POST DATE | 27 April 2017
Wajah Kota Medan pada usia 418, nampaknya kurang gairah. Terasa sekali betapa Medan masih diselimuti berbagai problematik. Lebih jauh lagi, perkara ulang tahun Kota Medan bagi kebanyakan orang bukanlah sesuatu yang penting. Mengapa? Karena urusan perutlah yang terpenting. Apalagi pascapenaikan harga BBM rata-rata 28,7 persen. Kemudian, diperparah lagi dengan status penguasa kota ini sebagai terdakwa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Banyak pula pejabat Pemko Medan yang dipanggil sebagai saksi atas dugaan mark-up mobil pemadaman kebakaran. Soal sepele, tapi begitu menguras pikiran dan tenaga.
Nah, tak enaknya pejabat yang bermasalah, tapi urusan warga yang terlantar. Pelayanan dan hak publik terabaikan. Jargon ”setulus hati melayani”, lebih pantas disebut ”sefulus hati melayani”. Apa pasal? Para birokrat kota ini senantiasa berkoar-koar kalau pengurusan layanan publik tersebut gratis alias tak bayar. Tetapi fakta empiris di lapangan, warga yang berurusan dengan aparat birokrasi di lingkungan, kelurahan atau kecamatan tetap dimintai sejumlah upeti atau uang ketik. Pasca-berlakunya jargon KTP, Kartu Keluarga (KK) dan akte kelahiran gratis, birokrasi pengurusan justru makin berbelit dan panjang. Klop sudah, ”sefulus hati melayani”. Urusan lancar, kalau fulus (bukan tulus) juga lancar?
Trotoar yang harusnya disediakan untuk pejalan kaki, cenderung diabaikan. Hak pejalan kaki terlantar. Papan iklan atau reklame justru jauh lebih mendominasi. Tapi anehnya Pendapat Asli daerah (PAD) dari sektor ini tak sebanding dengan jumlah papan yang menghalangi hak publik itu. Selanjutnya di Medan juga, ruas jalan berlubang alias ’kupak-kapik’, apalagi di musim hujan sudah menjadi yang jamak. Kondisi fisik ruas jalan yang buruk itu telah merugikan warga sekaligus mempertinggi tingkat kecelakaan dan kerusakan kenderaan. Lalu, dalam fakta seperti ini, adakah hak-hak publik untuk menuntut terhadap kondisi jalan berlubang itu? Dalam hal ada insiden yang menimbulkan kerugian terhadap pengguna jalan, ke mana harus menuntut?
Mengapa jalan berlubang dibiarkan menganga berbulan-bulan, apakah anggaran yang ada melalui APBD untuk jalan tidak ada dialokasikan guna pemeliharaan jalan? Mengapa ruas jalan yang rusak itu tidak ditekan dengan melakukan pembangunan dan perbaikan kondisi fisik jalan? Beberapa wacana itu penting untuk dipertanyakan sekaitan momen peringatan harijadi ke-418 Kota Medan. Diduga kondisi ruas jalan yang rusak mencapai angka 40 persen dari jumlah ruas jalan yang ada, minus jalan-jalan protokol.
Medan punya motto; modern, madani dan relijius dalam bingkai kota metropolitan. Tetapi jelang perayaan harijadi ke 418, dari sisi kebersihan, Kota Medan belum terbebaskan dari timbunan sampah berserakan, lingkungan tak lagi hidup disebabkan yang tersisa cuma rimba gedung menjulang mencakar langit, lalu tata ruang sudah diganti oleh ‘tata uang’.
Sejak piala adipura hilang, realitas atas buruknya pengelolaan kebersihan, lingkungan hidup dan penataan kota, justru tidak berbanding lurus dengan penghargaan sekadar sisa adipura. Salah satu indikatornya adalah penataan kota telah didominasi ‘tata uang’. Fasilitas publik, seperti trotoar sekadar untuk jalan kaki pun telah beralih fungsi sebagai tempat tiang iklan. Salah satu situs sejarah lapangan merdeka, tergadai untuk kepentingan pemodal.
Sama sekali tidak memiliki nilai estetika dan etika, karena asal jadi dan menyisihkan hak pengguna jalan. Lebih jauh dari itu, fasilitas bermain bola kaki untuk anak-anak pun sudah tak ada. Pasar tradisional semakin terpinggir oleh limbah swalayan, plaza, supermarket dan hypermarket. Aroma pesan sponsor atau intervensi dari berbagai kalangan terhadap pengambilan kebijakan tata ruang kota lebih menonjol, makanya kepentingan umum dikalahkan oleh pihak ‘ketiga’, padahal dimensi kepentingan publiknya sangat minimalis.
Lalu, salah satu agenda utama yang dicanangkan Pemko Medan adalah berobat gratis (melalui ASKES) bagi segenap warga. Agenda ini menyusul reformasi birokrasi ’serba gratis’ melalui kebijakan KTP (kartu tanda penduduk), KK (kartu keluarga) dan akte kelahiran gratis. Memang kualitas layanan publik harus ditingkatkan dan lebih jauh lagi mesti memihak kepada kepentingan rakyat, begitulah kira-kira pesan kebijakan itu.
Pertanyaan, sebegitu pentingkah agenda serba gratis itu, sehingga menjadi target Pemko Medan untuk direformasi? Lalu, apakah reformasi yang dijanjikan tersebut bakal terlaksana? Beberapa wacana itu penting untuk dipertanyakan guna mengukur efektifitas kebijakan Pemko Medan dikaitkan dengan pengalaman paket serba gratis ala Pemko Medan. Masalahnya, fakta empiris soal itu memiliki catatan gelap. Imbas dari itu semua serba gratis itu, ternyata masyarakat harus tetap membayar ’upeti’ sebagai ongkos urusan serba gratis. Konsekuensi biaya gratis adalah ketidakpastian waktu, ketidakpastian tarif/biaya, ketidakpastian siapa yang bertanggungjawab, adalah beberapa fakta empiris rusaknya layanan serba gratis itu.
KTP, KK Gratis?
Kini, pasca-kebijakan KTP, KK dan akte kelahiran gratis itu Pemko coba pula untuk membuat paket berobat gratis untuk semua warga tanpa kecuali. Paket populis dan pantas diberi apresiasi atas niatan itu. Cuma pantas untuk dipertanyakan, apakah aparatur Pemko Medan telah benar-benar siap melayani warga tanpa pamrih alias gratis? Pantulan yang muncul dari cermin kebijakan serba gratis oleh Pemko Medan, nyaris tidak berdampak signifikan bagi peningkatan kualitas layanan, terutama terhadap tidak gratisnya proses pengurusan KTP, KK atau akte kelahiran itu.
Buktinya, warga yang berurusan dengan komoditas publik itu tetap ditagih kutipan; uang lelah, uang ketik atau uang transportasi misalnya. Kebijakan serba gratis itu justru menempatkan warga yang berurusan dengan birokrasi sebagai ’bulan-bulanan’ atau korban diskriminasi dari sulitnya mendapat fasilitas gratis itu. Pungutan liar tanpa bukti secarik kertas apapun dalam berurusan dengan birokrasi pemerintahan merupakan rahasia umum, meski sulit dibuktikan secara yuridis.
Cerminan perilaku hipokrasi birokrasi pemerintahan dalam bingkai serba gratis ini terlihat pada ungkapan aparat birokrasi yang terkesan mengolok-olok atau melecehkan, misalnya; ”kalau mau yang gratis langsung saja urus sama walikota”. Duh, mana bisa, Walikota dan Wakil Walikota juga lagi ditahan KPK? Atau yang ’gratis itu ada di spanduk atau ada di koran, urus saja melalui spanduk atau koran’, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, layanan publik dengan kebijakan serba gratis itu nyaris tidak memberi manfaat berarti bagi warga kota Medan.
Pernyataan di atas tentu tak membuat warga terbelalak. Sebab kalangan warga sudah mahfum bahwa layanan yang diberikan aparatur pemerintahan di kota ini memang kurang memuaskan. Seringkali terungkap di media massa, baik lewat surat pembaca maupun melalui short message services (SMS) publik soal adanya tindakan pungutan liar (pungli) atas fasilitas layanan serba gratis.
Manfaat KTP, KK dan akte lahir memang besar untuk warga yang tidak mampu. Tetapi fakta empiris di lapangan mudharat KTP, KK dan akte lahir justru lebih besar, karena mencari yang gratis itu sama sulitnya dengan mencari sebuah jarum di tengah gurun pasir nan begitu luas. Aparat di tingkat lingkungan, kelurahan atau kecamatan, senantiasa punya dalih untuk meminta sejumlah uang atas biaya ’gratis’ ketika berurusan dengan birokrasi di bawah. Layanan KTP, KK dan akte lahir serba gratis itu lebih banyak di langit daripada di bumi.
Disebut di langit karena lebih banyak warga yang ketika berurusan dimintai ’ongkos’ atas biaya gratis itu. Program serba gratis itu seperti berada di menara gading, atau sekadar pepesan kosong, jauh dan sulit sekali untuk diakses. Di bumi layanan serba gratis itu cuma sekadar jargon belaka dan terlalu sulit untuk didapat
Keadaan lingkungan di Kota Medan sudah berada pada tingkat kerusakan yang sangat tinggi dan semakin berkurang daya dukung dan kualitas lingkungan yang semakin parah. Penghuni Kota Medan telah menerima imbalan dari kerusakan lingkungan. Bencana banjir yang telah menjadi langganan sebagian besar kawasan Medan dan itu menunjukkan telah dialihfungsikan ataupun hilangnya sumber-sumber resapan air.
Kesemunya itu adalah muara dari bencana yang terus terjadi bila segenap elit masih menutup-nutupi kerusakan lingkungan dan tidak segera sadar serta melakukan satu perubahan untuk memperbaiki kualitas kebersihan, penghargaan atas lingkungan hidup dan mengelola tata ruang atas dasar kejujuran dan keadilan. Menjadi ironik dan hambar kalau sakralitas perayaan harijadi 418 terganggu oleh soal-soal sepele, yang harusnya dapat dituntaskan. Apakah dalam menata kota ini, yang mengatur tata ruang atau tata uang? Entahlah……..!!??.
================================
Sumber : Analisa, 01 Juli 2008