POST DATE | 14 Juli 2017
Namanya juga sampah (spam), maka wajar lebih banyak membuat sebal daripada mengantar senang. Walaupun mungkin untuk sebagian orang (sebut saja pemulung) mereka pasti senang dengan sampah. Tapi buat orang yang bukan pemulung pasti tidak akan terlalu suka dengan yang namanya sampah.
Masalahnya sampah itu ternyata tidak hanya ada di dunia nyata. Tetapi juga ada di dunia maya (internet). Kalau di dunia maya dia di sebut dengan email sampah. Email sampah adalah email yang dikirimkan kepada seseorang tanpa seizin yang punya email.
Kalau, kemudian kalau email itu dibuka maka akan berisi berita bohong yang kemudian akan mengajak kita masuk ke links-links yang itu dapat saja mengandung virus trojan atau virus yang lain (Prayogo, 2007)
Parahnya ternyata sampah kini sudah mulai meluas dalam hal ruang lingkup jangkauannya. Handphone (HP) kini juga sudah menjadi sarana untuk mengirimkan pesan SMS (Short Message Service) yang sebenarnya terasa beraroma ”sampah”. Pesan itu isinya sama sekali tidak berguna alias tak memberi manfaat apapun.
Contoh SMS beraroma sampah itu adalah: “Mau Toyota Yaris, Yamaha Mio, HP, dll? Langsung saja ketik: REG kirim ke…..(Rp.500+ppn), untuk info lebih lanjut silahkan hubungi…..” atau pesan lain dengan maksud yang sama: “...buktikan bahwa Anda detektif yang ulung! Ketik REGDU. Raih Suzuki Swift, SuzukiShogun, dll! Tarif Rp550 untuk terima/jawab SMS quis”.
SMS seperti itu tentu menyebalkan, karena untuk membuka dan membuang SMS tersebut dibutuhkan waktu. Walau mungkin sebenarnya hanya dalam hitungan detik saja. Tetapi kalau dalam kondisi sibuk, lalu kemudian terima SMS seperti itu, rasanya pastilah sangat mengesalkan!
Pesan yang masuk mulai dari SMS yang berkode pendek umum hingga SMS yang tidak penting alias pesan sampah, posisi konsumen meski tidak berkenan, tetapi tetap tidak bisa menolaknya. Kebanyakan SMS spam dikirim melalui internet ke nomor ponsel secara virtual melalui SMS gateway.
Namun, ada Juga SMS spam berasal dari virus di ponsel. Mengenai korban selain melalui surat pembaca melalui media massa dapat juga diakses di google dengan keyword "SMS Sampah" atau "SMS Spam". Hasilnya semua operator mulai Telkomsel, Flexi, Indosat, Esia, XL, dan lainnya juga tercatat sama-sama ‘keroyokan’ mengirim SMS sampah itu.
Kalau diurut ke belakang pengalaman menunjukkan begitu mudah mendaftarkan diri (registrasi) melalui SMS berdasarkan format tulisan ke nomor konten provider tertentu. Tetapi begitu susahnya, bahkan mungkin tak ada fasilitas untuk berhenti berlangganan dari konten itu, karena tidak tersedia fasilitas "unreg" dalam layanan itu.
SMS premium yang menawarkan pulsa gratis bagi sekian puluh pengirim pertama tanpa jelas layanan yang diberikan apalagi tawaran bagi “pengirim tercepat” juga merupakan jebakan karena start time-nya yang tidak ada yang tahu.
Apalagi jika disepakati bahwa tujuan akhir memberikan layanan telekomunikasi adalah menumbuhkan perekonomian, lokomotif peradaban dan alat mencerdaskan bangsa, tentu apakah itu penyedia jaringan, penyedia jasa ponsel, termasuk content provider, tidak akan lagi memberikan layanan tanpa nilai tambah kepada masyarakat.
Dengan begitu diharapkan, tak ada lagi tudingan bahwa SMS premium menjadi SMS penyedot pulsa atau apapun namanya. Sebab, industri ini juga harus dijaga dari pihak-pihak yang hanya menggunakan ponsel sebagai media vacum cleaner penyedot uang dari masyarakat tanpa memberikan layanan bermanfaat
Selain itu, UU Telekomunikasi juga memberikan perlindungan bagi konsumen telekomunikasi. Seperti tertuang pada Pasal 15, jika terjadi kesalahan/kelalaian operator yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada operator. Operator wajib memberikan ganti rugi, kecuali operator dapat membuktikan kerugian tersebut bukan diakibatkan kesalahan/kelalaiannya.
Tak dapat dipungkiri, kini makin banyak pengiriman email serta SMS ‘sampah’ yang menerobos ruang pribadi konsumen. Untuk memperkuat koridor, maka UU Informatika dan Transaksi Elektronika dan UU Perlindungan Konsumen harus menjadi sandaran untuk menghadapi serangan email dan SMS ‘sampah’. Meski bisa jadi itu dianggap juga belum cukup.
Stop SMS Sampah
Perlu segera diadopsi regulasi seperti di Australia. Karena untuk mengatasi penggunaan SMS, termasuk juga telepon seluler, sebagai sasaran telemarketing, dikeluarkan Do Not Call Register Act 2006.
Jadi, siapapun yang tidak sudi menerima SMS maupun telepon ‘sampah’ dipersilakan untuk mendaftarkan nomornya ke regulator setempat—ACMA. Nomor yang terdaftar artinya dilarang untuk dikirimi SMS ‘sampah’ serta ditelepon untuk menjadi sasaran telemarketing, tentu termasuk undian berhadiah?
Dengan kata lain, untuk kenyamanan pelanggan, mestinya operator menyebarkan SMS tentang bersedia atau tidak bersedia pelanggan terkait dengan kiriman SMS sejenis. Kemudian, kalau konsumen keberatan, maka kiriman SMS sejenis harus dihentikan. Intinya, agar SMS sejenis tidak terus disebarluaskan tanpa seizin pelanggan dimaksud.
Sebab ruang privat konsumen harusnya bukan sekadar akan diganggu telemarketing, namun juga untuk keperluan lain dengan modus yang sama, merayu konsumen agar terbujuk dengan apa yang ditawarkan penelepon atau pengirim SMS.
Selain terganggu, muaranya adalah konsumen akan dirugikan lagi. Karena itu serangan SMS sampah yang dikirimi operator harus dihentikan, sebab sama sekali tidak memiliki nilai edukasi. Tanggungjawab operator adalah mencerdaskan, dan tidak terus menerus menjarah pulsa konsumen dengan cara yang tidak fair alias mengandung tipuan.
Masalahnya mengapa dalam setiap proses peristiwa yang merugikan konsumen, operator tidak pernah sekadar menunjukkan sikap empatinya. Tiada kampanye anti-kejahatan dengan mengirimkan SMS edukasi, terutama kepada pelanggan sendiri?
Misalnya SMS massif untuk memperingatkan pelanggan supaya hati-hati atas modus penipuan lewat ponsel, termasuk tempat pengaduan, dan lain-lain. Apakah memang begitu rendah tanggungjawab sosial dan produk dari operator ponsel di Indonesia? Lalu, bagaimana pula peran Kementerian Kominfo dan BRTI selama ini dalam mengawasi SMS sampah bermasalah itu?
========
Sumber: Waspada, 25 Oktober 2011