-akan-ada-kejutan) mengatakan, MK berpeluang memutuskan Pemungutan Suara Ulang (PSU) dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2024.

Titi meyakini, MK tidak hanya berfokus pada 'angka-angka' perolehan suara pada PHPU Pilpres kali ini. Setidaknya ini sudah terkonfirmasi dengan pemanggilan empat menteri Presiden Joko Widodo pada sidang Jumat lalu, 5 April 2024. Selain itu, MK juga menghadirkan DKPP dalam sidang itu. Untuk itu tinggal apakah MK melihat relevansi antara bansos dengan politisasi perangkat desa dan birokrasi, untuk kemudian memerintahkan PSU di titik-titik yang terdampak?

Berkaitan dengan potensi diskualifikasi Prabowo-Gibran, diperkirakan MK tidak akan mengabulkannya. Sebab peluangnya sangat kecil sekali. Adapun alasannya, Pertama, Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sama-sama mempermasalahkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 Tentang Batas Usia Capres dan Cawapres. Padahal, MK menjadi bagian dari putusan tersebut. Kedua, keabsahan pencalonan Gibran akibat pelanggaran etik oleh KPU. Bobot kesalahan ada pada KPU. Jika belajar dari perselisihan hasil Pilkada, MK tidak pernah mendiskualifikasi calon akibat pelanggaran yang dilakukan KPU.

Begitupun potensi akan ada kejutan dari Putusan MK peluangnya sangat besar. Sesuatu yang akan berkontribusi bagi perbaikan pemilu Indonesia, terdekat setidaknya menjadi pembelajaran untuk Pilkada 2024. MK kemungkinan akan memerintahkan proses verifikasi ulang. Namun, putusan ini jika calon yang dirugikan mendapatkan perlakuan diskriminatif dari KPU, sehingga Majelis hakim konstitusi akan lebih menyoroti konstitusionalitas proses.

Dari skenario itu publik boleh banyak berharap kepada hakim konstitusi, tetapi agar tidak kecewa perlu pula ditelisik sejarah, sebab hingga saat ini, seluruh sengketa hasil pemilu yang diajukan telah ditolak oleh MK. Sebaliknya, dalam persengketaan hasil pilkada, MK telah beberapa kali menyetujui permohonan yang diajukan oleh calon kepala daerah pada Pilkada Serentak 2018.

Kisruh pemilu yang terjadi sepanjang 2004-2024 menunjukkan proses pentingnya demokrasi yang transparan dan akuntabel serta peran MK sebagai pengawal konstitusi dalam memastikan integritas pemilu dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

============

Sumber: Waspada, Selasa, 16 April 2024, hlm. B3



Tag: , , , , , , , ,

Post Terkait

Komentar