post.png
GEDUNG_MK.jpg

Berharap Kepada Mahkamah Konstitusi

POST DATE | 31 Maret 2024

Proses seleksi kepemimpinan nasional melalui Pemilu 2024 mulai memasuki babakan baru. Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai kewenangannya sudah mulai menangani perkara perselisihan hasil pemilihan umum atau PHPU. Pasalnya selepas Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi menetapkan hasil Pemilu 2024 pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan pasangan capres-cawapres nomor urut 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD. mengajukan gugatan hasil pemilu ke MK.

Pesta demokrasi 2024 ini, proses pemilu telah diwarnai oleh berbagai kontroversi yang memicu ketegangan politik. Dugaan kecurangan potensial dalam pemilu ini semakin menguat. MK misalnya, memutuskan untuk mengabulkan gugatan terkait pasal yang mengatur syarat usia capres dan cawapres. Muaranya adalah Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo (2014-2019, 2019-2024), untuk maju dalam Pilpres 2024 meskipun belum memenuhi syarat usia. Selain itu, ada dugaan politisasi bantuan sosial (bansos) yang dilakukan oleh pemerintah menjelang pemungutan suara. Di tingkat legislatif, muncul pula wacana penggunaan hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan ini.

Secara normatif Asrinaldi (2024), menegaskan meskipun terdapat banyak dugaan kecurangan, hasil rekapitulasi yang diumumkan oleh KPU tetap memiliki legitimasi yang kuat. Justru dari hasil ini dapat digunakan oleh pasangan kandidat yang merasa dirugikan, untuk mengajukan gugatan ke MK.

Proses penyelesaian sengketa Pemilu 2024 kemudian bergantung pada keputusan hakim konstitusi. Memang terdapat dua opsi dalam mengajukan gugatan ke MK, yaitu perselisihan hasil pemilu atau pembatalan hasil pemilu.

Namun, mengingat perolehan suara yang signifikan, opsi pertama diyakini sulit untuk ditempuh oleh pihak yang merasa dirugikan. Karena itu, opsi pembatalan hasil pemilu menjadi pilihan utama, terutama karena adanya dugaan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang menguntungkan pihak tertentu. Sebagai tambahan istilah pelanggaran secara TSM muncul sebagai vonis pengadilan di Indonesia pada tahun 2008.

Dalam bingkai ini, para pakar hukum mengkaji pentingnya MK untuk melihat lebih dari sekadar angka-angka hasil pemilu. Untuk itu, Feri Amsari (2024) menekankan MK harus memastikan proses pemilu berjalan adil dan jujur, sesuai dengan tugasnya untuk menjaga konstitusi. Sebab jika merujuk Pasal 22 E Ayat (1) UUD 1945 mewajibkan Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

MK harus dapat memastikan apakah proses pemilu berjalan adil dan jujur atau tidak? Feri Amsari berharap MK tidak semata-mata melihat hasil Pemilu 2024 berdasarkan angka perolehan suara saja.

Tapi juga mempertimbangkan apakah perolehan tersebut didapatkan dengan cara yang patut atau penuh kecurangan. Bagi Feri Amsari MK harus memotret angka-angka hasil pemilu itu dari hulu ke hilir. Tidak dibatasi hanya hasil di atas kertas, hanya dengan cara inilah public trust dapat dipulihkan.

Senada dengan itu, pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah (2024) menambahkan MK perlu mengambil pendekatan aktivisme yudisial, mempertimbangkan proses pemilu dari hulu ke hilir, serta memastikan tidak adanya intervensi dalam proses persidangan.

Dalam catatan CNBC (20 Maret 2024) sejarah sengketa pemilu sejak tahun 2004 menunjukkan MK menjadi tempat pertarungan pascapenetapan hasil pemilu. Proses gugatan pemilu ke MK memiliki persyaratan yang ketat, termasuk pengajuan maksimal tiga hari setelah pengumuman hasil oleh KPU dan menguraikan data hasil penghitungan suara serta permintaan pembatalan hasil.

Secara prosedural sebelum menjatuhkan putusan, delapan hakim MK -minus Anwar Usman yang dilarang oleh Majelis Kehormatan MK menangani sengketa pemilu -akan menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada medio April 2024. Adapun ada tiga jenis putusan yang bisa dikeluarkan meliputi putusan (final), putusan sela, dan ketetapan.

Putusan sela berisi perintah kepada KPU atau pihak lain untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan objek yang dipersengketakan. Ini, misalnya, berupa pemungutan suara ulang (PSU), penghitungan suara ulang, dan lainnya (Kompas.id, 9 Februari 2024).

Namun, hingga saat ini, seluruh sengketa hasil pemilu yang diajukan telah ditolak oleh MK. Sebaliknya, dalam persengketaan hasil pilkada, MK telah beberapa kali menyetujui permohonan yang diajukan oleh calon kepala daerah pada Pilkada Serentak 2018.

Kisruh pemilu yang terjadi sepanjang 2004-2024 menunjukkan proses pentingnya demokrasi yang transparan dan akuntabel serta peran MK sebagai pengawal konstitusi dalam memastikan integritas pemilu dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

Merespon kemungkinan pembatalan hasil pemilu 2024 ahli Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar (2024) menilai akan sulit untuk mengubah hasil Pilpres 2024 dalam sengketa Pilpres di MK. Masalahnya jika merujuk dari hasil sidang sengketa Pilpres di MK, rata-rata hakim konstitusi hanya mendalami sisi formalitas dibanding nilai sebuah demokrasi dan konstitusi yang sudah terganggu. 

Sisi formalitas yang dianut MK semisal dalam pembuktian sidang sengketa Pilpres, MK akan memunculkan syarat formalitas seperti apakah dugaan kecurangan tersebut sudah dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau KPU, hingga bukti kuat kecurangan yang terjadi dapat memengaruhi hasil Pilpres. 

Padahal, jika berbicara kecurangan, tentu tidak sebatas mengenai hasil rekapitulasi suara dari KPU. Mungkin saja kecurangan terjadi sebelum pemilihan yang dapat memengaruhi hasil. Sebagai contoh, dugaan adanya keterlibatan aparat dalam Pemilu. Kasus ini pastinya akan sulit dikonversi menjadi angka.

Meminjam Yusrial Ihza Mahendra (2014) kalau MK masih berpandangan PHPU hanya sekadar mengitung angka-angka semata, MK itu cuma Mahkamah Kalkulator. Secara idealnya kata Yusril Ihza Mahendra jangan sampai MK hanya menjadi mahkamah kalkulator.

MK secara konstitusional dapat memeriksa substansi penyelenggaraan pemilu bahkan dapat membatalkan hasil pemilu. Karena itu, tiada pilihan lain MK harus pertimbangkan aspek substantif.

Ali Syarif (2024) mengatakan pemilu senantiasa disebut sebagai proses demokratis sebab warga suatu negara secara langsung atau tidak langsung memilih wakil-wakil mereka dalam pemerintahan. Pemilu adalah salah satu mekanisme penting dalam sistem demokrasi yang memungkinkan rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan pemimpin dan arah kebijakan negara.

Secara keseluruhan, pemilu merupakan fondasi dari sistem demokrasi yang memberikan suara kepada rakyat untuk menentukan masa depan politik dan arah negara mereka. Dari perjalanan pemilu ke pemilu, terjadi di beberapa negara, yang kemudian hasil pemilunya dibatalkan.

Judicial activism banyak dilakukan oleh MK maupun Mahkamah Agung atas terjadinya kesalahan dan kecurangan oleh penyelenggara pemilu. Beberapa negara yang hasil pemilunya pernah dibatalkan oleh Mahkamah, misalnya Austria, Ukraina, Bolivia, Kenya, Malawi, dan Thailand. MK Belarusia dinilai sebagai a sham institution atau institusi pengadilan palsu karena diintervensi oleh pemerintah (https://kumparan.com/kumparannews/mahfud-mk-jadi-mahkamah-kalkulator-itu-pandangan-yang-sudah-usang-22QobrES79e/3).

Nadia Sarah Amalia (2015) mengisahkan pada tahun 2014 silam di masa pemerintahan Perdana Menteri Yingluck Sinawatra, Thailand mengalami krisis politik. Krisis politik itu berawal dari adanya penolakan oleh oposisi terhadap rancangan undang-undang (RUU) amnesti. Dirumuskannya RUU Amnesti tidak menyelesaikan masalah justru menimbulkan masalah baru. Masalah ini muncul dari pihak oposisi yang berkeinginan untuk menggulingkan PM Yingluck. Pihak oposisi telah hilang kepercayaan kepada Yingluck karena adanya kebijakan RUU tersebut dipandang untuk melindungi PM sebelumnya yaitu Thaksin Shinawatra.

Nah, untuk menyelesaikan krisis politik PM Yingluck memberikan solusi untuk mengadakan pemilu 2 Februari 2014. Ketika hasil menunjukkan PM Yingluck kembali menang, maka kubu oposisi membawa gugatan ke MK untuk menolak hasil pemilu dengan alasan tidak sah karena tidak dilakukan secara serempak, maka pada tanggal 21 Maret 2014 MK memutuskan untuk membatalkan hasil pemilu 2 Februari tersebut dengan alasan inkonstitusional.

Dengan dibatalkannya hasil pemilu 2 Februari 2014 gelombang demontrasi di Thailand semakin besar. Oposisi menuntut PM Yingluck untuk segera turun dari jabatannya karena ditemukan adanya banyak tindakan korupsi dan tindakan nepotisme untuk menyelamatkan kakaknya dari jeratan hukum yang juga terlibat dalam kasus korupsi sebelumnya.

Masih ada beberapa negara lain yang pernah mengalami pembatalan hasil pemilu atau terjadi sengketa serius terkait dengan proses pemilihan umum mereka misalnya: Amerika Serikat. Pemilu Presiden AS pada tahun 2000 antara George W. Bush dan Al Gore diwarnai dengan sengketa yang berujung pada persidangan di Mahkamah Agung AS terkait hasil pemungutan suara di Florida.

Mahkamah Agung AS kemudian memutuskan untuk menghentikan rekapitulasi suara, yang pada gilirannya menguntungkan George W. Bush dan mengakibatkan kemenangannya dalam pemilu.

Pesannya adalah sejarah telah mencatat MK atau MA diberbagai negara dalam penegakan hukum bukan undang-undang yang menentukan, melainkan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh manusianya.

Kisah penegak hukum progresif yang pernah ada sejalan dengan ungkapan BM. Taverne (1874-1944). “Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun.”

===========

Sumber: Waspada, Rabu, 3 April 2024, hlm. B3



Tag: , , , ,

Post Terkait

Komentar