post.png
stopnarkobadanfreesex.jpg

Sikap Kritis Atas Perilaku Artis

POST DATE | 20 Juli 2017

Belajar dari heboh kasus video mesum mirip Ariel-Luna dan Ariel-Cut Tari, tentu harus diambil sikap kritis tersendiri. Jika kelak terbukti bahwa pelaku dalam rekaman tersebut benar artis yang bersangkutan, tentu sangat disayangkan. Betapa tidak? Sebagai selebritas, hakikat kehidupan mereka adalah milik publik. Segala tingkah laku dan pembawaan diri mereka, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun saat menampilkan peran keartisannya, menjadi sorotan dan inspirasi publik. Intinya, setiap perilaku artis hampir semuanya berada di wilayah atau ruang publik.

Ketika menapaki karier, kata sosiolog Erna Karim (Seputar Indonesia, 13 Juni 2010), sesungguhnya bagi para tokoh publik itu popularitas tidak dapat dengan cara mudah. Orang populer dibangun atau dikontruksi dengan cara kerja keras dan memakan waktu yang tidak singkat. Mereka capai popularitas dengan usaha dengan usaha dan proses belajar untuk senantiasa meningkatkan pengetahuan.

Mereka telah belajar dari posisi paling bawah sampai kemudian mampu menunjukkan kemampuan, keahlian dan keterampilan lebihnya. Tidak sedikit orang sukses itu mengalami pengorbanan. Popularitas itu dipublikasi media massa sebagai aktualisasi gaya hidup kelas sosial menengah dan atas di masyarakat. Semua perilaku mereka ditularkan sebagai sebuah ‘imej kelas’ bergengsi. Kepopuleran artis menjadikan mereka sebagai tokoh idola penggemarnya.

Sesuatu yang wajar kemudian di dalam kehidupan sehari-hari, orang sering kali mengagumi atau mengidolakan seseorang. Mulai dari pejabat negara, ilmuwan, tokoh pendidikan, pahlawan dan kalangan artis. Karena, sering muncul di televisi, artis (mulai dari bintang film, pemain sinetron, penyanyi dan pelawak) mungkin lebih banyak diidolakan.

Bagaimanapun, penampilan artis di layar kaca, yang terlihat glamor, baik, cantik dan beretika mengundang sebagian orang untuk mengidolakannya. Tidak jarang ada begitu sangat mengagumi, sehingga rela mengikuti idolanya itu. Entah itu dari cara berpakaian, model rambut, cara bicara, kendaraan yang ditunggangi atau dalam memilih pasangan hidup.

Kehidupan sosial artis tentu memudahkan mereka berinteraksi dalam segala hal. Atas posisinya tersebut, sang artis justru terbawa arus kehidupan hedonistis, yang menampilkan sisi glamour. Wilayah pergaulan artis yang tanpa batas dan begitu cair, sangat berpotensi menjerumuskan mereka ke lembah pergaulan bebas, yang tentu dengan bumbu perilaku seks bebas. Akibatnya, kabar miring soal artis yang kerap berganti pasangan, bahkan kawin-cerai, menjadi hal yang lazim. Dengan predikat artis, mereka seolah sah melakukan itu semua.

Masalahnya, banyak orang yang terinsipirasi oleh kehidupan artis yang menjadi idolanya. Menurut psikolog Elly Risman Musa (Republika, 12 Juni 2010) banyak anak-anak muda yang teramat mengidolakan dan membela mati-matian tokoh artis favoritnya. Kasus Ariel-Luna misalnya, telah terbentuk kelompok Alunerz –Ariel and Luna Lovers- mereka membenarkan perzinahan yang dilakoni artis idolanya itu. Para fans fanatik itu tidak sepakat  hubungan ala suami-istri di luar pernikahan sebagai perbuatan asusila.

Mereka menganggap, kalau suka sama suka, tak ada masalah. Situasi ini, dalam pandangan psikolog Elly Risman Musa, telah merusak bagian otak terdepan fans fanatik. Fans fanatik ini sukar melihat masalah dengan kaca mata normal. Mereka cenderung membela habis-habisan tokoh idolanya. kalau sudah cinta mati, emosinya lebih berperan daripada pikirannya.

Apakah salah meniru sang idola? Psikolog A. Kasandra Putranto berpendapat, tidak ada yang salah mengagumi orang terkenal. Mengikuti kisah sukses orang terkenal dapat mendorong motivasi, inspirasi dan inisiatif untuk ikut berprestasi, dan itu adalah energi postif. Tetapi akan menjadi energi negative, jika kemudian penggemar yang begitu terobsesi sampai seolah menjadi mesin foto copy (copy cat), seperti tidak punya kepribadian.

Bisa dibayangkan jika hal-hal negatif dari kehidupan sang idola itu lantas ditiru, yang lambat laun berkembang menjadi tren kehidupan. Hal-hal inilah yang tampaknya tidak disadari, atau diabaikan para artis, terutama mereka yang terlibat kasus-kasus rekaman video mesum. Keingintahuan publik yang tak terbendung akibat perkembangan teknologi informasi visual dewasa ini, sangat berpotensi menularkan budaya tercela.

Ekses kecenderungan marakanya peredaran video mesum di dunia maya selain karena kemajuan sarana teknologi komunikasi dan informasi tertutama internet dan ponsel, juga dipengaruhi pergeseran prilaku dan pemikiran remaja saat ini. Dari analisis Koordinator Gerakan Jangan Bugil Depan Kamera (JBDK), Peri Umar Farouk (Okezone, Selasa (8/7/2010) kini terdapat kecendrungan lebih tertarik untuk melihat orang telanjang dan terhubung langsung dengan internet, daripada menonton video porno yang 100 persen aktornya artis. Dari beberapa wawancara yang dilakukan JBDK, ditemukan fakta ada cara tertentu untuk bersolidaritas antar teman dekat, dan saling menonjolkan diri siapa di antara mereka yang paling berani.

Elly Risman Musa (Republika, 12 Juni 2010) mengatakan cara pandang seperti itu berkaitan langsung dengan pola asuh yang salah di rumah. Parahnya lagi, pemerintah pun punya andil dalam membiarkan rakyatnya menjelajahi dunia maya tanpa edukasi maupun perlindungan memadai.  Mereka itu perlu ditolong agar memperhatikan idola dari sudut pandang 5W, yakni who, what, why, wghen, dan where. Siapa yang pantas dijadikan idola, apa yang diidolakan, kenapa alasannya, kapan harus mengidolakan dan di mana tepatnya melakukan aksi fanatis.

Melihat potensi ancaman terhadap moral dan akhlak masyarakat, kasus-kasus video panas yang melibatkan artis dan siapa pun, harus ditangani lebih tegas dan serius. Sanksi tidak hanya terbatas pada pengedar rekaman itu. Pelaku, apalagi jika melibatkan artis dan figur publik, harus pula diberi sanksi pidana dan sosial. Perlunya sanksi sosial, untuk menyadarkan kita semua bahwa tindakan pelaku video mesum adalah perusak karakter bangsa. Itu harus dilakukan agar pelaku jera.

Sekali lagi, menurut Rappi (Kompasiana, 1 September 2009), memang tidak ada larangan mengidolakan atau mengagumi seorang artis. Baik itu penyanyi, pemain sinetron, pemain film, pembawa acara dan sebagainya. Hal ini sepertinya lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Namun yang menjadi pertanyaan, layakkah artis diidolakan? Menilik berita tentang artis di layar kaca, sudah selayaknya kita menanyakan kembali apakah artis sosok yang bisa dijadikan idola. Diikuti, ditiru dan disanjung. Atau dijadikan panutan (dalam hal keseharian).

Begitupun Suara Pembaharuan (9 Juni 2010) menawarkan, jika melibatkan artis, ada sejumlah hal bisa dilakukan sebagai bentuk sanksi sosial. Pertama, pengiklan harus menarik iklan produk yang dibintangi artis yang bersangkutan. Kedua, produser harus berani menghentikan kontrak dengan artis yang terlibat perbuatan tercela, bahkan jika perlu sang artis harus mengganti kerugian karena penghentian tayangan film, tayangan program di televisi, atau ditariknya album rekaman oleh produser. Ketiga, ada kesepakatan di antara produser untuk tidak lagi menggunakan artis tersebut dalam proyek-proyek komersial mereka. Langkah tegas itu harus diambil, mengingat artis memiliki tanggung jawab sosial yang sangat besar melalui ketenaran yang dimilikinya.

Suara Pembaharuan menambahkan, para artis harus sadar bahwa popularitas yang diraihnya tidaklah cuma-cuma. Sebab, popularitas tersebut adalah buah kerja keras dan kemampuan mengolah talenta yang dimilikinya. Inilah hal positif yang seharusnya ditularkan, dan dikelola untuk turut membangun karakter bangsa.

Pelajaran paling penting dari kasus video mesum tersebut, bahwa kita harus melindungi remaja, anak-anak, dan generasi mendatang dari pengaruh buruk beredarnya video mesum tersebut. Jangan sampai mereka diracuni atau terinspirasi informasi dan tontonan tak bermoral yang melibatkan artis-artis idolanya.

Sebenarnya dari kasus lain pun, ada pelajaran moral berharga untuk dijadikan cermin. Geger serupa pernah terjadi di Hongkong, 2008 lalu yang melibatkan bintang pop Edison Chen dengan 11 bintang papan atas negara itu, antara lain Bobo Chan, Candace Chan, Mandy Chen, Cecilia Cheung, Gillian Chung, dan Rachel Ngan, berakhir dengan mundurnya Chen dari dunia hiburan dan pindah ke AS.

Tak hanya itu, Gillian Cheung batal tampil sebagai penyanyi di Pembukaan Olimpiade Beijing 2008. Sutradara kondang Oliver Stone membuang bagian yang memuat potongan aktingnya. Cecilia Cheung juga diceraikan suaminya. Lalu bagaimana kita harus bersikap atas kasus Ariel-Luna dan Ariel-Cut Tari itu, ah… jangan-jangan besok kita sudah lupa?

 

=========

Sumber: Analisa, 23 Juni 2010



Tag: ,

Post Terkait

Komentar