post.png
FAIR_PLAY.jpg

Hak Eksklusif vs Fair Play

POST DATE | 22 Juli 2017

Penggila bola program Liga Inggris (English Premier League/EPL) di Indonesia priode 2007/2008 merasa sesak dada. Apa pasal? Apa mereka korban flu burung atau demam tinggi akibat perubahan cuaca? Tentu tidak. Biang keroknya tak lain menyangkut hak penyiaran eksklusif Astro TV. Penayangan eksklusivitas Liga Inggris itu dirasakan telah merugikan pencinta sepakbola di tanah air.

Akibat iklim tak sehat itu telah menuai protes dari pelbagai kalangan. Salah satunya muncul dari M. Iqbal, Ketua Komunitas Pencinta Bola (Seputar Indonesia, 1/9/2007, hal. 12). Menurut Iqbal pemerintah cq Depkominfo harus mengambil langkah dalam rangka membela kepentingan publik. Pemerintah mesti melakukan segala cara guna mengakhiri eksklusivitas siaran Liga Inggris itu. 

Protes itu pantas muncul ke permukaan. Karena selama ini bolamania bebas menikmati pertandingan Liga Inggris secara gratis. Nyaris setiap even Liga Inggris dapat ditonton melalui saluran TV swasta. Tapi kini, jangan berharap bisa nonton di saluran TV swasta lagi dengan bebas alias gratis. Pencinta Liga Inggris, kalau mau menonton misalnya hanya bisa lewat Astro TV. Sebuah sajian TV swasta berlangganan. Barangkali ilustrasi yang paling cocok untuk menggambarkan keadaan itu adalah; “kompetisi yang didamba, tapi cuma monopoli yang ada”.

Membelenggu konsumen

Memang gelegar siaran sepakbola Liga Inggris tahun ini jauh berbeda dengan yang berlangsung pada Liga Inggris tahun sebelumnya. Sebab ketika itu bolamania disuguhkan tayangan langsung oleh salah satu stasiun TV swasta secara gratis. Harus diakui, yang melakukan siaran langsung saat itu adalah pemegang  hak siar tunggal seperti Liga Inggris 2007 ini. Cuma, waktu itu siaran itu ditayangkan secara gratis tidak harus berlangganan.

Dengan kata lain, pada Liga Inggris 2007 hak konsumen (bolamania) terpasung oleh hak monopoli yang dimiliki oleh satu stasiun TV swasta saja. Sebab dengan hak monopoli yang dimiliki hanya satu stasiun TV saja jelas akan menempatkan konsumen pada posisi ‘nyaris’ tidak ada pilihan, kecuali bagi konsumen yang mungkin punya antena parabola. Tapi berapa orang sih, yang mau dan mampu memiliki antena parabola demi hanya sekadar menonton bola? Jelas sangat minim dan terbatas!.

Jadi dengan demikian, tidak salah kalau disebut setiap segala sesuatu yang monopolis pasti akan membawa kerugian bagi konsumen. Lho, kok begitu? Karena, dalam kaitan kepentingan konsumen kompetisi fair play sepakbola sangat relevan dengan semangat yang termuat dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

UUPK menegaskan hak paling fundamental konsumen yaitu; (a) hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; (b) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; (c) hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; (d) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; (e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; (f) hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; (g) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif (Pasal 4 UUPK).

Sekaitan dengan implementasi konkrit atas hak-hak konsumen di atas, jelas praktik monopoli (hak siar tunggal dan wajib bayar) itu tidak memberikan keleluasaan bagi konsumen untuk memilih saluran TV swasta yang disenanginya dan sesuai dengan kemampuan bayarnya. Konsumen sama sekali tidak bisa memilih secara gratis, kecuali harus merogoh isi kantongnya, sekadar untuk menonton siaran langsung Liga Inggris.

Eksklusivitas vs Fair Play

Ternyata fair play  yang sangat dijunjung tinggi pada sepakbola, berbanding terbalik dengan kompetisi fair play siaran sepabkbola yang ada di TV swasta nasional. Hak siar tunggal (monopoli) telah membenamkan fair play sepakbola sejagat, demi ambisi meraih rating  (dan untung) yang tinggi.

Gelegar sepakbola Liga Inggris 2007 telah tercoreng  (cedera) karena hak monopoli yang dimiliki oleh hanya salah satu saluran TV saja. Praktik monopoli  jelas telah mengubur hak publik yang sejatinya bebas memilih dan tidak hanya disuguhkan oleh siaran monopolis. Dibanding penyelenggaraan Liga Inggris sampai 2006, jelas Liga Inggris 2007 awan kelabu bagi bolamania. Di sisi lain, hak konsumen mendapat suguhan Liga Inggris secara gratis seperti tahun sebelumnya harus dilupakan.

Kesempatan dan kebebasan untuk menonton saluran TV gratis, seperti Liga Inggris sebelum 2006 tinggal kenangan dan  nostalgia. Itu semua terjadi tak lain karena monopoli (hak siar tunggal) masih dipelihara. Selain mempersempit pilihan konsumen untuk memilih,  sesungguhnya praktik monopoli ala kapitalisme global telah  memberi pelajaran penting bagi dunia pertelevisian di Indonesia.

Seandainya pengelola TV menganut dan menjunjung semangat fair play dalam menyiarkan Liga Inggris 2007, tentu semua permainan cantik pemain kelas dunia dapat dinikmati bolamania secara utuh. Kini semua telah sirna, kecuali mau berlangganan Astro TV. Lebih jauh lagi, jikalau klub Manchester United, Chealse atau Arsenal atau Liverpool misalnya, sejak awal telah memegang hak monopoli Juara Liga Inggris tentu Liga Inggris 2007/2008 tak perlu digelar lagi.

Tapi begitulah, siaran sepakbola Liga Inggris tahun 2007/2008 ini sudah terlanjur dimiliki oleh hanya satu saluran TV saja. Konsumen tidak berdaya, dan bisanya cuma gigit jari semata.

Meski demikian, sesungguhnya masih ada harapan. Yakni menunggu peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo). Apakah institusi ini mampu ’unjuk gigi’ untuk menertibkan dan menyingkirkan duri ’monopoli’? Hingar bingar Liga Inggris 207 baru saja melangkah.

Jadi, tidak ada istilah terlambat, kecuali ketiga institusi itu sedang sariawan berat? Sebab manakala tak bernyali, maka pantas muncul pertanyaan, apakah fair play yang sangat diagungkan itu memang masih ada? Jikalau memang ada, mengapa kompetisi Liga Inggris 2007 harus kalah melawan monopoli? Ayo KPPU, KPI dan Depkominfo kamu bisa untuk menertibkan itu..!!

 

========

Sumber: Sumut Pos,                2007



Tag: , , ,

Post Terkait

Komentar