post.png
NO_VIRAL_NO_JUSTICE.jpg

Tidak Viral, Tidak Ada Keadilan

POST DATE | 03 Februari 2023

 

"No Viral, No Justice!" tulis Azhari dalam akun medsosnya. "Apaan tuh?" cuit Iqbal, salah satu temannya yang berkomentar. "Tidak viral, tidak ada keadilan!" jawab Azhari menjelaskan. "Hari gini kalau mau dapatkan keadilan hukum harus viral dulu. Kalau nggak gitu, gak bakalan diurusin penegak hukum," ucap Azhari lagi menegaskan kalimatnya.

"Iya, kayaknya sih begitu. Coba kalau orang kecil kayak kita, pas lagi berperkara atau jadi korban kejahatan, belum tentu ditanggapi. Datang ke kantor polisi kehilangan motor doang, cuma disuruh pasrah," sahut Ismail, teman satunya. Marzuki pun menceritakan bagaimana ketika dua bulan lalu ia harus kehilangan motor. Kemudian melaporkan peristiwa yang dialaminya ke polisi.

"Ya, dilayani sih. Surat keterangan hilangnya dikasih. Itu juga paling buat formalitas doang supaya nggak dikejar-kejar debt-collector dan pencairan asuransi kehilangan," terang Marzuki, semangat menimpali slogan 'No Viral No Justice' yang dilontarkan Azhari.

Menurut Marzuki terus bercerita, tidak banyak yang diperbuat polisi untuk menanggapi masalah yang dideranya. "Ya gimana, polisi bilang pasrah aja. Percuma dicari juga susah," kata Marzuki lagi sambil mengenang kisahnya. Marzuki pun terus bercerita. Ia tak mau menyerah begitu saja dengan motornya yang hilang. Meskipun baru nyicil 5 bulan, ia merasa sudah kehilangan uang. "Nah, kebetulan rumah tetangga ada CCTV, langsung aja saya minta rekaman CCTV keberadaan pelaku," tambah Ismail. Dari rekaman itu, ia jadikan modal untuk mencari sendiri motornya yang dicuri komplotan maling di pagi hari.

"Videonya saya minta. Saya edit dan zoom plat nomor pelaku pencurian. Di situ terlihat jelas wajah pelaku dan nomor kendaraan yang mereka pakai saat beraksi," ujarnya. Kemudian ia kembali mendatangi Polsek tempatnya melaporkan diri saat kehilang. Lagi-lagi Marzuki kecewa.

"Petugas polisi cuma bilang susah itu. Susah ketemunya. Ikhlasin aja, nanti juga diganti sama yang baru," kisah Marzuki menirukan petugas kepolisian saat menanggapi rekaman CCTV yang diperlihatkan kepada petugas. Seharusnya, kata Marzuki, dari rekaman itu saja polisi bisa menelusuri identitas pelaku pencurian.

Sebulan pun berlalu. Motor tak juga ketemu. Tiba-tiba, muncul pesan berantai digawainya di sebuah grup Whatsapp. Pesan itu berbunyi pengumuman bagi warga yang kehilangan kendaraannya untuk mengambil di sebuah Polres. Rupanya aparat kepolisian berhasil menyita banyak kendaraan, baik roda dua dan roda empat.

"Ternyata rezeki gak kemana, dari list kendaraan yang berhasil disita, ada motor Beat saya," katanya.

Alih-alih dengan mudah mendapatkan motornya, Marzuki diminta uang Rp2 juta agar motor miliknya dapat kembali oleh oknum. Alasannya untuk mencari motor itu pakai biaya sendiri. "Harus ditebus 2 juta. Tapi ini juga harus pihak leasing yang mengambil," kata si petugas.

"Saking kesalnya, saya ngomong, saya udah usaha sendiri mencari, saya disuruh bayar, ya udah lah saya viralin aja lah. Rupanya petugas itu paham, dan nggak jadi meminta setoran. Sama orang leasing akhirnya motor itu diambil," tutup Marzuki.

Kisah ini sudah layaknya menjadi pembelajaran bagi aparat hukum agar tidak memilih dan memilah sebuah laporan korban kejahatan. Sejatinya, namanya laporan kriminal di masyarakat harus direspon oleh aparat agar tak menjadi preseden buruk ke depan. Jadi tidak ada lagi semboyan 'No Viral No Justice.'  (https://poskota.co.id/2022/09/10/no-viral-no-justice?halaman=1).

Tagar No Viral No Justice ini didefinisikan oleh para warganet sebagai bentuk dari situasi tatkala seseorang harus memviralkan kasus hukum yang dialaminya terlebih dahulu untuk mendapatkan keadilan seutuhnya. Seharusnya kasus hukum tersebut tidak dipandang dari viral atau tidaknya oleh para penegak hukum untuk bisa diproses dan ditindaklanjuti.

M Hafiz Al Habsy (2022) mengatakan fenomena tagar ini adalah bentuk keresahan dari warganet yang dianggap sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan diselesaikan oleh para penegak hukum. Dinamika ini sangat menyoroti pelayanan pihak penegak hukum dalam kinerjanya menangani kasus kasus yang ada.

Fenomena baru dalam ruang digital yang cukup menarik di akhir tahun 2021 kemarin ialah ruang digital menjadi alat penegak hukum. Pemikiran ini timbul sebagai respons terhadap tagar "No Viral No Justice" atau tidak ada keadilan jika belum viral yang ditujukan kepada Polri sebagai sebuah kritikan atau masukan. Ini merupakan bentuk mobilisasi populis (pengguna internet/media sosial) dalam ruang digital yang berujung menjadi pressure group terhadap lembaga atau instansi yang bersangkutan.

Tagar tersebut muncul karena masyarakat menilai bahwa sebuah kasus yang diviralkan cenderung akan lebih cepat selesai dibandingkan kasus yang dimulai dengan laporan biasa. Alhasil, akhir-akhir ini ruang digital Indonesia kerap kali disuguhkan kasus-kasus tindak pidana seperti kekerasan seksual dan berbagai macam kasus yang menimbulkan kecaman dari masyarakat.
Pembahasan mengenai fenomena "No Viral No Justice" cukup menarik apabila dibahas dari sisi ruang digital itu sendiri sebagai role model pergerakan di masa yang akan datang.

Kurang lebih 20 tahun sebelum Indonesia merdeka masyarakat tengah dihampiri demam organisasi; pribumi kala itu berbondong-bondong membentuk sebuah organisasi mulai dari Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam, Perhimpunan Indonesia, dan banyak organisasi lain dengan berbagai macam latar belakang.

Pembentukan organisasi adalah alat perlawanan terhadap pemerintahan kolonialisme Belanda; salah satu bentuk senjata perlawanan nonfisik yang dimunculkan organisasi atas kesewenang-wenangan saat itu ialah boikot. Sama halnya dengan fenomena "No Viral No Justice" tadi, boikot yang dilakukan masyarakat atau anggota organisasi juga sebagai bentuk mobilisasi populis yang berujung pada terbentuknya pressure group atau kelompok penekan dalam kehidupan masa kolonialisme (vide https://news.detik.com/kolom/d-5883436/belajar-dari-fenomena-no-viral-no-justice).

Mohammad Imam Farisi (2022) menguatkan pendapat tersebut. Beliau mengatakan kini medsos tidak hanya sebatas ruang berbagi informasi, berjejaring sosial, bersosialisasi, atau berasosiasi di era digital. Medsos adalah sebuah fakta sosial baru dengan segala aspek positif dan negatifnya bagi publik.

Kehadirannya tidak lagi hanya menjadi media alternatif yang berani mengambil sikap berbeda, tetapi juga media tandingan bagi media arus utama. Bahkan, kini medsos telah muncul sebagai kelompok penekan. Terkadang medsos memainkan peran peradilan di luar pengadilan atau mahkamah, yang dikenal dengan istilah “trial by the netizen atau trial by the social media”. Bahkan, saat ini media sosial muncul sebagai kelompok/kekuatan penekan pada era keterbukaan informasi digital

Fenomena kekuatan medsos dalam mengontrol pelayanan penegak hukum dimulai adanya tagar “Viral for Justice” atau “No Viral No Justice”, yang kemudian diikuti oleh tagar #PercumaLaporPolisi, #SatuHariSatuOknum, hingga #PercumaAdaPolisi. Isu yang dibawa adalah aparat penegak hukum (kepolisian) seharusnya mampu melaksanakan penegakan hukum secara adil bagi setiap warga, tanpa diskriminasi apapun (equality before the law).

Rizka Noor Hashela (2017) seolah menguatkan tersebut dengan menulis banyak fakta adanya diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka ada yang berkuasa dan yang tak punya kekuasaan. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja. Namun, realita hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan menyanjung kaum elit.

Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali mengesampingkan fakta sosial. Inilah cara berhukum” para penegak hukum tanpa nurani dan akal sehat. Pasal-pasal KUHP bagi rakyat kecil ibarat peluru yang menghujam jantung, namun bagi para petinggi hanyalah sebuah coretan yang termaktub dalam kitab. Hukum hanya berlaku untuk mereka yang tidak mampu membayar pengacara.

Bahkan kini KUHP adalah singkatan dari “Kasih Uang Habis Perkara”. Persis seperti meme yang diposting Mahfud MD: Mau minta keadilan Pak! Minta…minta…Beli! (vide https://www.republika.co.id/berita/rpei4z377/unggah-meme-soal-beli-keadilan-mahfud-saya-ndak-lelucon).

Yups, memang benar, keadilan adalah barang mewah, sehingga harus terus diperjuangkan dan negara harus hadir! Negara harus menegakkan keadilan (comission) untuk semua atau tidak boleh abai (omission) atas ketidakadilan yang dialami warganya.

Mulai hari ini, sepatutnya tidak ada lagi tagar 'No Viral No Justice.' Apalagi tagar itu muncul sebagai bentuk kekecewaan publik terhadap kinerja aparat. Memang tidak semua. Apalagi biasanya seperti itu cuma oknum belaka? Hehe…

 =============

Sumber: https://waspada.id/opini/tidak-viral-tidak-ada-keadilan/



Tag: , , , , ,

Post Terkait

Komentar