post.png
caleg.jpg

Menakar Kualitas Caleg

POST DATE | 05 April 2017

Perhelatan demokrasi Pemilu 9 April 2009 telah usai. Partai politik ‘juara’ juga telah dipublikasi media. Sebelum hari pencontrengan, pengamat politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr. Muhajjir Effendi mensinyalir legislatif lima tahun ke depan bakal diisi orang-orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat. Menurut Muhajjir calon legislatif sekarang ini berasal dari berbagai latar belakang terutama orang-orang kaya, artis dan tokoh kharismatik.

Mereka bakal duduk sebagai wakil rakyat hanya karena terpilih saja, bukan karena keahliannya di bidang tertentu. Walaupun kata Muhajjir, tidak semua wakil rakyat seperti itu. Tetapi kondisi itu riil, bahkan menjadi sebuah tren yang sudah umum dilakukan (Waspada, 1 April 2009: 1). Calon legislatif tak tahu apa-apa, berarti sama dengan ‘botol kosong’. Cantik dan elegan tampilan atau bungkusan luarnya. Tetapi sayangnya tak berisi apa-apa, kecuali sekadar berangkat asal-asalan belaka.

Wah, kalau statemen itu benar, sungguh hal ini telah mendekati nasihat Rasulullah Saw. “Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah’? Beliau menjawab, Apabila suatu perkara diserahkan kepada selain pakarnya, nantikanlah tibanya hari kiamat.” (HR. Bukhari).

Memang banyak calon legislatif yang mengajukan penuh percaya diri untuk menjadi seorang wakil rakyat. Cuma, jangankan berkualitas, di antara bakal calon wakil rakyat yang ada sedikit sekali yang dikenal para rakyatnya. Mereka adalah kandidat pemimpin dadakan. Rekrutmen dilakukan secara instant. Sekadar catatan ke belakang pada waktu proses kampanye legislatif yang lalu. Terbukti kemudian mereka kurang dekat dengan rakyatnya. Banyak calon legislatif berlomba memasang poster atau baliho besar-besar. Sama sekali tak peduli akan estetika, etika dan kenyamanan lingkungan.

Dengan kata lain, elit politik lomba mengundang simpati. Politisi model ini lebih banyak memoles wajah. Mereka pakai kosmetika dan minyak wangi. Harum semerbak walau sesaat dan membuat sesat. Foto politisi begitu bersih, dan senyum nan indah. Politisi mendadak dermawan. Sumbang sandang dan pangan sana sini. Hiasan perang spanduk dan foto politisi ada di mana-mana. Padahal itu tak lebih dari sekadar topeng dan wajah palsu belaka, untuk memanipulasi ketidakmampuan mereka mewujudkan substansi berpolitik yang sesungguhnya. Pemimpin sesungguhnya adalah mereka yang mau berkeringat dan mengikuti proses seleksi. Pemimpin yang baik dan mementingkan keberpihakan kepada orang yang diwakilinya, tanpa pamrih atas imbalan materi.

Masa mencontreng telah lewat. Pemilihan umum adalah proses seleksi ideal guna mencari wakil di legislatif. Bagi konstituen memilih wakil bukan sekadar contreng, sebab bakal dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Ketika memilih dan menggunakan hak pilih itu, maka pastikan hak itu dipergunakan dengan benar. Demikian pula pemimpin tidak lahir begitu saja, tetapi harus melalui proses panjang dan seleksi ketat.

Seorang pemimpin tidak cukup sekadar mengumbar senyum. Memasang baliho atau poster besar-besar. Mendadak dermawan, seakan begitu dekat dengan orang yang diwakilinya. Rekrutmen pemimpin  tidak sama dengan ‘artis dadakan’ yang lahir dari sebuah audisi atau kontes. Seseorang layak disebut pemimpin manakala ia mau peduli dan telah terbukti berada di garis terdepan guna memperhatikan dan memberi jalan keluar atas kesulitan para konstituen. Jadi, tidak sekadar ‘mejeng’ jelang pemilu semata. Lebih parah lagi, kalau ternyata mereka cuma memiliki modal ‘botol kosong’ dan karena punya atribut kaya, artis dan kharismatis.

 

Syarat Pemimpin

Pemilihan umum merupakan entry point  (pintu masuk) untuk membentuk pemerintahan berwatak baik (good governance). Pemilu sekaligus memperkuat tali mandat rakyat kepada para pemimpin yang dikehendaki dan diidamkannya. Terlaksananya proses Pemilu 2009 dengan baik dan memuaskan apabila  rakyat dapat mempengaruhi secara penuh penetapan para calon pemimpin rakyat. Tali mandat itu juga berlanjut sampai pada tahap proses lanjutan Pemilu 2009 dengan penuh kesungguhan (kampanye, pencontrengan dan perhitungan suara). Karena itu tahapan Pemilu 2009 mestinya dirancang sebagai proses yang mencerminkan kesungguhan berdemokrasi di level nasional dan daerah (lokal).

Letak penting agenda politik dan hukum pemilu sebagai arena seleksi pemimpin nasional dan lokal adalah guna menciptakan pemerintahan bersih. Seluruh partai politik didesak dan didorong agar memiliki komitmen yang tinggi untuk melakukan rekrutmen kepemimpinan nasional dan lokal yang kuat dan bersih. Momentum Pemilu 2009 harus diletakkan dalam konteks hak politik rakyat untuk menentukan pemimpin yang bersih dari KKN dan membawa daerahnya menuju fase baru ke arah lebih berkemajuan.

Prosesi pemilu memerlukan elit nasional dan lokal yang berkarakter kuat, bermoral tinggi, tegas dalam mengambil keputusan dan bersikap, memiliki visi yang luas. Kemudian, mempunyai kemampuan kepemimpinan yang berkualitas, dan benar-benar mencintai rakyat sebagaimana watak negarawan. Bukan para elit pemulung atau aji mumpung, bermental lembek, dan kepemimpinan di bawah standar.  Pemimpin yang secara terus menerus menebarkan kemaslahatan umum dan berbuat yang terbaik demi orang yang diwakilinya. Bukan tipe pemimpin yang semata mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya saja. Apalagi kalau cuma melakukan tebar pesona.

Pemimpin nasional dan lokal pasca-pemilu 2009 setidaknya harus mampu memenuhi tuntutan reformasi politik dan hukum. Reformasi yang menginginkan perubahan berjalan secara efektif, efisien, transparan, akuntabel, adil dan tanpa diskriminasi. Lebih dari itu, reformasi hukum juga harus memperhatikan prinsip tersebut, sehingga good governance benar-benar dapat diwujudkan.

Masalahnya, ketika kekuasaan mengalami pergeseran dari bandul eksekutif ke legislatif ternyata bersamaan dengan itu pula penyakit KKN mengalami metamorfosis dalam bentuk demokratisasi dan distribusi korupsi. Penyakit bagi-bagi korupsi antara eksekutif dan legislatif dilakukan secara berjamaah. Jika dulu para birokrat di pemerintahan sangat terampil dalam bagi-bagi proyek, kini para anggota legislatif tidak kalah terampil dalam berebut proyek. Akhirnya, mereka lupa amanat rakyat yang memilihnya karena sibuk mengurus proyek-proyek baru.

Syarat pemimpin, elit dan kekuatan­-kekuatan masyarakat tersebut tidak tergoda untuk menjadikan Pemilu 2009 sebagai bisnis eceran politik ke wilayah publik. Pemimpin nasional dan lokal harus mampu mengemban mandat good governance.  Atas dasar itu, masyarakat harus jeli dan cerdas dalam melindungi diri sendiri. Masyarakat harus lebih sensitif dan selektif dalam menyikapi setiap perilaku birokrasi dan politisi.

Kolaborasi dan konspirasi birokrasi dan politisi bakal lebih banyak mengorbankan kepentingan warga. Karena itu warga harus lebih kritis untuk mengawal moral wakilnya di parlemen. Jangan terjebak pada janji manis belaka. Tetapi miskin program yang signifikan dan konkrit. Teropong kembali jejak janji, tatkala mereka pernah memberi harapan yang lebih baik. Warga tidak boleh terlena dengan janji dan mulut manis caleg.

Apakah masih ada para pemimpin mau melayani, peduli dan berpihak? Kalau tidak sekali lagi, maka rakyat cuma memilih pemimpi, dan bukan pemimpin. Tak salah terdapat ungkapan: kalau gegabah dalam memilih, pemilu cenderung bakal berbuah pilu? Apalagi kalau tak hati-hati menilai, jarak pemimpi dan pemimpin cuma setipis kulit bawang.

 

==================

Analisa, 04 Juni 2009



Tag: Caleg

Post Terkait

Komentar