POST DATE | 03 April 2017
Harga : Rp 45,000 (di luar ongkos kirim)
Judul : Pledoi Orang Pinggiran
Penulis : Farid Wajdi
Editor : Aulia Andri
Penerbit : Mentiko Publisher, Medan, 2009
Tebal : 264 halaman + vxi
Lazim diketahui, persoalan layanan publik di Indonesia, utamanya di Kota Medan, carut-marut dengan beragam persoalan. Mulai dari (lebih) seringnya listrik padam, layanan air bersih hingga urusan remeh-temeh seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi persoalan yang tak pernah usai diselesaikan. Lihatlah, bagaimana persoalan KTP di Kota Medan seolah menjadi masalah sangat berat seolah mengalahkan kasus Bank Century. Mulai dari kongkalikong “upah” mendapatkan selembar KTP, hingga persoalan habisnya blanko pengisian KTP. Persoalan KTP ini tentunya bukan persoalan semata-mata layanan publik yang terabaikan. Ini persoalan mendasar yang harusnya bisa diselesaikan oleh pemerintah, khususnya Pemerintah Kota Medan.
Tak heran, buku berjudul: “Pledoi Orang Pinggiran”, karya Farid Wajdi menempatkan persoalan KTP ini sebagai tulisan pembuka di bab awal. Judulnya yang atraktif membuat pembaca yang menyusuri halaman demi halaman buku setebal 264 halaman ini, akan segera menambatkan mata ke tulisan pembuka itu. Simalakama KTP Gratis. Itu judul yang disajikan pada awal buku ini. Seperti yang telah ditulis diatas, persoalan KTP menjadi penting karena ia menyiratkan sebuah layanan publik yang seharusnya memihak kepada kepentingan rakyat. Persoalan KTP di Medan makin menjelimet ketika pada awal tahun 2000-an, Pemko Medan berniat melakukan reformasi birokratis dengan menggratiskan KTP bagi warganya. Tapi apa lacur, niat ini hanya menjadi semacam milestone (tonggak) yang berdiri tanpa isi.
“Belakangan program itu seperti buah simalakama. Satu sisi, warga menggugat KTP gratis itu. Mengingat warga justru dibuat susah dengan program gratis itu. Kini, pil pahit dari program serba gratis itu, yakni; Ketidakpastian waktu dan tarif/biaya, ketidakpastian siapa yang bertanggungjawab. Fakta empiris KTP gratis itu telah merusak layanan birokrasi, termasuk di jajaran pemerintahan daerah. Mengurus KTP makin lambat. Blangko KTP kosong di mana-mana. Akses untuk mendapat KTP makin minimal. Urusan makin berbelit. Lalu, kalau blangko KTP kosong, maka alasan ketiadaan anggaran alias kosong, menyeruak ke permukaan. Apakah setiap kebijakan populis itu bakal berbuah miris?” tulis Farid Wajdi di halaman 4 buku karyanya ini.
Apa yang ditulis Farid soal KTP boleh jadi menjadi “santapan” awal bagi pembaca untuk menikmati tulisan demi tulisan tentang persoalan layanan publik di Kota Medan. Sejatinya, Farid juga menulis soal layanan listrik yang sejak 4 tahun ini byar-pet di Kota Medan, masalah layanan air bersih oleh PDAM Tirtanadi hingga masalah aktual seperti gugatan RS Omni International kepada Prita Mulyasari dengan dasar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Soal listrik yang sering padam, Farid menyoroti masalah ini dengan sangat kritis. Ia “menguggat” janji Pemerintah Provinsi Sumut yang mengatakan pada tahun 2009 listrik di Sumut dijamin tak akan lagi byar-pet (hidup-mati).
“Akan tetapi, baru saja pelanggan menginjak kaki tahun 2009, lagi PLN mengulah. Mestinya byar-pet (listrik mati), sudah sembuh, bukan malah kambuh. Lebih celaka lagi, janji petinggi PLN bakal tidak ada lagi pemadaman, tak lebih dari sekadar janji belaka. Tak lama memasuki awal tahun 2009, penyakit kronis PLN lagi-lagi ‘kumat berat’ (halaman 128).
Centang prenang soal listrik ini belum cukup. Farid, juga secara jenaka mengkritisi soal layanan air bersih dari PDAM Tirtanadi. Ia dengan “nakal” menulis judul BAB III dengan kalimat: “Air Menetes....Tes.....Tes.....” Sentilan Farid kepada PDAM Tirtanadi sebagai pihak yang paling bertanggungjawab mengenai layanan air bersih bagi masyarakat terkait tidak sebandingnya penghargaan yang diraih Tirtanadi dengan layanan yang diberikannya. Lihatlah, di halaman 144-145, Farid menulis begini,”Kinerja koleksi penghargaan itu merupakan sukses besar dan agak sulit untuk mencari tandingannya. Meminjam iklan sebuah produk; ”tiada tanding, tiada sanding”. Itu baru sekelumit kisah sukses direksi PDAM Tirtanadi dalam mengawaki perusahan pemasok air. Apakah penghargaan itu bukan sekadar penghargaan retoris belaka, sebab untuk mendapat raihan itu memerlukan ”ongkos sebagai harga” atas penghargaan itu? Bagaimana signifikansi raihan koleksi atas penghargaan itu dengan kepuasan pelanggan? Apakah harapan Gubernur Sumut agar direksi PDAM Tirtanadi memberikan kepastian kuantitas, kualitas dan kontinuitas air bersih, telah dapat tercapai?”.
Berbagai kritik Farid terhadap penyelenggaraan layanan publik akan semakin asyik dinikmati dalam buku ini. Setidaknya ada 39 artikel lepas yang ditulis Farid dalam bukunya. Semua tulisan itu terlihat sudah pernah dipublikasikan Farid di berbagai media massa. Ini juga menunjukkan bahwa dalam menulis, Farid tidaklah sembarangan. Tulisan-tulisan itu sudah “teruji” kesahihannya di ranah publik melalui media massa. Sebagai seorang advokat yang punya spesialisasi di bidang layanan publik dan akademisi di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FH UMSU), Farid juga telah memberikan inspirasi bagi pembaca buku ini untuk sadar tentang pentingnya perbaikan layanan publik, khususnya di Kota Medan. Farid yang hingga kini masih memimpin Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) di Medan, telah menyadarkan bahwa peningkatan layanan publik merupakan sebuah moral obligation bagi para pemimpin di lembaga layanan publik.
Buku apik yang disajikan Farid lewat Mentiko Publisher ini bisa menjadi pilihan para penikmat buku di awal tahun. Keputusan meluncurkan buku di awal tahun 2010 seolah membawa pesan bahwa centang-prenang-nya layanan publik di tahun 2009, seharusnya tak terjadi lagi. Dan itu, seperti yang ditulis oleh Farid dalam Sekapur Sirih-nya, bahwa buku ini merupakan pledoi orang pinggiran yang (kadang) sering terpinggirkan karena ada kebijakan penguasa atau pasar yang membuat orang makin ke pinggiran.
Begitupun, buku ini tentu menyimpan kelemahan dari sisi penampilan. Cover buku yang sedikit buram, seolah disengaja untuk menunjukkan kesan “orang pinggiran” itu namun tidak cukup berhasil mengangkat kesan itu. Sementara itu, pemilihan huruf yang cukup besar menjadikan buku ini menjadi sedikit tebal. Mungkin pilihan huruf yang disematkan pada buku ini ingin “lari” dari mainstream buku kebanyakan. Dan hal itu wajar saja.