post.png
TELEVISI_remote-control.jpg

Berita Video Artis Mesum: Edukasi atau Sensasi

POST DATE | 20 Juli 2017

Memang cuma dalam waktu sepekan saja, masyarakat telah dibuat heboh. Apa pasal? apalagi kalau bukan soal rekaman video yang melibatkan para pesohor di negeri ini.

Perhatian masyarakat tumpah pada beredarnya dua rekaman adegan mesum di dunia maya, yang dilakukan pasangan yang wajahnya mirip selebritas kondang. Yang pertama melibatkan pasangan yang berwajah mirip presenter Luna Maya dan penyanyi kondang Nazril Irham alias Ariel. Rekaman kedua menggambarkan secara vulgar adegan mesum, -katanya, lagi-lagi pria mirip Ariel, dengan wanita berparas mirip Cut Tari.

Berita rekaman adegan mesum pasangan yang mirip artis kondang tersebut, sontak memicu hiruk pikuk di media massa. Publikpun memburu rekaman itu, guna melampiaskan rasa penasaran. Apalagi, artis yang disebut-sebut sebagai pelaku adegan mesum tersebut banyak dijadikan idola anak muda. Tokoh musisi dan artis papan atas pula. Kasus rekaman nan mesum tersebut tentu menambah panjang daftar video mesum yang beredar di masyarakat, baik yang melibatkan masyarakat umum, politisi, maupun artis.

Bahkan menurut Koordinator Gerakan Jangan Bugil Depan Kamera (JBDK), Peri Umar Farouk mengungkapkan, faktor keyakinan yang dipegang oleh ABG saat ini menjadi pemicu meningkatnya produksi foto maupun video porno. Kini, ada keyakinan yang dipegang remaja kalau konten itu (porno) bersifat sangat private. Namun mereka tidak sadar bahayanya bisa beralih ke publik dan menyebar luas (okezone, Selasa (8/7/2010).

Menurut dia, jangan heran bila video mesum atau foto bugil saat ini banyak bertebaran di internet. Setiap bulan diperkirakan kenaikannya dua kali lipat yang eksibis di jejaring sosial dan internet.

Selanjutnya Peri memaparkan, hal ini juga didukung hasil survei internet yang menyebutkan adanya penurunan akses ke situs porno resmi hingga 50 persen. Pengguna internet beralih ke jejaring sosial seperti Myspace, Facebook, Multiply, Friendster, Hi5 untuk melihat, menyimpan foto atau video porno.

Hal ini tentu melahirkan keresahan sosial. Bangsa Indonesia, yang sejatinya masih menjunjung tinggi nilai moral, agama, dan adat ketimuran, ternyata seringkali diserang "virus antisosial" nan begitu menakutkan.

Sungguh disayangkan, para pelaku seolah tidak belajar dari kasus-kasus sebelumnya. Beredarnya rekaman hubungan intim -yang katanya lagi- dimaksudkan untuk konsumsi pribadi- menetes ke publik secara luas, telah berdampak negatif bagi masyarakat dan bagi dirinya sendiri.

Tanggung Jawab Media

Terlepas dari apakah asli atau hasil kloning teknologi video mesum itu, merebaknya pemberitaan peredaran video ini sangat membuat prihatin. Bagaimanapun pemberitaan bertubi-tubi di berbagai media massa itu mendestruksi mental dan moral generasi muda.

Berita video mesum artis itu seakan menyempurnakan berita atau dibuat acara yang bombastis atau berselera rendah seperti skandal seks, kekerasan seksual, mistik, kekerasan massal, pembakaran asset pemerintahan, pembunuhan sadis dan lain sebagainya.

Sejatinya, memang kalangan media massa secara proporsional memberitakan berbagai hal yang sensitif, karena media massa, mempunyai tanggung jawab besar dalam mengarahkan masa depan masyarakat. Pemuatan berita dalam rangka kontrol merupakan kewajiban media massa, tetapi tidak elok bila yang dieksplorasi adalah sisi pornografinya, hanya mempertimbangkan tiras surat kabar atau rating televisi/radio.

Masalahnya dalam kasus video mesum terakhir, media massa seperti kurang kendali. Simaklah, bagaimana wajah media massa kita mengemas berita mirip presenter Luna Maya dan penyanyi kondang Ariel atau mirip Ariel dan Cut Tari itu. Dominasi dan motif bisnis berita lebih terasa.

Vulgar dan terbuka serta belum mengarah pada upaya meningkatkan nilai edukasi. Umumnya, media massa lebih melihat adegan mesum mirip Ariel-Luna Maya dan Ariel Cut Tari lebih sebagai peluang bisnis?

Menurut Ferly Norman (Kompasiana, 8 Juni 2010) kasus video mesum dari sudut apapun, tentunya tidak bermanfaat dan malah menimbulkan efek negatif bagi masyarakat: Pertama, media bekerja diruang publik sehingga wajib menaati norma dan kesusilaan yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia. Kalau zaman orde baru, isu seperti ini hanya menjadi obrolan di warung kopi atau dalam lingkup terbatas.

Tetapi sekarang, dari bayi yang baru lahir sampai orang tua jompo tahu masalah ini. Siapapun yang masih mempunyai anak dibawah umur pasti risih dengan tayangan yang tidak mengenal waktu siang dan malam. Di mana anak di bawah umur dapat begitu mudah mengakses berita tersebut tanpa sengaja.

Kedua, Bukankah video itu adalah urusan "sang pemeran" didalamnya? mengapa media menjadi mendua sekarang. Dulu ketika ada RUU Anti Pornografi, media dan para penolak UU tersebut berdalih pornografi adalah urusan private. Negara tidak bisa "ikut campur" di urusan remeh-temeh begitu.

Tetapi ketika ada kehebohan video tersebut, media berlomba-lomba "menarik" urusan private tersebut ke ranah publik? Sungguh sifat kemunafikan atau standar ganda oleh media. Begitupun dengan para "suporter" yang meng-claim dirinya feminis dan liberal yang menolak kehadiran RUU Pornografi.

Mengapa mereka diam dengan berita yang seakan-akan menghakimi "sang aktor dan aktris". Seharusnya mereka mengecam media massa yang "kegenitan" itu dengan alibi bahwa itu merupakan "hak asasi" sang pelakon.

Apalagi media massa diikat oleh aturan dan kode etik yang ketat sebelum menerbitkan atau menanyangkan suatu peristiwa atau berita. Media massa tentu telah mempunyai kemampuan self sensored sebelum memuat suatu berita. Intinya, apakah berita tersebut bermanfaat atau sebaliknya memberikan efek negatif pada masyarakat. Apakah berita itu memiliki nilai edukasi atau sekadar sensasi semata?

Ironisnya kalangan pemburu video dan yang melakukan download di sejumlah situs, hingga di tempat-tempat PKL penjual video porno pinggir jalan adalah para pelajar SMP dan SMA. Mereka ini masih rawan. Selalu ada rasa ingin tahu. Jadi, dampaknya bagi masyarakat sangat buruk, khususnya kalangan anak muda.

Jelasnya, media massa bekerja diruang publik sehingga wajib menaati norma dan kesusilaan serta suasana kebatinan yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia. Selain itu, penting pula dipertimbangkan bagi kalangan publik figur agar berhati-hati dalam bersikap dan bertindak.

Mereka menjadi panutan penggemar masing-masing yang umumnya anak-anak muda. Sikap dan tindakan mereka, harus mempertimbangkan secara saksama terhadap kepentingan terbaik moral bangsa.

Belajar dari beberapa kasus yang menimpa para publik figur sebelumnya, memang harus ada tindakan tegas pihak penegak hukum atas peredaran video mesum itu. Tanpa penegakan hukum yang kuat dan tegas maka kasus serupa senantiasa akan terulang pada masa mendatang.

Penegak hukum harus menyiapkan jerat hukum bagi mereka yang menyebarkannya. Polisi harus bergerak lebih cepat menyelidiki siapa yang menjadi dalang di balik video mesum yang memalukan itu. Banyak berita cuma menghasilkan sampah informasi, maka di situlah persoalannya.

Begitupun, penegak hukum dapat saja menggunakan Pasal 27 UU ITE No. 11 Tahun 2008 tentang larangan menyebarluaskan atau mendistribusikan informasi elektronik dan dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara.

Terdapat pula sanksi yang sama di dalam KUHP, maupun Undang-Undang Pornografi. Instrumen hukum ini mesti digunakan secara optimal untuk menjerat baik para pelaku, industri, maupun pengedar pornografi.

Masyarakatpun tidak boleh larut dalam sanderaan media massa yang setiap saat menyuguhkan informasi tentang pornografi. Sampai detik ini, memang masih sulit mencari beda berita edukasi dan sensasi.

Apakah senantiasa nilai moral dan persuasi, justru dikalahkan kepentingan tiras atau rating media? Tentu tidak, masih ada media massa yang coba bersikap bijak dan ramah terhadap pembacanya. Walaupun mungkin tinggal tak seberapa?***

 

========

Sumber:  Analisa, 15 Juni 2010



Tag: ,

Post Terkait

Komentar